Minggu, 06 Mei 2012

GURU TUANYA SULAWESI TENGAH

: Hudan Nur )*



DATA BUKU

Judul        : GURU TUA PAHLAWAN SEPANJANG ZAMAN
Penulis        : Jamrin Abubakar
Penerbit    : Ladang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan    : Pertama, 2012
Tebal        : 98 Halaman
ISBN        : 978-602-96792-7-4

                                      

SEKALI lagi oleh penulisnya Jamrin Abubakar,  menyumbangkan kesaksiannya bahwa dalam hidupnya pernah tahu dan sempat mengenal Guru Tua dari berbagai hal. Ada baiknya mengungkap Guru Tua, karena di luar pulau sana. Sebutan Guru Tua yang sangat akrab di telinga orang Sulawesi Tengah tidak dikenal luas, bahkan tidak diketahui sama sekali.
Padahal dari pemaparan di dalam buku, Guru Tua yang berasal dari Timur Tengah itu sangat disegani oleh Pemerintah Hindia Belanda. Guru Tua atau yang bernama Al Habib Sayyid Idrus bin Salim Aldjufri adalah seorang pedagang, diplomat, dan penyasastra. Ia juga tokoh kemanusiaan yang tak hanya disegani oleh kalangan atas namun seluruh lapisan. Ketika terjadi pengeksekusian PKI pada tahun 65-66, Guru Tualah yang menengahi persilangan masalah di masyarakat kala itu. Oleh kekharismatikan beliaulah, hanya di Sulawesi Tengah tidak terjadi eksekusi. Semua patuh akan anjurannya, yang tidak boleh menghukum apalagi membunuh manusia. Padahal kala itu, ada isu yang beredar dan menyatakan bahwa PKI akan membunuh Guru Tua. Namun isu itu tidak terbukti.
Mungkin tak banyak yang tahu kalau hobi dari sang Guru Tua yang melegenda itu adalah menonton sepak bola. Selain itu sosok Guru Tua yang menurut DRS. Tjatjo Tuan Saichu yang juga dosen sastra di Universitas Al-Khairaat dan sastrawan itu bahwa seorang guru tua ternyata adalah penyasastra, ia adalah penyair yang yang menuliskan sajaknya dalam bahasa arab. Ada satu puisinya yang telah diterjemahkan oleh HS. Saggaf Aldjufri, pada April 1973 yakni:

SANG MERAH PUTIH

Wahai sang merah putih
lambang kejayaan
berkibarlah engkau
di bumi Indonesia
yang subur dan hijau lagi tercinta

Setiap bangsa
mempunyai lambang kenegaraan
dan kejayaan
dan lambang kejayaan kita
adalah Sang Merah Putih


Dalam syairnya yang ditulis dengan bahasa arab, terasa sekali pengaruh syair arab yang lekat dengan makna sesungguhnya.
Ada yang menarik dari Guru Tua yang kharismatik ini yakni beliau adalah seorang tokoh yang sangat demokratis dan mempunyai empati dan sifat toleransi yang tinggi. Pernah suatu waktu ia mengangkat seorang pengajar yang beragama Kristen yakni P.K Entoh untuk mengajari ilmu eksakta di lingkungan sekolah Al-Khairaat. Hal ini beliau lakukan karena mengingat keilmuan yang dimiliki P.K Entoh, bukan melihat dari sudut agamanya. Sungguh rasional, dan begitu moderat.
Selama 40 tahun Guru Tua membawa Al-Khairaat menjadi wadah yang mempunyai kekuatan Islam yang tak hanya di Sulawesi Tengah, tetapi di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur.
Guru tua wafat di Palu dalam usia 80 tahun, pada senin 12 Syawal 1389 H atau 27 Desember 1969, beliau dimakamkan di salah satu serambi Masjid Al-Khairaat Palu, Sulawesi Tengah. Secara silsilag Guru Tua dan keluarga, beliau mempunyai enam orang istri. Dari kesemuanya melahirkan tujuh orang putra-putri.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan saya atas kesahihan nasab Guru Tua, yang bila saya bandingkan dengan nasab yang diketahui oleh kakek Guru Tua, ada perbedaan yang sangat mencoloh. Baik dari urutan silsilahnya maupun penomeran urutan hasil silang perkawinan. Mungkin, karena penulis Jamrin Abubakar adalah wartawan yang melakukan investigasi hanya melalui fakta dan opini di masyarakat, yakni data dari catatan H. Nungci H. Ali bukan penelitian secara komprehensif maka kehadiran pernasaban  di buku ini bisa jadi kontroversi di suatu masa.
Di luar terjadi atau tidaknya kontroversi pernasaban, gelar Guru Tua adalah makna dari Guru yang Dituakan. Oleh masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan dikenal dengan sebutan “Andregurutta”. Oleh keistiqomahannnya dalam menjalankan syariat dan dakwah Islam sepanjang hayatnya, Pemerintah menganugrahinya Bintang Mahaputra Adipradana tahun 2010.
Sekarang Guru Tua sudah puluhan tahun meninggalkan dunia, dan khususnya masyarakat Sulawesi Tengah namun beliau tetap dikenang. Dan setiap hal-hal apa saja selalu dikaitkan dengan anjuran, dan yang pernah beliau sikapi dalam menghadapi persoalan hidup dan tentunya dalam hal keberagamaan.
Buku Guru Tua Pahlawan Sepanjang Zaman ini membawa pencerahan tersendiri karena selama ini belum ada yang menuliskannya secara kitab, hanya sepotong-sepotong. Buku ini mesti bermanfaat bagi perjalanan sejarah, khususnya eksistensi beliau bagi masyarakat Sulawesi Tengah.[]





)* Pustakawan di Rumah Buku Zeusagi


SENSIBILITAS BERTRIWIKRAMA TUHAN DALAM SAJAK IBERAMSYAH BARBARY

: Hudan Nur)*



SAYA percaya dengan Iyut Fitra bahwa semakin banyak menulis puisi maka akan terasa semakin sulit. Timbul ketakutan terjadinya pengulangan-pengulangan, entah itu diksi, gaya dan tema. Sehingga semakin tinggi usia penyair maka puisinya akan semakin sedikit, tidak sebanyak  di awal-awal kepenyairan yang masih cair dan mencari. Akibatnya produktifitas menjadi terhambat. Karenanya, boleh jadi Iberamsyah Barbary (IB) yang sebelumnya membukukan sajak-sajak situasinya yang privat ke dalam Serumpun Ayat-Ayat Tuhan juga mengalami keterbatasan produksi, di samping kesempatan untuk memuja kata-kata yang minus.
    Dalam Asmaul Husna, buku sajak kedua IB ini ada semacam perayaan batiniah yang sepi, menyibak ke jurang kontemplasi diri. Sehingga ada jarak yang mengurai antara Manusia dan Tuhannya. IB berusaha untuk menggapai lebih dalam jurang yang selama ini ia temukan untuk menggali dan terus menggali kejauhan pemaknaan akan dirinya dan Tuhannya lewat sifat yang ternyata sama-sama seimbang.
     IB relatif berhasil menguak makna nama-nama Tuhan dalam agamanya, yakni Islam menjadi pembuktian atas keseimbangan yang tak hanya ada di alam semesta dan pelakunya tetapi persamaan secara balance dengan penciptanya. Ada warning dalam sajaknya antara lain; ketika Tuhan Maha Merendahkan (Al Khafid) tetapi pembaca diingatkan bahwa Ia juga Maha Meninggikan (Ar Rafi’), kadang Tuhan bisa Memuliakan (Al Muiz) tetapi jangan lupa Ia juga bisa Menghinakan (Al Mudzill). Yang lebih mengerikan adalah bahwa Tuhan itu Maha Penghukum (Al Muntaqim) tetapi Ia juga Maha Pengampun (Al ‘Afuw).

    Bisa dilihat dalam penggalan sajaknya, Asmaul Husna halaman 22

    …   
    …
    Terpuruklah dalam, kehinaan membelam
    Jiwa sesak menyimpan malu
    Cermin pecah terserak tajam, menusuk dalam
    Martabat, runtuh silsilah yang dibanggakan selalu
    Hilanglah mahkota di tangan yang tergenggam
    …
    Kalau sudah terpuruk jiwa memudar
    Panjatlah tiang, iman yang telah ditancapkan didataran tinggi
    Teriak keras-keras, didengar orang sekitar
    Sampai hina melebur, menyentuh kaki
    Yakinlah akan keberadaan Kasih Sayang-Nya
    Mengangkat tinggi teriak yang sumbang
    Ketengah pertarungan kembali


    Jelas sekali dalam sajak Yang Merendahkan ini IB menyampaikan gugu dan duka sungkawa bagi manusia yang hina akan dihinakan, sehina-hinanya tak hanya oleh alam tapi juga Tuhannya. Akan tetapi di epilog sajaknya IB juga menyatakan kalau Tuhan juga akan meninggikannya. Seakan dalam sajak-sajaknya ini IB mengajak kita untuk sama-sama masuk ke jurang kontemplasi yang ia jalani, setidaknya memberitahu kepada pembaca bahwa ketika ada malam ada siang, sisi baik dan buruk, bagian kiri dan kanan, atas dan bawah begitu juga Tuhan dengan nama-namaNya. Begitu juga dengan sajaknya Yang Maha Menghukum halaman 81:
    …
    …
    …
    Jangan sampai kita terhukum
    Ditinggalkan cinta yang bertabura rindu dendam
    Jaga rumah dengan hamparan permadani hijau yang ranum
    Terangi lorong-lorong, kalbu selalu benderang dengan nyala
    Nyanyikan dengan suasana, dengan lagu-lagu rindu yang memelas
    Nyala hukum-Nya sangat tegas
    Gelora cinta-Nya sangat luas
    Pengampunan tidak mengenal batas
    Karena Dia Maha Pengampun

   
    Di setiap ending sajaknya sebagian besar yang berpasangan secara sifat keseimbangan IB menjelaskan makna nama Tuhan selanjutnya. Maka antar satu sajak dengan yang lainnya kalau dipadukan akan menyatu menjadi irama lalu berubah lagu, seperti kesatuan tubuh yang utuh. Dan benar saja, bila analogi Asmaul Husna adalah manusia maka mesti ada tangan kanan dan tangan kiri, sepasang mata, setangkup bibir, dan seluruhnya adalah pasangan untuk menyeimbangkan begitu pula dengan kumpulan sajak IB ini.
    Hanya saja belum ditemukan perbedaan sajak-sajak IB secara substansi dari kurun waktu puluhan tahun silam baik di kumpulan sajak Serumpun Ayat-Ayat Tuhan dan Asmaul Husna. Ketika sajak menjadi penanda dan pemisah sejarah maka genre menjadi tempat sensibilitas yang murni, dalam artian tidak terpengaruh secara sosial. Sensibilitas ini bisa berubah menjadi transedental sesuatu triwikrama. Ada tiga triwikrama kategori sajak di dunia ini dalam garisan besar yakni; sajak kritik yang memaki-maki, sajak cinta (universal) yang terelukan dan sajak religi yang mendayu-dayu.
    Sangat disayangkan secara ambivalensi simbolik Kumpulan Sajak Asmaul Husna ini belum ketat menyuguhkan struktur organisasi sajak yang kuat. Bahkan ketika prolog sajaknya di putar ke tengah, atau epilognya di bawa ke tengah paragrap, atau menggabungkan epilog dan prolog di penghujung sajak, niscaya sekali bisa dilakukan. Dan nampaknya tidak merubah pemaknaan sama sekali.
    Barangkali sajak-sajak IB tersebut adalah hasil pengaruh historis dari epigon penyairnya pada era tahun 70-an. Maka ini akan sah-sah saja. Saya jadi ingat puisi-puisi cinta Pablo Neruda yang katanya “Kita mesti saling cinta ketika yang lain hancur,  berantakan semua.” Nerudalah si penyair subur yang merambah aneka bentuk dan tema. Ia menerima Hadiah Nobel untuk puisi dan hadiah perdamaian Stalin. Ia komunis yang istiqomah dan romantis. Suatu hari, Junta militer Chili, Jendral Pinochet, menjarah rumahnya. “carilah – hanya ada satu benda berbahaya untuk kalian di sini – puisi.” Dan kelak seperti Neruda, IB juga wariskan petitihnya lewat sajak-sajak bertriwikrama Tuhannya, yang tentu saja bertendensi warning!

    Sekali lagi saya juga percaya dengan Binhad Nurrohmat dan Adin bahwa perpuisian di Indonesia hari ini makin dilegitimasi oleh sesama Penyair melalui antologi, festival, maupun forum. Sehingga kritikus dan pembaca tak lagi ambil bagian. Realitas ini membuat perkoncoan antar penyair menjadi “seni” tersendiri di luar lisensia puitika. Banyak sekali perayaan di era ini, selebrasi sastra dari tahun ke tahun terakhir semakin menjamur. Sesungguhnya selebrasi tanpa tindak lanjut akan menjadi hal yang hambar, karena dunia sastra tidaklah sesederhana karya dimuat atau tidak dimuat, dianggap penyair atau tidak, dianggap sastrawan atau bukan.
    Sastra Indonesia hari ini mempunyai problematika yang rumit, gawat, dan memprihatinkan. Celakanya tidak semua orang tahu dan ingin tahu. Sangat dinantikan kehadiran penyair-penyair yang tidak hanya memikirkan dirinya sebagai penyair,  namun juga mampu membuka mata dan bersikap terhadap persoalan dunia kesusastraan di Indonesia. Mudah-mudahan dengan kehadiran buku Asmaul Husna, yang bermandikan peringatan-peringatan religi ini dapat berarti untuk resepsi masyarakat, tidak hanya masyarakat sastra. []




)* Pustakawan Rumah Buku Zeusagi

Kamis, 15 Desember 2011

Zeusagi Library Persiapkan Gerakan #banjarbaru membaca 2012

Bermula dari kecintaan dengan segala jenis bacaan, mulai dari majalah, buku dongeng, fiksi, filsafat, teologi, dan sastra. Di Kota Banjarbaru sendiri  memiliki Perpustakaan Kota yang pendiriannya baru diawal tahun 2000an, ada juga beberapa Taman Bacaan yang kesemuanya menyediakan menu komik dan beberapa perpustakaan sekolah yang layak disebut perpustakaan.
Kondisi ini diperparah dengan toko buku di pasaran yang hanya menjual buku-buku pelajaran. Untungnya 2010, TB Kharisma membuka cabang di Kota Banjarbaru. 

Kehadiran Zeusagi Library ini pun tidak banyak menyumbangkan keliterasian untuk ‘melek’ baca kepada masyarakat secara umum karena ada beberapa faktor yang mengganjal. Sebagian besar yang aktif dalam sirkulasi peminjaman adalah kalangan mahasiswa, LSM, sejumlah tetangga, dan aktivis seni.
Sejauh ini Zeusagi Library telah berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kerjasama yang bersifat peduli dan anjuran untuk membaca kepada para partisipannya, seperti: Lomba Baca Puisi, Lomba Baca Cerpen, Diskusi Naskah Drama dan artistik, dan lain-lain. 

Keinginan atas eksistensi Zeusagi Library adalah: membangun hubungan dengan paham keliterasian serta nilai moral sebagai transformasi budaya, menumbuhkembangkan pentingnya membaca dalam membangun kehidupan yang seimbang, menciptakan kondisi budaya yang ‘melek’ literasi, dan menjalin Silaturrahim antar sesama manusia. 

Ada 1500an koleksi bacaan yang dimiliki Zeusagi Library, adapun daftar bukunya tentang-berupa: majalah, teologi, sastra, sejarah, sosiologi-antropologi, dan psikologi. Di tahun 2012 mendatang ada beberapa program yang baik secara literer akan menggalakkan roadshow kampanye baca dan gerakan #banjarbaru membaca. Ini semua semata-mata untuk literasi Banjarbaru untuk 'melek' baca. 

Minggu, 13 November 2011

Undangan Panitia Jakarta International Literature Festival 2011 (jilfest 2011) tgl 6 – 8 Desember 2011


1. tamba@jurnas.com
2. aritamba@gmail.com
3. aris_kurniawanisme@yahoo.com
4. merayusukma49@yahoo.co.id
5. ayitsuyitno@yahoo.com
6. agus2noor@yahoo.co.id
7. ahda05@yahoo.com
8. budhisetya69@yahoo.com
9. dimasarikamihardja@yahoo.co.id
10. fakhrunnas_jabbar@yahoo.com
11. pek_bun@yahoo.com
12. hudan.nur@gmail.com
13. hudanhidayat@yahoo.com
14. rajabatak@yahoo.com
15. imam_pangeran@yahoo.com
16. mejannansati@rocketmail.com
17. isbedyst@yahoo.com
18. jumari.hs@djarum.com
19. lukman.asya@gmail.com
20. medy.loekito@shimz.biz
21. micky_hidayat59@yahoo.com
22. pradewitc@gmail.com
23. che_sastrasukma@situseni.com
24. pranitadewiku@yahoo.com
25. can@kompas.com
26. rtbanua@yahoo.com
27. sihar_ramze@yahoo.com
28. wajahbercahaya@yahoo.co.id
29. viddyad2@yahoo.com
30. wisatsana@yahoo.com
31. yowedhus@gmail.com
32. chagibdhan@yahoo.com
33. sartika27@yahoo.co.id
34. boderiswandi@yahoo.com
35. eze_rictianaleite@windowslive.com
36. ekodhanto@yahoo.co.id
37. bidangpm@yahoo.com
38. tatang_suhenda@yahoo.com
Kamis, 10 November 2011

Kepada Yth. Para Terundang
melalui email ini.

Salam sejahtera

Menyertai surat ini, kami lampirkan surat undangan resmi dari panitiajakarta international literature festival 2011 (jilfest 2011), jilfest 2011 akan digelar pada 6 - 8 desember 2011, bertempat di jakarta.

Perlu kami sampaikan, bahwa yang terundang, yang berkenan ikut dalam jilfest 2011, kiranya dapat menyampaikan konfirmasi kesediaan untuk ikut serta melalui email ini, dan di cc ke: bidangpm@yahoo.com dan tatang_suhenda@yahoo.com

Panitia akan menanggung akomodasi (penginapan di hotel milenium kebon sirih jakarta), konsumsi, serta uang saku sejumlah Rp600.000. adapun biaya transportasi dari tempat tinggal peserta hingga sampai di hotel milenium (daerah tanah abang, sekira 100 meter dari bank indonesia), menjadi tanggung-jawab peserta. semoga undangan resmi dari pemerintah DKI yang dilampirkan dalam email, adapat dijadikan rekomendasi bagi terundang untuk mengajukan sponsor kepada pemerintah daerah atau maesenas di daerah/kota tempat terundang bermukim.

Hal lain yang juga perlu kami sampaikan adalah, bahwa setiap terundang yang berkenan menjadi peserta, diminta dapat mengirimkan karya berupa puisi sebanyak lima judul (bagi penyair), atau cerpen satu judul (bagi cerpenis). karya puisi dan cerpen tersebut akan dibukukan dalam satu antologi, dan diharapkan sudah dapat dibagikan pada saat pembukaan jilfest 2011 yang akan berlangsung pada pukul 19.00 di hall hotel milenium.
Pengiriman karya ini, supaya dapat memenuhi tenggat percetakan, dimohon sudah paling lambat dikirimkan melalui email tanggal 15 november 2011, dan pada halaman du luar karya, mohon menyertakan biodata singkat.

Demikian isi email ini kami sampaikan. atas perhatian dan kesediaan menjadi peserta jilfest 2011, kami haturkan ungkapan seribu kasih.

Salam sejahtera

PO jilfest,
doddi ahmad fauji

TUTURAN PENYINTAS TRAGEDI ’65-‘66


DATA BUKU
Judul               : Memecah pembisuan
Editor              : Putu Oka Sukanta
Penerbit           : LKK, ICJT, dan Yayasan Tifa
Cetakan           : Pertama, Agustus 2011
Tebal               : 315 Halaman
ISBN               : 978-602-99858-0-1

AWALNYA saya mendapatkan buku ini pada acara peluncuran dan bedah buku yang langsung digawangi oleh Tapol Oka Sukanta di Balai Kota Palu, akhir Oktober lalu. Oka Sukanta adalah orang Lekra yang sempat dituduh PKI, dan buku Memecah Pembisuan ini adalah kompilasi penuturan para penyintas (korban) tragedi 1965-1966 yang ditulis secara feature. Pada masa itu, Orde Baru telah mengindoktrinisasi sejarah yang penuh fitnah, diskriminatif, fiktif, melalui pelbagai media formal dan informal, yang sampai sekarang belum pernah diklarifikasi oleh Pemerintah.
Buku ini terdiri atas 15 feature dari para penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Cerita yang terhimpun dari mereka yang hidupnya ditempa oleh sebuah holocaust di Indonesia, sebuah penghancuran besar-besaran dengan jumlah yang luar biasa banyaknya. Elie Wiesel, seorang penyintas holocaust, penulis dan pemenang Nobel Perdamaian, mengatakan: “The opposite of love is not hate, it’s indifference. The opposite of art is not ugliness, it’s indifference. The opposite of faith is not heresy, it’s indifference. And the opposite of life is not death, it’s indifference.” (Lawan dari cinta bukanlah kebencian, tapi ketidakpedulian. Lawan dari sebi bukanlah keburukan, tetapi ketidakpedulian. Lawan dari iman bukanlah ketidakpercayaan, tetapi ketidakpedulian. Dan lawan dari kehidupan bukanlah kematian, tetapi ketidakpedulian. Sehingga tuturan para penyintas ini adalah guratan nasib yang melawan ketidakpedulian. Lewat Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan, International Center for Transional Justice, dan Yayasan Tifa ingin merehabilitasi reputasi siapa-siapa dan nama-nama  mereka yang sudah ditiadakan.
Parahnya, ada penyintas yang menjadi tahanan politik sampai 20 tahun lamanya. Di Sulawesi Tengah sendiri sedikitnya 1000 orang anggota PKI yang terjaring, pada tahun-tahun itu dikeluarkanlah instruksi eksekusi dari penguasa rezim orde baru untuk orang-orang PKI di Sulteng. Entah kenapa, barangkali pengaruh Guru Tua yang kala itu melarang melakukan pembunuhan atas dasar syariat Islam, hal ini sangat bertentangan dengan eksekusi di Jawa Timur. Di sana malah, ulama dan ustadzlah yang menjadi pemimpin holocaust. Padahal, pada waktu berkembang isu bahwa PKI ingin membunuh Guru Tua, tetapi hal itu tak terbukti. Maka, dari seluruh wilayah Indonesia Sulawesi Tengahlah yang tidak melaksanakan Eksekusi itu.
Di dalam buku ini tersebutlah seorang yang bernama Rahim Marhab (nama sebenarnya) yang lahir pada tahun 1941. Ia tinggal di desa Bambalemo yang letaknya di Trans Sulawesi. Bambalemo sendiri, letaknya 55 kilometer dari Kota Palu. 1961 di Poso, ia memutuskan untuk bergabung dengan PKI. Hal itu didasari pemikirannya atas ideologi komunis yang mana kesejahteraan itu milik rakyat! Selain itu ada metode 3M yang diterapkan partai, yakni merangkul, membatasi, dan menggunakan.  Dalam ajaran partai komunis, tidak ada pembeda-bedaan manusia karena manusia adalah ciptaan Tuhan, maka bila ada yang mengatakan komunis anti-Tuhan itu adalah fitnah. Bagi Rahim Marhab partai mengajarkan turba (turuk ke bawah), melihat kondisi masyarakat langsung. Dan ini mendapat empati sekaligus apresiasi masyarakat kepada PKI.
Hingga waktu berjalan selama empat tahun. Entah kenapa di tahun 1965, ia ditahan bersama rekan separtainya. Ia dikurung dalam ruangan 3X4 yang dihuni 20 orang sekaligus, yang untuk tidurpun harus duduk. Untungnya dua tahun kemudian ia dilepaskan, setelah mengalami kekerasan, intimidasi dan penyiksaan, atas apa yang tidak pernah diperbuatnya. Syukurnya, di tempat ia tinggal masyarakat Kaili tidak juga mengucilkannya. Ia diterima dengan baik, dan diperlakukan sewajarnya manusia.
Dalam diskusi dan bedah buku yang dihadiri ratusan ex-PKI/keluarga, sejumlah tentara, walikota dan gubernur Sulawesi Tengah itu selaku Editor buku Memecah Pembisian, Putu Oka Sukanta menjelaskan bahwa hasil otopsi tim dokter atas pembunuhan jendral tragedi G30S PKI itu, tidak ada bukti penyiksaan seperti fiksi yang beredar di publik seperti; penyiletan kulit oleh Gerwani. Ada seorang penanya yang tidak lain adalah anggota PKI, meminta Putu Oka untuk memberitahu siapa sebenarnya yang melakukan pembunuhan terhadap jendral-jendral pada malam 30 September 1965 itu. Hanya sayang, Putu Oka tidak berani mengungkap secara terbuka. Mungkin karena di tempat tersebut ada tentara-tentara dengan pakaian lengkap, dan ruang diskusi adalah balai Kota.
Setelah sebuah feature dibaca oleh Ince Mawar Lasasi, saya menyaksikan puluhan pasang mata tidak mampu membendung airmata. Sebab cerita Rahim Marhab, memang cukup menyakitkan. Mereka adalah nenek-nenek dan kakek-kakek partisipan PKI pada zamannya. Hanya luka yang mereka genggam tanpa keadilan, pelanggaran HAM atas diri mereka dan keluarga sampai kini tidak terbela. Rupanya Negara ini membeli senapan, hanya untuk menembaki saudaranya sendiri!***

FILM TJI DURIAN 19-RUMAH BUDAYA YANG DIRAMPAS


Film ini mengisahkan pengalaman para seniman Lekra yang sempat tinggal berkantor, dan berkreasi di Jalan Tjidurian 19 Cikini, Jakarta Pusat. Rumah kantor milik kepala rumah tangga Lekra, Oey Hay Djoen, tersebut dirampas, diduduki, kemudian dijual ke pihak lain oleh aparat Negara Orde Baru. Sekarang telah berubah menjadi gedung mewah bertingkat dengan fungsinya yang baru pula. Perampasan gedung dan penguburan ingatan berlangsung secara terstruktur dan sistematis oleh penguasa Orde Baru, sehingga terjadi kesenjangan dalam lintas perjalanan sejarah negeri ini. Amrus Natalsya, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri Setiawan, Martin Aleida, Putu Oka, dan T. Iskandar AS menceritakan langsung pengalaman mereka dengan jujur serta rasa kehilangan yang mendalam. Di rumah budaya tersebut mereka tidak hanya menghasilkan karya mereka, tetapi juga menjalin kesetaraan, memperdebatkan estetika, politik dan ideologi. Dalam film ini menyiratkan perjuangan Pram dan Utuy yang juga berliku.


DIALOG SASTRAWAN PALU-YOGYAKARTA


Dalam rangka festival teater dan sastra (dalam rangka bulan bahasa yang sadah lewat) sastrawan asal Yogyakarta, Raudal Tanjung Banua dan Andika mengadakan travel sastra ke daerah-daerah. Kehadirannya mencari bentuk ruang kegelisahan dan kerinduan yang ada di tempat yang dikunjungi, setiap tempat akan bermakna apabila ada Kantong Budaya-nya, jika ada tempat yang tadak ada kantong budaya akan seperti abnormal jika sebuah kota hanya dibangun dari gedung-gedung modern dan birokrasi.
“Harus ada penyeimbang dari kawan-kawan di suatu tempat untuk kantong-kantong budaya, komunitas sekecil apapun yang mempertemukan yaitu kegelisahan tersebut untuk mengimbangi kota-kota yang cenderung rakus, kebijakan yamg tidak bijak,” papar Taudal di CafĂ© Nemu Buku milik Neni Muhidin seorang aktivis budaya di Kota Palu, pecan lalu.
Dalam pertemuan dan dialog dengan sastrawan Yogyakarta itu hadir pula sastrawan Kota Palu, Ts. Atjat, Mas’amah M. Syam, Satries, Ashar Yotomaruangi dan sejumlah pemerhati dan peminat sastra yang tergabung dalam Komunitas Nombaca. Berbagai masalah dan saling tukar informasi terjadi dalam pertemuan tersebut, sebagai bentuk apresiasi terhadap perkembangan sastra Indonesia yang makin terbuka.
Menurut cerpenis dan penyair Raudal Tanjung Banua yang pertama kali hadir di Kota Palu dalam rangkaian tour dari Talaud, Sulawesi Utara itu, kesenian adalah dunia yang sunyi, bunyi yang dikeluarkan tidak terlalu banyak aplus dari public. Namun sedikit demi sedikit jaringan tersebut akan menjadi dasar yang potensial untuk membangun karakter dan budaya di berbagai kota.
Kata Raudal, ketika berkunjung ke suatu kota, jejaring, jalur-jalut sastra, progresif menjalankan misi keseniannya, menjadi alternatif komunitas yang keras kepala bertahan. Tanpa harus menunggu lembaga negara yang seharusnya mengayomi dan melirik mereka, tidak ambil pusing drng kondisi yang ada dan jalan terus.
Kehadiran raudal juga menceritakan tentang komunitas di kota lain yang pernah didatanginya. Ia mencontohkan, di Kendari ada Komunitas Arus yang diasuh oleh dosen sastra, dan sangat tidak formal, kios buah yang dijadikan perpustakaan untuk oase sastra. “Mereka bergabung bukan hanya sastrawan dan budaya, juga kalangan dari politikus lokal, agendanya diskusi rutin dan pertemuan informal yang dilakukan,” cerita Raudal. Radudal sendiri dikenal sebagai sastrawan yang produktif menulis cerpen dan puisi, serta esai di berbagai media nasional.
Dialog yang berlangsung sederhana itu sekaligus sastrawan Palu banyak memberi masukan dan cerita tentang perkembangan sastra di Kota Palu dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk mengenai geliat berbagai kegiatan kesenian yang bertalian dengan sastra sebagai bagian perkembangan kesenian uumnya di Kota Palu. Di satu sisi, Ts. Atjat dan Ashar Yotomaruangi, juga tidak menutupi soal adanya keterbatasan-keterbatasan dalam berbagai aktivitas kesenian, namun menurutnya itulah sebuah dinamika perkembangan kesenian di Kota Palu. (HILDA/JAMRIN AB)

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI