Senin, 15 Februari 2010

Menyoal Pilkada Palu

PAPAKERMA BEGAWAN NAGARI
(Ketika Persaingan Tak Sehat Menzarah Pemikiran Kandidat Walikota Palu)
: Oleh K. Ariwa)*



MENENGOK prakada di perbagai wilayah se-Indonesia memang menuai kontroversi yang negatif. Intrik dilakukan calon penguasa nagari dengan tidak sehat, antara lain ditandai dengan pembusukan kandidat untuk menjatuhkan kandidat saingannya, hingga kesan pesimistis menjadi tolok ukur keberhasilan pembusukan tersebut. Tak perlu ditampik bahwa pengaruh, status sosial, maupun kesejahteraan kandidat menjadi penting untuk diketahui oleh publik menyoal aral yang melintang kelak serta sebuah konsekuensi perubahan yang wajib diemban penguasa sekaligus kepuasan masyarakat akan pelayanan pemerintah ke depan.

Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah menyimpan polemik laten yang tidak saja membahayakan intern kandidatnya tetapi juga publik yang selama ini masih terombang-ambing dengan persoalan kekuatan financial yang dimiliki kandidat. Di tengah papakerma tersebut, hadirnya begawan yang mampu menampung segenap aspirasi positif publik menjadi urgen dalam rangka memanusiakan manusia seutuhnya khusunya publik Palu yang secara umum masih jauh dari makna kemajuan dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Sulawesi.

Betapa tidak, bisa dilihat dari infrastruktur pembangunan sarana dan prasarana dan kualitas sumber daya manusia yang jauh kalah dibandingkan dengan person publik di tempat lagi. Apalagi bila kita mengukur Jawa? Palu adalah iklim berkehidupan yang akan (mulai) membangun tatanannya agar bisa setaraf dengan wilayah lain minimal se-Sulawesi. Untuk itu, disadari (tidak) perlu perubahan secara substansi dan diejawantahkan sebagai agent of change untuk sebuah nagari (daerah) yang lebih purna.

Hingga apa yang didambakan oleh publik dapat direngkuh minimal semua hak-hak dasar kemanusiaan hakiki dapat diakomodir oleh pemimpin ke depan. Di masa sekarang, yang katanya semakin maju justru hak-hak manusia semakin terabaikan hal ini ditandai dengan beberapa hal antara lain di bidang: kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sumber energi serta kebutuhan air bersih. Eko Prasetyo, seorang penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah memaparkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh orang kecil tidak digubris oleh kalangan atas dalam hal ini pemerintah yang notabenenya melindungi dan memberikan pelayanan bagi kalangan menengah ke bawah, ternyata? Bantuan yang katanya 20% dari anggaran pemerintah sampai ke tangan rakyat kecil dengan sejumlah potongan yang disebut pajak-pajak. Hal ini juga membawa keterpurukan negara kita khususnya kader bangs hingga ancaman putus sekolah masih disinyalir kerap terjadi di masyarakat yang berekonomi lemah.

Selain itu orang miskin juga dilarang sakit! Sebab biaya pengobatan dan segala tetek-bengek persoalan administrasi masyarakat miskin justru di buat rumit oleh pemerintah sendiri. Malah pernah terjadi, ketika pasien tengah gawat darurat (koma) sedang persoalan administrasi belum tertuntaskan oleh pihak keluarga maka alhasil pasien tidak bisa mendapat pertolongan cepat hingga ajal menjemputnya. Sungguh disayangkan memang sebab proses administrasi oleh pemerintah Palu yang sekarang sangat berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Jangankan hal tersebut, mengurus KTP/ KK saja memerlukan alokasi waktu minimal satu minggu. Ditambah lagi para pelayan-pelayannya yang tidak profesional dan (maaf) kasar apalagi ketika tahu yang mengurusnya adalah orang kecil. Hal ini perlu diperbaiki segera karena memanfaatkan jasa para honorer atau PNS baru yang masuknya dengan kolusi dan nepotisme justru mendatangkan mudarat bagi masyarakat Palu sendiri. Pada akhir Desember 2008 lalu, hal ironis serupa terjadi di Jawa Tengah. Ketika anggota DPRD propinsi tersebut menaikkan tarif biaya rumah sakit bagi kelas ekonomi menengah ke bawah sebesar 300% sementara VIP atau kelas utama (atas) tidak mengalami kenaikan sama sekali. Sungguh nanar kejadian tersebut, semoga tidak terjadi di Kota Teluk Palu.

Menyoal sumber energi listrik dan air bersih yang setiap waktu mendapat sumpah serapah dari masyarakat biasa katakanlah menengah dan menengah ke bawah. Hal ini perlu cepat dialihtangankan atau dipindahtangankan atau dibantu oleh pemerintah agar sekelumit problematika byar-pet dapat tertuntaskan dengan cepat. Di samping itu, kebutuhan masyarakat akan air bersih juga menjadi catatan penting bagi calon kandidat ke depan. Sebab, biarpun PDAM tetaplah tidak bisa mendatangkan makna ‘bersih’ itu sendiri. Sebab, kala hujan mengguyur kota Palu sebagian penduduk yang tinggal di kawasan Palu Barat akan mendapati air yang kecoklatan bahkan hitam bercampur lumpur. Hal yang demikian perlu digarisbawahi dan menjadi catatan penting karena Palu (masih) akan berkembang, belum menuju (mau) maju. Sehingga yang paling penting adalah sekelumit persoalan hak-hak dasar kemanusiaan.

Ketika Wanita Menjadi Kandidat

Minor negatif selalu tertuai bila hal ini mencuat dipermukaan karena kontroversi akan hadir baik dari segi agama maupun kemampuan sendiri bagi seorang wanita. Padahal sejumlah negara pernah dipimpin oleh perempuan termasuk Indonesia.
Di Palu (Sulawesi Tengah) sejarah pemimpin wanita juga pernah terjadi pada masa kolonial Belanda ialah Itondoei yang sekarang daerahnya termaktub di Kabupaten Sigi atau cerita Raja Lingginayo juga seorang perempuan. Bahkan seorang Panglima Burung bagi suku Dayak adalah wanita.

Lewat kacamata agama khususnya Islam, diwajibkan pemimpin itu adalah golongan ulama dan umara yang berjenis kelamin laki-laki. Namun pada nadirnya ketika kaum adam belum bisa membawa perubahan yang substansi dalam beranah di kemimpinan daerah maka wanita dengan segenap pengalamannya disertai rasa, empati dan belas bisa hadir dalam memberi warna baru demi kemaslahatan seluruh umat. Apalagi di tengah pluralisme dalam dinamika kehidupan publik di era sekarang, sah-sah saja ketika wanita ikut andil dalam pembaruan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Harus ada yang berubah untuk lebih! Semoga![]



)* Pemerhati Masyarakat Kota Palu

Cenayang Palu

Eksploitasi: Sebuah Bagian Ekspresi
(Tanggapan Hentikan Eksploitasi Seniman di Mercusuar 11 Februari 2010)



APAKAH bila sudah beberapa kali berkarya dikatakan seniman? Apakah bila sudah menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Apakah memang begitu klaimisasi seni di ranah nagari kita ini? Ah.

Oleh: Hudan Nur

Tulisan yang dibuat oleh seorang Jamrin Abubakar beberapa waktu lalu membuat nelangsa dan miris. Ditambah lagi fakta akan kualitas berkesenian yang pelakunya sendiri tidak tahu standar berkesenian di era sekarang (masih berkiblat ke barat). Sehingga originalitas dan flagiator kesenian tidak bisa dibedakan oleh kacamata para pelaku seni di Kota Palu.

Seperti kasus karya-karya M. Djaruddin Abdullah yang secara terang-terangan di flagiat oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2007, tidak mendapat respon apa-apa. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, perbuatan yang dilakukan oleh seorang Kadis tersebut termasuk ke dalam kasus pidana. Ini perlu digarisbawahi dan ditindaklanjuti sebab menurut informan karya tersebut telah dibukukan dan beredar di Yogyakarta dan sekitarnya atas nama Kadis tersebut. Hal ini sangat memalukan, dan perlu diusut secara tegas.

Barangkali mengingat minimnya cakrawala berpikir dan berkreasi sehingga jabatan bisa dijadikan mobilisasi dalam mengklaim karya orang sebagai karya sendiri. Oh, Tuhan ampuni dosanya!

Dilain pihak, ketika seniman birokrat dengan gayanya yang menjenuhkan mencoba merangkul kembali bahu para seniman murni maka yang harus dilakukakan oleh seniman murni adalah melawannya. Sebab disadari atau tidak, hidup adalah pilihan dan jangan sampai pilihan yang memilihkan kita. Sehingga, kita bisa memihak dan memilah yang mana kawan, yang mana lawan, dan kita jangan pernah merasa takut karena kekuasaan, sebab semuanya telah terfirkah-firkah adanya.

Seyogianya juga eksploitasi seniman memang harus dihentikan. Namun bagaimana bila ada beberapa oknum (seniman) yang senang dengan eksploitasi semacam ini? Jawabannya kembali ke diri seniman itu sendiri dan pantaslah yang demikian disebut pengkhianat seni! Maka berhati-hatilah hai para seniman yang mempunyai ide brilian jangan sampai ide cemerlangmu terlontar ketika diwicarakan dengan seniman birokrat karena dengan gamblang ide tersebut akan dicaplok sebagai idenya.

Lalu, mengenai standarisasi seorang dikatakan seniman atau teaterawan atau penyair itu bagaimana? Apakah dengan beberapa kali menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Mudah betul kalau begitu! Padahal di Indonesia ada badan standar yang bisa mengukur kualitas karya penulis lewat media yakni antara lain seperti Majalah Horison, Kompas, Pawon Sastra, Lebah, Republika, Media Indonesia, dan Tempo. Lalu dalam teater antara lain: ada Federasi Teater Indonesia, Mimbar Teater Indonesia, Katimuri, dsb. Begitu juga dalam hal rupa, kriya, musik, dan tari. Memang ada standar baku penilaian mutu yang berkiblat ke barat dan timteng.

Lantas bagaimana bila eksploitasi dimaknakan ekspresi?

Menurut hasil pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia di Malang beberapa tahun silam, bahwasanya semua kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan seni maka wajib hukumnya penggerak, pelaksana, maupun penggagas menu seninya adalah pelaku seni pribumi (murni) itu sendiri! Ini tidak bisa ditawar lagi, karena memang merekalah yang tahu betul nadir kesenian, baik yang berskala regional maupun nasional. Tapi apakah hal ini juga berlaku di Kota kita?

Apa Kabar Dewan Kesenian Palu (DKP)?

Kesemangatan sebagian para anggota DKP dalam berkesenian perlu kita tanggapi dengan positif, karena dimana-mana yang namanya dewan pasti ada pro-kontra. Tetapi itu dilema yang mesti ada dalam berkehidupan organisasi termasuk kesenian. Namun yang disayangkan apabila ada oknum-oknum yang hanya tahu sedikit tentang kesenian, malah berkoar menyoal seni bergema-gema. Padahal substansi seni yang hakiki belum ia miliki dan terapkan dengan benar sebenar-benarnya.

DKP periode baru ini mengakomodir seluruh kalangan dengan berbagai komposisi lewat bias manapun, atau bila dikatakan lebih gamblang merekrut seluruh kalangan. Ini positifnya, namun kelemahannya: ada kalangan yang baru kemarin tercebur ke kesenian sudah memploklamirkan dirinya sebagai seniman sejati. Wah ini kebablasan namanya! Seolah-olah ia tahu banyak tentang kesenimanan padahal baru sebibir pantai ia rasai asin garam kesenian. Mesti kita ketahui juga bahwa garam itu asin, tetapi asin bukan berarti lautan bukan?

Belum lagi polemik persepsi yang beraneka. Itu lumrah adanya. Tetapi, satu hal yang harus diingat Dewan Kesenian tidak seporsi dengan komunitas atau sanggar kesenian karena dewan adalah puncak tertinggi dalam hirarki kesenian. Ia menaungi semua sub-aspek kesenian, ini berarti ia juga harus mempunyai persepsi kedewanan yang benar. Banyak yang belum mengerti dengan ini. Sehingga kinerja kedewanan bisa berjalan dengan seharusnya, dan ini memerlukan energi untuk mensinergikannya, dan setiap kita adalah aset seni-budaya yang harus mendukung keberlangsungan kesenian di Kota Teluk ini. Mari kita berekspresi dalam kita!



Penulis adalah Pegiat di Kostra Latarnusa sekaligus Anggota DKP

KSI: Kostra Latarnusa

Kostra Latarnusa merupakan singkatan Komunitas Sastra Indonesia dan Tradisi Lisan Nusantara Palu-Sulawesi Tengah yang baru berdiri di Kota Palu. Kostra Latarnusa merupakan anak cabang dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Pusat Jakarta, karena di Sulawesi Tengah kaya tradisi lisan maka kami secara otonomi mengklaimkan diri lebur bersama tradisi lisan. Dari sini, diharapkan tradisi lisan dapat dialihterasikan dalam bentuk literatur sastra tertulis hingga pelestarian tradisi lisan dapat terakomodir, minimal terdokumentasikan lewat tulisan.

Dari segi umum, "tradisi lisan" merujuk kepada penyampaian bahan budaya melalui sebutan lisan, dan telah lama dikatakan sebagai gambaran cerita rakyat (kriteria yang tidak lagi dipegang kemas oleh kesemua pencerita rakyat). Sebagai bidang akedemik, ia merujuk kepada kedua kaedah saintifik dan objek yang dikaji oleh kaedah tersebut. Tradisi lisan merujuk kepada segala bentuk warisan dan tradisi yang lahir dalam sesuatu kelompok masyarakat. Penyampaian tradisi ini berbentuk perantaraan lisan. Ia merupakan satu cara masyarakat menyampaikan sejarah lisan, kesusastraan, perundangan dan pengetahuan lain menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan.

Kajian tradisi lisan adalah berbeda dengan bidang akademik sejarah lisan, yang merupakan rekaman ingatan pribadi dan sejarah oleh mereka yang mengalami era sejarah atau kejadian tertentu. Ia juga berbeda dengan kajian kelisanan (orality) yang boleh ditafsirkankan sebagai pemikiran dan gambaran lisan dalam masyarakat di mana teknologi kesusastraan (terutamanya tulisan dan cetakan) tidak meluas dikalangan penduduknya. Akan tetapi pada kenyataannya posisi tradisi lisan masih terpinggirkan, potensinya masih terabaikan, dan masih banyak yang menganggap bahwa tradisi lisan hanyalah peninggalan masa lalu hanya cukup menjadi kenangan manis belaka.

Tradisi lisan seolah-olah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern yang semakin melaju sangat cepat selama ini. Kemajuan teknologi ternyata tidak disikapi secara arif sehingga semakin meminggirkan posisi tradisi lisan.

Dunia sastra, baik yang berbahasa Indonesia mau pun yang berbahasa daerah nampak seperti kerakap di atas batu, mati segan hidup tak mau. Di kalangan para pendukung sastra ada semacam rasa ketergantungan pada uluran tangan pemerintah kurang semangat mandiri dalam berkesenian. Kekuatan potensial terpencar oleh tidak adanya organisasi yang mampu menghimpun mereka. Organisasi sangat tergantung pada tenaga lokomotif untuk bisa bergerak. Sementara Dewan Kesenian lumpuh, hanya ada namanya.

Sastra berbahasa, baik lisan atau pun tulisan juga terancam binasa.Kepunahan ini bisa dipercepat oleh tidak adanya kesadaran budaya di dua tingkat yaitu tingkat atas dari pengelola kekuasaan politik yang nampak dengan tidak memiliki politik kebudayaan yang jelas. Dari bawah yaitu di kalangan masyarakat yang larut oleh budaya pop tanpa memahami apa itu budaya pop yang melarutkannya.

Berangkat dari posisi sastra dan tradisi lisan yang masih terpinggirkan khususnya di kota Palu dan dengan kedatangan Dzawawi Imron ke Kota Palu sekaligus launching KSI di mata masyarakat sastra di Palu membawa dampak besar dalam pengakomodiran sastra dan tradisi lisan yang dimiliki oleh Palu. Kegiatan bulan depan yang akan digelar KSI Palu adalah Cerdas Cermat Sastra dan Tradisi Lisan dan Kostra Latarnusa Awards bagi seluruh pelajar SMA (sederajat).

KSI Palu dalam Kostra Latarnusa

Hapri Ika Poigi bersama Dzawawi Imron
(Pasca Launching KSI Palu, 15 Januari 2010)
TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI