Sabtu, 26 Februari 2011

Beberapa Puisi-Puisi Satries di Kumpulan PENJAGA DIAN


CUACA MEMELAS

beginilah cuaca memainkan hatiku
di saat seekor kelelawar
mengepakkan sayap pengeluhannya
karena hidup mesti dimaknai jua
karena derita mesti dialami jua
karena resah mesti diresapi jua
karena gundah gulana mesti digauli jua
karena nelangsa mesti diresapi jua
beginilah cuaca memainkan melodinya
di saat tak satupun lagu
yang bisa kunyanyikan untuknya

Selanjutnya baca disini

Selasa, 15 Februari 2011

PUISI-PUISI KAHLIL GIBRAN

HETEROTEMATIS DALAM KUMPULAN PUISI-PUISI KAHLIL GIBRAN
: Hudan Nur)*


HARMONI sosial dalam heterotematis puisi-puisi Kahlil Gibran mampu memberi kesadaran tentang kehidupan yang penuh nyanyian beserta suka-citanya lewat semiotika kata-kata. Sang penyair berhasil menghadirkan seluruh rekaman berisikan himpitan dan kegelisahannya sebagai penyair yang selalu diselimuti airmata.
Puisi-puisinya adalah saksi jiwanya yang berimplikasi menyadarkan pembaca tentang suatu hal. Dalam bagaimanapun puisi berfungsi untuk mengingatkan kita terhadap hal tertentu dan pada akhirnya dari bacaan yang dibaca oleh pembaca di harapkan mampu mensinergikan harmoni positif dalam cakrawala pikirnya, seperti puisinya yang berjudul Bangsa Kasihan ;

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya
.....
Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.
.....
Puisi ini mengingatkan kita kepada negeri kita sendiri dengan segala kemirisannya dalam berkehidupan. Ada banyak hal yang mesti dibenahi untuk bisa menuju bangsa yang maju. Di samping itu ada juga puisi-puisi yang memotret tema cinta, kehidupan, alam, serta hasil kontemplasinya dalam mewarnai sebuah kehidupan yang mengelukan sekali.
Hanya saja barangkali apabila pembaca membaca karya Kahlil Gibran dari versi Bahasa Indonesia akan sulit menemukan makna dari semiotika yang dibangun oleh Kahlil. Sebagian masyarakat pembaca tertentu akan merasakan kesulitan dalam memahami karyanya hingga sudut menarik dari puisi-puisinya tak mampu dinikmati. Kecuali bila kita membacanya lewat versi Bahasa Inggris. Saya secara pribadi sangat menikmati puisi-puisinya dalam versi Inggris, mungkin karena language is arbitrary. Sehingga spirit penyadaran yang ditularkan Kahlil dalam puisinya mampu saya resapi.

BUKU JAMRIN ABU BAKAR

CATATAN UNTUK MENGGUGAT KEBUDAYAAN TADULAKO DAN DERO PERDAMAIAN
: Hudan Nur)*



Nubuat kecil yang dicatat Jamrin Abubakar adalah kontemplasi penuh dengan segala daya yang dimilikinya selaku wartawan selama puluhan tahun. Dalam buku ini, ada beberapa tema yang diusung untuk mengingatkan pembaca terhadap hal besar, seperti; lengkatuwo sang tadukalo murni, sejumlah hipokrit kejadian PID Forum, atau sejumlah ceceran kesedihan terhadap modero.
Tidak dapat dipungkiri tulisan-tulisan ini adalah hasil kehamilan eksperimental oleh penulisnya selama merekam himpitan-himpitan, gejolak, kegelisahan, hingga dengan nubuat kecil inilah penulis bersaksi. Bahasa yang sederhana dengan ventilasi lokal yang utuh membuat nubuat kecil ini menjadi istimewa. Khususnya bagi orang luar yang notabenenya bukan orang Kaili, atau penduduk Palu untuk masuk dalam mindset papakerma lembah Palu dengan sejumlah adat, sejarah, warna, bahkan polemik yang pernah terbangun sebelumnya.
Di samping itu, secara tidak langsung semiotika yang dituturkan secara implisit dalam Menggugat Kebudayaan Tadulako ini membuat para pecinta khasanah budaya, sastra, etimologi, dan sebagainya menjadi tertarik untuk melihat langsung betapa tragisnya dan seriusnya kulminasi moral yang sebenarnya (masih) terjadi di lembah Palu dan yang terpenting ada nadir yang belum terungkap. Mengingat, di Indonesia belum ada responsif secara apresiasi yang ditulis serius dan kontinyu untuk pelan-pelan membuka tabir ‘pusat peradaban dunia’ di Sulawesi Tengah.
Tidak banyak orang tahu tentang pusat peradaban dunia, hanya sedikit kalangan yang bisa dihitung. Dan kalaupun ada, hanyalah yang berkepentingan secara instansi atau pelancong asing dengan misi tertentu seperti penelitian akademik. Dari nubuat kecil ini, penulis berusaha menggugah semua pihak untuk peduli. Tulisan-tulisan ini adalah rekaman jejak yang perlu ditelusuri ulang demi kepentingan sejarah. Secara pribadi, saya tercenung dengan gejolak yang pernah terjadi dalam masa penulisan nubuat kecil ini. Ada spirit yang tertangkap, hingga penulis tuliskan dan spirit itu perlu ditularkan.
Lalu tabir lokalitas bisa mengglobal bila nubuat kecil ini bisa ditindaklanjuti, entah dalam bentuk apapun. Sebab apresiasi serupa sangat jarang direkam oleh masyarakat Kaili khususnya, dan bahkan masyarakat etnis Kulavi, Napu, Behoa, Bada,Mori, dan Pamona. Semoga kehamilan berikutnya, penulis mampu menggugah masyarakat sastra, sejarah, dan budaya untuk memposisikan diri sebagai pemeduli.


)* Penulis, Anggota Wanita Penulis Indonesia
TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI