Wajah Deportan
(Eko Putra)
paman, tunggu sebentar
jangan beranjak dari bangkumu
aku ingin bicara
tentang gambar-gambar kebudayaan
yang kita jadikan reklamasi
tempat tanahair menceritakan
dukalara nenekmoyang, melalui
tangan-tangan kita dan teror-teror kita
(dalam kamar sejarah
kita menyulap anak-anak
sebagai ritus-ritus hedonis
yang kita lahirkan berabad-abad
lewat kata dan kemiskinan yang
membatu)
paman, apakah engkau akan
melukis wajah kita dalam
carut-marut ini, pada
lapar dan dahaga
di tanah subur ini
lalu kita berteriak dalam gema
yel-yel, selebaran, spanduk, televise
koran, majalah, radio…
“ mari kita revolusikan cinta ini !”
tapi kemiskinan telah ngalir
di tubuh kita, di kolong jembatan
di sawah-sawah, di gunung-gunung,
di sungai-sungai, hotel dan gedung bertingkat
paman
semuanya menggumpal
dalam usus saudara kita
yang selalu kesakitan, mengenang
janji-janji kita, dan masih
menyala pada harapan mereka
menjadi darah busuk kita dalam denyut nurani kita
yang terpenjara
(paman, kumatian televisi
agar anak-anak belajar
menghitung masa lalu)
dan akhirnya kita akan mengerti
bahasa dan kebudayaan
yang telah porak-poranda
dari tempat dudukmu
dari wajah telanjang kita
Sekayu, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar