Senin, 25 April 2011

EKSISTENSIALISME DALAM BUNGKAM MATA GERGAJI

Oleh: HE. Benyamine

Melalui gumam terangkai pemberontakan, perlawanan, dan kegundahan terhadap orang-orang bebal yang menyebarkan kerusakan demi kerusakan dengan menggunakan kekuasaannya. Melalui gumam juga tersibak jalan kebebasan sebagai penghargaan terhadap kemanusiaan. Hal ini begitu menggoncang dan mengusik dalam buku Bungkam Mata Gergaji (Kumpulan Gumam Asa) karya Ali Syamsudin Arsi (ASA), Framepublishing; Yogyakarta, 2011. Kumpulan gumam dalam buku ini dapat dikatakan sebagai gumam perlawanan sekaligus keberpihakan kepada hakikat manusia yang terus tergilas oleh mata gergaji sehingga terpisah, tercerai berai dan penuh luka, yang menjadikannya tidak terlihat eksistensinya sebagai individu maupun dalam komunitas dan hubungan dengan alam.

Kumpulan gumam dalam Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, 2011) memperlihatkan kecenderungan keras kepalanya sang pengarang yang mengambil jalan kebebasannya dalam berkarya, menapaki secara konsisten kegelisahan sebagaimana orang sedang memperjuangkan kebebasan dalam hidupnya meski rasa takut juga terus membayangi. Tanpa kebebasan, maka kemampuan setiap individu untuk memilih berarti tidak ada, yang dalam gumam Asa terungkap dalam bungkam mata gergaji; memisahkan, memburai, dan melukai. Dalam pandangan Jean-Paul Sartre yang membatasi kebebasan manusia sebagai bagian dari “neraka adalah orang lain”.

Dalam Bungkam Mata Gergaji (BMG) juga memperlihatkan adanya kecenderungan pilihan, tanpa mengganggu kebebasan, beberapa gumam dalam format yang jauh lebih pendek dari ketiga buku terdahulu, yang dinyatakan sebagai “berdamai” dengan “orang lain” sehingga beberapa gumamnya pendek dan sebagian sangat pendek. Pilihan berdamai itu tidak berarti merubah gaya gumam yang banyak menghamburkan kata-kata, meskipun sebenarnya dapat lebih sedikit kata.

Bungkam mata gergaji telah menjadi frase pembimbing dalam menyusuri kumpulan gumam ini, yang menjadi penanda kepedihan dan kuatnya hegemoni terhadap situasi dan kondisi yang mengitari manusia, yang sebagiannya tergambar telah kehilangan kebebasannya. Eksistensi manusia terbungkam mata gergaji dalam pandangan ASA tergambar dengan “mengucur luka luka luka dari gelak keruhnya sungai beban dari lubang-lubang galian beban dari lumpur-lumpur luapan beban dari drama-drama tayangan beban dari meriahnya kelap-kelip kaca taburan sinar, akh beban yang ternyata sangat memilukan”, sebagai eksistensi yang terluka dalam lingkungan penuh ancaman dan pengendalian dari orang yang bermuka tebal tak tahu malu tak bermata juga tak bertelinga sebagai digambarkan ASA sebagai “orang-orang bebal pun tetap saja mendengkur di ...”, dengan akhir “di” menunjuk pada sesuatu yang bebas.

BMG merupakan keruntuhan kebebasan manusia, ia digambar ASA dengan “telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi”. Keruntuhan kebebasan ini tiada lain dari kelumpuhan sebagai manusia, manusia yang siap digusur demi kedamaian dengan rela atau tidak untuk tersingkir, dalam ungkapan ASA, “mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran”.

Dalam BMG, ASA menunjukkan perlawanannya, dapat dikatakan sastra perlawanan terhadap keadaan yang mengekang dan membungkam. Meski perlawanan melalui gumam ini berhadapan dengan “dengkur berkepanjangan”, namun ada tekad yang kuat untuk terus melawan terhadap orang-orang bebal yang mengarahkan keberadaan manusia dalam kubangan kekacauan eksistensinya. ASA menyatakan, “Kami telah kepalkan tangan, tapi suara kami dibalas dengkur berkepanjangan”, untuk menunjukkan masih adanya kesadaran sebagai individu yang tidak mau terus dikondisikan dalam “bungkam bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikamam, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalam melemahkan”. Ungkapan-ungkapan ASA penuh vitalitas kekiri-kirian, yang mengosong tema pembebasan dari “neraka adalah orang lain” dengan cara melawan manusia (orang lain) yang dikatakan ASA, “berasal dari racun yang menetes di awan-awan”, yang menjelma dalam berbagai bentuk hingga “jadilah ia sebagai pembungkam segala kehendak”.

Berbagai fenomena pembungkaman tertangkap melalui BMG, seperti perilaku orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk membungkam. ASA memandangnya, “Sementara ada yang saling berebut naik ke atas podium masjid untuk mendapatkan kabel-kabel mikropon serta alat memantulkan kebesaran diri mereka, saling berebut untuk mendapatkan corong-corong”. ASA memberontak, “Kami telah tergusur dari tempat tinggal kami sendiri, tanah kami telah ditumbuhi gedung-gedung, sawah kami telah bersemi menara-menara, ladang kami telah penuh dengan swalayan toserba kotak-kotak kaca pameran”, yang sebagiannya digiring melalui corong-corong yang diperebutkan tersebut.
Dalam BMG nampak ASA yang radikal, yang kiri, yang individualis, yang pemberontak, yang begitu bersemangat berupaya mendobrak pembungkaman atas keunikan individu dan situasi hidupnya. Dibandingkan dengan ketiga buku Gumam Asa terdahulu, BMG menunjukkan sosok ASA yang penuh semangat pembebasan dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk yang menghilangkan kebebasan seseorang. Ada semangat eksistensialis dalam BMG, dalam pemikiran tentang kebebasan manusia, sebagaimana secara gamblang terungkap di bawah ini.

“Kerja sebuah gergaji adalah sistem bergerak untuk menjadi terpisah, menjadi berseberangan, saling berhadap-hadapan. Sama-sama merasakan luka berkepanjangan, luka dari bungkam mata gergaji. Sakit yang dirasakan bersama-sama. Luka untuk bersama-sama. Bila ada satu mata gergaji maka ia akan diikuti oleh gerak mata gergaji yang lain. Sistem, sebagai tameng ampuh dalam mempertahankan, sistem sebagai tameng untuk menyerang. Sedangkan kerja sebuah gergaji adalah sebagai pemisah. Untuk apa persatuan, bila di dalam sistem persatuan itu sendiri ada pihak dominan karena sikap ketidak-adilan yang diberlakukan. Untuk apa persatuan bila cara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan, di semua bidang, karena bungkam mata gergaji menciptakan sesuatu yang sepotong-sepotong, terpisah-pisah, terpecah-pecah”

Selanjutnya baca disini

WACANA KITA: AKTIVITAS SASTRA DAN SASTRAWAN

Catatan Dimas Arika Mihardja


Ada dua forum sastra yang akan dihelat di Indonesia sebagai wujud aktivitas sastra dan sastrawan. Kedua forum sastra itu ialah Pertemuan Penyair Nusantara V (PPN V) di Palembang dan Temu Sastrawan Indonesia IV (TSI IV) di Ternate. DAKAH? Ini sebuah pertanyaan yang mengemuka di Grup Temu Sastrawan Indonesia IV dan berbagai kegelisahan yang Dua forum ini tentu saja merupakan representasi dinamika aktivitas sastrawan dengan karya sastranya. Siapa pun yang menjadi panitia atau tuan rumah penyelenggaranya, tentulah memiliki konsep rencana, visi dan misi untuk bertekad kuat menyukseskan agenda acaranya. Kedua forum sastra ini bagaimana pun juga memiliki makna penting sebagai representasi geliat sastrawan Indonesia dan nusantara. Kedua forum sastra ini perlu didukung untuk kesuksesan penyelenggaraannya.

Sekedar menyampaikan informasi secara akurat dan bermaksud memberikan dukungan kepada kedua panitia event sastra ini, terlebih dulu saya akan menghadirkan informasi terkait dengan hajatan sastra itu. Saya mulai dengan mengkopipaste informasi dari panitia Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate seperti berikut ini:

Kepada

Yth. Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara:

Dengan Hormat,

Kami beritahukan bahwa Temu Sastrawan Indonesia-4 akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara, pada 25-29 Oktober 2011. TSI-4 bertema “Sastra Indonesia Abad ke 21, Keragaman, Silang Budaya dan Problematika”. Adapun kegiatan TSI-4 ini meliputi Seminar, Musyawarah Sastrawan, Penerbitan Antologi Sastra, Panggung Sastra, Pameran/Bazar/Launching Buku, Workshop dan Wisata Budaya.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Puisi :

- lima (5) buah puisi karya asli yang ditulis dalam tahun 2011

- belum dipublikasikan ke media mana pun

- Biodata maksimal 10 baris

- diemailkan ke : puisi.tsi4@gmail.com

B. Cerpen :

- tiga (2) buah cerpen karya asli yang ditulis dalam tahun 2011

- belum dipublikasikan ke media mana pun

- panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai 10 halaman kwarto (600 Kata)

- memakai font times new roman size 12

- Biodata maksimal 10 baris

- diemailkan ke : cerpen.tsi4@gmail.com

Pengiriman karya dapat dilakukan sejak: 23 Maret 2011 – 23 Juli 2011. Bagi sastrawan yang karyanya lolos seleksi Dewan Kurator TSI-4, akan mendapat undangan resmi dari panitia TSI-4 dan honorarium tulisan.

Panitia akan menyediakan penginapan (akomodasi), makan-minum (kosumsi) dan transport lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah dan cinderamata. Mengingat keterbatasan dana, maka kami mohon maaf tidak bisa menyediakan biaya transportasi peserta undangan dari tempat asal ke tempat tujuan (pp).

Atas perhatian, kerja sama dan partisipasi Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Ternate 21 Maret 2011

Salam Takzim,

Panitia Temu Sastrawan Indonesia 4

Ternate 2011

Sofyan Daud Dino Umahuk

Ketua Pelaksana Sekretaris

Kemudian saya tampilkan informasi dari panitia penyelenggara Pertemuan Penyair Nusantara (Anwar Putra Bayu) seperti berikut ini:

Panitia banyak menerima email dan pesan inbox Facebook yang intinya ingin ikut dan berpartisipasi dalam acara PPN V, untuk itu silahkan saja mengirimkan tiga buah puisi dengan tema bebas serta biodata ke dekasumsel@gmail.com, cc:ahmadun.yh@gmail.com, isbedyst@yahoo.com, dan anwarputrabayu@gmail.com. Pengriman karya tersebut selambat-lambatnya kami terima pada 30 April 2011. Puisi-puisi yang nantinya masuk antologi akan diikutsertakan dalam acara dan diberitahu kemudian via email. Selain itu, bagi teman-teman yang sudah menerima surat undangan kami nantikan kiriman puisinya selambatnya tgl. 30 April 2011. Terima kasih atas perhatiannya.

Perlu pula saya tambahkan informasi dari salah seorang Dewan Kurator PPN V (Isbedy Stiawan ZS) terkait hajatan PPN V Palembang sebagai berikut:

Selasa, 29 Maret 2011

SEMINAR INTERNASIONAL PUISI NUSANTARA

Latar Belakang

Pertemuan Penyair Nusantara adalah sebuah even sastra yang diselenggarakan setiap tahun. Tahun 2011 ini merupakan pertemuan ke-5, yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), 17--20 Juli 2011 di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

Sebagaimana tradisi pertemuan penyair nusantara sebelumnya, diisi oleh kegiatan baca puisi, peluncuran buku puisi, pameran buku sastra, wisata budaya, dan kegiatan seminar selalu tetap menjadi bagian yang terpenting dalam mata acara PPN. Seminar PPN V di Palembang ini akan melihat pertumbuhan serta perkembangan perpuisian terkini di masing-masing wilayah nusantara.

Perjalanan sastra, khususnya puisi di setiap negara dan bangsa tentunya memiliki problema sendiri-sendiri, yang bersentuhan dengan karya, media, penerbitan, kritik, dan lain-lain yang menyertainya. Keanekaragam persoalan itu menjadi sebuah perbincangan, bahkan perdebatan yang diharapkan menghasilkan jalan keluar yang positif bagi keberlanjutan kehidupan perpuisian di masing-masing wilayah.

Setidaknya, seminar yang menjadi rangkaian kegiatan PPN V ini diharapkan sebagai upaya membuka jalan guna membagikan dan mengapresiasikan ungkapan manusia dari keberagaman budaya, bangsa, etnis, dan ideologi. bangsa atau negara. Selain itu, diharapkan menjadi jembatan persaudaraan dan kebersamaan untuk mengenal lebih dekat tradisi serta sistem sastra setiap bangsa atau negara.

Tujuan

Seminar Internasional ini memiliki tujuan antara lain:

a. Mengkaji dan memerikan kekayaan pemikiran dan wawasan dalam rangka melihat gambaran puisi nusantara mutakhir.

b. Menggali khazanah makna dan nilai yang terkandung di balik puisi nusantara mutakhir guna penguatan karakter dan jati diri bangsa.

c. Membangun jejaring penyair, pemerhati, pengkaji, dan pelestari puisi nusaantara.

Tema

“Potret Puisi Nusantara Mutakhir”

Pokok Bahasan:

a. Estetika dan gaya puisi nusantara mutakhir.

b. Ruh dan ideologi puisi nusantara.

c. Perluasan media puisi, dari media cetak ke media digital.

d. Orientasi, komitmen, dan pengaruh media terhadap pertumbuhan puisi

e. Model pengajaran puisi yang ideal.

f. Menggairahkan kembali tradisi kritik puisi

Pemakalah Utama

Prof. Dr. Budi Darma, Prof. Dr. Abdul Hadi, WM, Dr. Taufik Ismail, Dr. Tarech Rasyid, Drs. Ahmadun Yosi Herfanda, Chavcay Syaifullah (Indonesia), Prof. Muhammad Haji Salleh, Ph.D, Dato Dr. Ahmad Kamal Abdullah (Kemala), Prof. Dr. Mohammad Saleh Rahamad, Rahimidin Zahri, Prof. Irwan Abu bakar (Malaysia), Dr. Razak Pandangmalam, Dr. Nik Abdul Rakib bin Nik Hassan (Thailand), Dr. Zefri Arrif, Suip bin Hj. Abd. Wahab, Mohd. Shahrin bin Haji Metussin (Brunei Darussalam), Dr. Suratman Markasan, Putra Kikir, Djamal Tukimin (Singapura)*

Selanjutnya baca disini

#KOINSASTRA DAN HARI BUKU SEDUNIA DI PALU

Gerakan Aliansi Peduli Sastra (23/4)


PUSAT Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin Jakarta yang terancam tutup karena tidak mempunyai biaya perawatan atas puluhan ribu buku sastra ini mengundang simpati dari komunitas yang menyatakan dirinya pemerhati dan pemeduli sastra. Bertepatan dengan hari buku internasional (23/4), serentak kawan-kawan se-Indonesia yang menamai forum #koinsastra ini unjuk aksi dalam penggalangan donasi.

Tak terkecuali dengan rekan-rekan di Palu (Sulawesi Tengah) mereka menamai dirinya sebagai Aliansi Gerakan Peduli Sastra. Pada sabtu kemarin, kawan-kawan yang dimotori Nombaca Palu (Neni Muhidin) menggelar Diskusi Buku "Menggugat Kebudayaan Tadulako dan Dero Poso", display dan bazar buku, yang mana dari penulis buku Jamrin Abubakar tersebut menyumbangkan 50 persen hasil jual bukunya untuk #koinsastra PDS HB. Jassin

Acara ayang diakhiri dengan pembacaan sejumlah puisi oleh penyair senior Palu tersebut, mengundang sedikitnya 60 simpatisan dari berbagai elemen masyarakat. Kegiatan yang bertempat di Taman Gor Palu itu, menjadi perhatian sejumlah media-media, seperti ANTARA, televisi-televisi lokal, media cetak setempat, dan rekan jaringan film independen (JALIN).

Dalam diskusi buku yang menjadi fokus acara selain donasi itu, Penulisnya Jamrin Abubakar banyak sekali mendapat respon. Baik yang bersifat masukan maupun ajakan untuk sama-sama menelaah lebih lanjut, mitologi pahlawan megalit dan kebudayaan Tadulako. Apakah kebudayaan Tadulako yang secara domisili bisa mendominasi seluruh etnis yang ada di Sulawesi-Tengah? Uniknya dalam buku tersebut, ada dua hal besar yang diusung yakni Kebudayaan Tadulako dan Dero POso. Tetapi, nampaknya para perserta diskusi lebih tertarik kepada Kebudayaan Tadulako, sebuah ide oleh Rusdy Toana yang dikecam oleh sejumlah tokoh karena dikhawatirkan justru akan memecah etnis yang ada sekarang.

Mengingat, buku tentang Sulawesi Tengah sangat langka, maka TS. Atjat seorang Dosen Fakultas Sastra Universitas Al-Khairaat menghimbau suapaya nantinya buku-buku yang dibuat oleh Jamrin Abubakar menjadi pemicu bagi penulis yang lain untuk berkarya. Sebelumnya Jamrin juga telah merilis bukunya "Orang Kaili Gelisah". Hampir keseluruhan tulisannya, penulis yang notabenenya adalah jurnalis itu menulis tentang budaya, sastra, dan seni di Sulawesi Tengah.

Oleh pemrakaarsa kegiatan, Neni Muhidin berharap dengan adanya diskusi tersebut masyarakat Palu yang dominan bertradisi lisan dapat 'melek' literasi. Dengan bukulah gerbang manusia membuka cakrawala pandangnya dan mendialektikakan kemanusiaan. Pemilik Perpustakaan Mini Nemu Buku itu, mengakui minat baca orang Palu masih rendah. Ia berharap suatu saat, orang-orang Palu berjejal-jejal datang ke perpustakaan daerah maupun miliknya.

Minggu, 17 April 2011

BUKU JAMRIN ABU BAKAR

MENGGUGAT KEBUDAYAAN TADULAKO DAN DERO POSO
: Hudan Nur)*

Nubuat kecil yang dicatat Jamrin Abubakar adalah kontemplasi penuh dengan segala daya yang dimilikinya selaku wartawan selama puluhan tahun. Dalam buku ini, ada beberapa tema yang diusung untuk mengingatkan pembaca terhadap hal besar, seperti; lengkatuwo sang tadukalo murni, sejumlah hipokrit kejadian PID Forum, atau sejumlah ceceran kesedihan terhadap modero.

Tidak dapat dipungkiri tulisan-tulisan ini adalah hasil kehamilan eksperimental oleh penulisnya selama merekam himpitan-himpitan, gejolak, kegelisahan, hingga dengan nubuat kecil inilah penulis bersaksi. Bahasa yang sederhana dengan ventilasi lokal yang utuh membuat nubuat kecil ini menjadi istimewa. Khususnya bagi orang luar yang notabenenya bukan orang Kaili, atau penduduk Palu untuk masuk dalam mindset papakerma lembah Palu dengan sejumlah adat, sejarah, warna, bahkan polemik yang pernah terbangun sebelumnya.

Di samping itu, secara tidak langsung semiotika yang dituturkan secara implisit dalam Menggugat Kebudayaan Tadulako ini membuat para pecinta khasanah budaya, sastra, etimologi, dan sebagainya menjadi tertarik untuk melihat langsung betapa tragisnya dan seriusnya kulminasi moral yang sebenarnya (masih) terjadi di lembah Palu dan yang terpenting ada nadir yang belum terungkap. Mengingat, di Indonesia belum ada responsif secara apresiasi yang ditulis serius dan kontinyu untuk pelan-pelan membuka tabir ‘pusat peradaban dunia’ di Sulawesi Tengah.

Tidak banyak orang tahu tentang pusat peradaban dunia, hanya sedikit kalangan yang bisa dihitung. Dan kalaupun ada, hanyalah yang berkepentingan secara instansi atau pelancong asing dengan misi tertentu seperti penelitian akademik. Dari nubuat kecil ini, penulis berusaha menggugah semua pihak untuk peduli. Tulisan-tulisan ini adalah rekaman jejak yang perlu ditelusuri ulang demi kepentingan sejarah. Secara pribadi, saya tercenung dengan gejolak yang pernah terjadi dalam masa penulisan nubuat kecil ini. Ada spirit yang tertangkap, hingga penulis tuliskan dan spirit itu perlu ditularkan.

Lalu tabir lokalitas bisa mengglobal bila nubuat kecil ini bisa ditindaklanjuti, entah dalam bentuk apapun. Sebab apresiasi serupa sangat jarang direkam oleh masyarakat Kaili khususnya, dan bahkan masyarakat etnis Kulavi, Napu, Behoa, Bada,Mori, dan Pamona. Semoga kehamilan berikutnya, penulis mampu menggugah masyarakat sastra, sejarah, dan budaya untuk memposisikan diri sebagai pemeduli.


)* Penulis, Anggota Wanita Penulis Indonesia

TEMU SASTRAWAN NUSANTARA IV TERNATE

Kepada
Yth. Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara:

Dengan Hormat,

Kami beritahukan bahwa Temu Sastrawan Indonesia-4 akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara, pada 25-29 Oktober 2011. TSI-4 bertema “Sastra Indonesia Abad ke 21, Keragaman, Silang Budaya dan Problematika”. Adapun kegiatan TSI-4 ini meliputi Seminar, Musyawarah Sastrawan, Penerbitan Antologi Sastra, Panggung Sastra, Pameran/Bazar/Launching Buku, Workshop dan Wisata Budaya.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Puisi :
- lima (5) buah puisi karya asli yang ditulis dalam tahun 2011
- belum dipublikasikan ke media mana pun
- Biodata maksimal 10 baris
- diemailkan ke : puisi.tsi4@gmail.com

B. Cerpen :
- tiga (3) buah cerpen karya asli yang ditulis dalam tahun 2011
- belum dipublikasikan ke media mana pun
- panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai 10 halaman kwarto (600 Kata)
- memakai font times new roman size 12
- Biodata maksimal 10 baris
- diemailkan ke : cerpen.tsi4@gmail.com

Pengiriman karya dapat dilakukan sejak: 23 Maret 2011 – 23 Juli 2011. Bagi sastrawan yang karyanya lolos seleksi Dewan Kurator TSI-4, akan mendapat undangan resmi dari panitia TSI-4 dan honorarium tulisan.

Panitia akan menyediakan penginapan (akomodasi), makan-minum (kosumsi) dan transport lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah dan cinderamata. Mengingat keterbatasan dana, maka kami mohon maaf tidak bisa menyediakan biaya transportasi peserta undangan dari tempat asal ke tempat tujuan (pp).

Atas perhatian, kerja sama dan partisipasi Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Ternate 21 Maret 2011

Salam Takzim,
Panitia Temu Sastrawan Indonesia 4
Ternate 2011

Sofyan Daud Dino Umahuk
Ketua Pelaksana Sekretaris

MAKLUMAT PERTEMUAN PENYAIR NUSANTARA

Kami beritahukan bahwa Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) akan mengadakan kegiatan Pertemuan Penyair Nusantara ke-5, yang dilaksanakan pada 17 sampai 20 Juli 2011 di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Pertemuan ini melibatkan peserta penyair dari Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, Thailand, Filipina, dan Asia Pasifik.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan 3 (tiga) buah puisi karya asli dan biodata untuk diterbitkan dalam antologi puisi. Pengriman karya tersebut selambat-lambatnya kami terima pada 30 April 2011 ke dekasumsel@gmail.com, cc:ahmadun.yh@gmail.com, isbedyst@yahoo.com, dan anwarputrabayu@gmail.com.

Puisi yang dimuat dalam antologi nantinya akan diundang sebagai peserta PPN V.

Demikian disampaikan, atas perhatian diucapkan terima kasih.

Salam takzim.

Dewan Kesenian Sumatera Selatan

Anwar Putra Bayu
anwarputrabayu@gmail.com

APA BENAR TAUFIQ ISMAIL MELANGGAR LICENCIA POETICA?

(Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi atas Polemik Plagiarisme Karya Malloch)

oleh Ilham Q. Moehiddin


POLEMIK perihal dugaan plagiarisme yang dilakukan Taufik Ismail seketika merunyak akhir-akhir ini. Polemik ini seketika menjadi ‘hebat’ sebab ikut menyeret nama penyair besar sekelas Taufiq Ismail, yang oleh Paus Sastra Indonesia, HB. Jassin, dikelompokkan ke dalam penyair angkatan ’66.

Pada mulanya, seorang cerpenis wanita, Wa Ode Wulan Ratna, memposting sebuah karya Douglas Malloch dalam catatan di akun Facebook-nya. Karya Malloch yang sejatinya berjudul ‘Be The Best of Whatever You Are’ itu terposting berupa terjemahan berjudul ‘Akar-akar Pohon’.

Tak sengaja saya membaca puisi itu, dan merasa dejavu. Serasa saya pernah membaca atau mendengar puisi macam itu, entah dimana. Lalu saya teringat pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan stasiun TransTV yang ditayangkan sebelum berbuka puasa pada Ramadhan 2010. Pada tayangan itu, aktris Asri Ivo membacakan puisi ‘Kerendahan Hati’. Caption pada tayangan itu juga menampilkan nama Taufik Ismail sebagai pencipta puisi tersebut.

Tanpa memuat prasangka apalagi tuduhan, sayapun ikut mem-posting dua entitas puisi itu ke akun Facebook saya, pada 25 Februari 2011, sekadar mengajak beberapa sastrais dan budayawan untuk berdiskusi perihal itu. Benar saja, postingan itu memancing diskusi dan debat. Semenjak itulah, ‘dugaan samar’ ini menyebar kemana-mana. Diskusi dan polemik seputar ini seketika menyeberang ke Twitter, dan menjadi ramai di sana.

Telisik Literasi pada Kedua Puisi

Menurut pendapat saya, akar polemik ini sungguh patut dipertanyakan. Jika benar seperti apa yang dituduhkan orang kebanyakan pada Taufik Ismail, maka upaya itu tidak bisa sekadar disebut meringkas, menyadur, ataupun mentranskrip. Jika diperhatikan secara saksama, apa yang tertulis sebagai puisi Douglas Malloch yang kemudian dituliskan sebagai milik Taufik Ismail, tak memenuhi ketiga unsur di atas.

Jika dikatakan meringkas, maka perilaku meringkas sangat sukar dikenakan pada entitas puisi, sebab akan otomatis melanggar licentia poetica. Apa benar penyair besar Taufiq Ismail dengan sengaja melanggar licentia poetica? Saya tak sepenuhnya yakin dia melakukan itu. Kemudian, jika dikatakan menyadur, maka Taufik Ismail tak tampak sedang menyadur puisi Douglas Malloch.

Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain. Menyadur juga diartikan sebagai mengolah (hasil penelitian, laporan, dsb.) atau mengikhtisarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002: 976). Dengan demikian, menyadur mengandung konsep menerjemahkan secara bebas dengan meringkas, menyederhanakan, atau mengembangkan tulisan tanpa mengubah pokok pikiran asal. Hal penting yang harus kita ketahui ialah bahwa dalam menyadur sebuah tulisan, ternyata kita diperkenankan untuk memperbaiki bentuk maupun bahasa karangan orang lain, misalnya dalam kasus karangan terjemahan.

Sayangnya, penyaduran tidak bisa serta-merta diberlakukan pada puisi, sebab ada aspek bahasa, bunyi dan makna, yang belum tentu dapat diinterpretasikan secara tepat oleh penyadur. Jika penyaduran dilakukan pada cerpen, dan novel berbahasa asing, maka proses yang dijelaskan pada KBBI sudah tepat. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan dalam menyadur adalah dengan meminta izin, mencantumkan sumber tulisan berikut nama penulisnya.
Cobalah simak puisi Be The Best of Whatever You Are, karya Douglas Malloch ini.

If you can’t be a pine o the sop of the hill,
Be a scrub in the valley – but be
The little scrub by the side of the hill; (1)
Be a bush if you can’t be a tree

If you can’t be a bush be a bit of the grass
And some highway happier make (2)
If you can’t be a muskie then just be a bass
But the leveliest bass in the lake

We can’t all be captains, we’ve got to be crew (3)
There’s something for all of us here
There’s big work to do, and there’s lesser to do
And the task you must do is the near

If you can’t be a highway the just be a trail (4)
If you can’t be the sun, be a star
It isn’t by size you win or you fail
Be the best of whatever you are (5)


Puisi Douglas Malloch ini adalah puisi berjenis kuatrain dan berada di jalur tengah aliran kepenyairan. Douglas Malloch, dalam puisinya ini, jelas sekali hendak mendudukkan pokok pikirannya sebagai masonic yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai penebang kayu, secara terurut, tanpa putus. Artinya, jika hanya hendak menekankan pada kebaikan setiap orang untuk ‘menjadi yang terbaik dengan cukup menjadi dirinya sendiri’, maka Douglas Malloch tak perlu menuliskannya hingga empat bait. Pesannya bisa langsung sampai hanya dalam dua atau tiga bait saja. Inilah mengapa proses penyaduran tidak bisa dilakukan pada puisi.

Sekarang, simaklah puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail berikut.

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya…
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri


Pada terminologi penyaduran, bentuk reposisi dan pengembangan masih diperbolehkan. Tetapi jika diperhatikan lebih saksama (terutama pada larik-larik yang dimiringkan) tampak sekali beberapa larik sengaja dihilangkan, dan, atau menggantinya dengan larik berbeda.
Ada dua larik pada puisi Douglas Malloch yang hilang, yakni; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//

Lalu, berganti dengan larik berbeda pada puisi Taufik Ismail, yakni; Tetapi jalan setapak yang/ membawa orang ke mata air//

Apakah penghilangan dan penggantian ini disengaja? Jika melihat terjemahan dua larik puisi Douglas Malloch, dan membaca dua larik baru pada puisi Taufik Ismail, maka jelas sekali bahwa penggantian tersebut disengaja. Pengubahan, atau penggantian ini dari sisi licentia poetica seharusnya tidak boleh terjadi, sebab telah mengubah makna dan bunyi puisi Douglas Malloch. Inikah yang disebut penyaduran?

Pertanyaan ini dijawab dengan tuntas oleh Gorys Keraf. “Sebuah bentuk ringkasan dari sebuah tulisan hendaknya tetap menekankan sisi konsistensi akan sebuah urut-urutan sesuai dengan ide atau gagasan pengarang. Begitu halnya saat kita menyadur, hal tersebut juga berlaku—tetap mempertahankan ide dari naskah asli.” Tegas Keraf dalam buku Komposisi (1984:262, Flores. Penerbit Nusa Indah).

Yang Luput dari Taufik Ismail.

Menarik disimak, adalah dua larik yang tadi telah dibahas di atas, yang entah mengapa luput oleh Taufik Ismail dimasukkan ke dalam puisinya. Dua larik itu adalah; If you can’t be a muskie then just be a bass/ But the leveliest bass in the lake//

Sebagai satu kesatuan dari bunyi dan makna yang dikatakan Keraf, maka dua larik yang luput itu seharusnya tetap ada untuk mengikat dua larik sebelumnya; If you can’t be a bush be a bit of the grass/ And some highway happier make//

Lemah dugaan saya, bahwa Taufik Ismail tidak mengetahui persis makna kata muskie dan bass dalam dua larik puisi Douglas Malloch itu.

Dua kata dalam larik puisi Douglas Malloch itu memang tidak ditemukan dalam dalam kamus besar Bahasa Inggris (The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Drs. Peter Salim, M.A.). Rasa penasaran pada kata lake (danau), yang membawa saya pada dua jenis ikan yang berhabitat di danau primer dan sepanjang sungai besar di Amerika Serikat.

Selanjutnya baca disini

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI