DATA BUKU
Judul : Memecah pembisuan
Editor : Putu Oka Sukanta
Penerbit : LKK, ICJT, dan Yayasan Tifa
Cetakan : Pertama, Agustus 2011
Tebal : 315 Halaman
ISBN : 978-602-99858-0-1
AWALNYA saya mendapatkan buku ini pada acara
peluncuran dan bedah buku yang langsung digawangi oleh Tapol Oka Sukanta di
Balai Kota Palu, akhir Oktober lalu. Oka Sukanta adalah orang Lekra yang sempat
dituduh PKI, dan buku Memecah Pembisuan ini adalah kompilasi penuturan para
penyintas (korban) tragedi 1965-1966 yang ditulis secara feature. Pada masa
itu, Orde Baru telah mengindoktrinisasi sejarah yang penuh fitnah,
diskriminatif, fiktif, melalui pelbagai media formal dan informal, yang sampai
sekarang belum pernah diklarifikasi oleh Pemerintah.
Buku
ini terdiri atas 15 feature dari para penyintas yang tinggal di Medan, Palu,
Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Cerita yang terhimpun
dari mereka yang hidupnya ditempa oleh sebuah holocaust di Indonesia, sebuah penghancuran besar-besaran dengan
jumlah yang luar biasa banyaknya. Elie Wiesel, seorang penyintas holocaust, penulis dan pemenang Nobel Perdamaian, mengatakan: “The opposite of love is not hate, it’s indifference.
The opposite of art is not ugliness, it’s indifference. The opposite of faith
is not heresy, it’s indifference. And the opposite of life is not death, it’s
indifference.” (Lawan dari cinta bukanlah kebencian, tapi ketidakpedulian. Lawan
dari sebi bukanlah keburukan, tetapi ketidakpedulian. Lawan dari iman bukanlah
ketidakpercayaan, tetapi ketidakpedulian. Dan lawan dari kehidupan bukanlah
kematian, tetapi ketidakpedulian. Sehingga tuturan para penyintas ini adalah
guratan nasib yang melawan ketidakpedulian. Lewat Lembaga Kreatifitas
Kemanusiaan, International Center for Transional Justice, dan Yayasan Tifa
ingin merehabilitasi reputasi siapa-siapa dan nama-nama mereka yang sudah ditiadakan.
Parahnya,
ada penyintas yang menjadi tahanan politik sampai 20 tahun lamanya. Di Sulawesi
Tengah sendiri sedikitnya 1000 orang anggota PKI yang terjaring, pada
tahun-tahun itu dikeluarkanlah instruksi eksekusi dari penguasa rezim orde baru
untuk orang-orang PKI di Sulteng. Entah kenapa, barangkali pengaruh Guru Tua
yang kala itu melarang melakukan pembunuhan atas dasar syariat Islam, hal ini
sangat bertentangan dengan eksekusi di Jawa Timur. Di sana malah, ulama dan
ustadzlah yang menjadi pemimpin holocaust.
Padahal, pada waktu berkembang isu bahwa PKI ingin membunuh Guru Tua, tetapi
hal itu tak terbukti. Maka, dari seluruh wilayah Indonesia Sulawesi Tengahlah
yang tidak melaksanakan Eksekusi itu.
Di
dalam buku ini tersebutlah seorang yang bernama Rahim Marhab (nama sebenarnya)
yang lahir pada tahun 1941. Ia tinggal di desa Bambalemo yang letaknya di Trans
Sulawesi. Bambalemo sendiri, letaknya 55 kilometer dari Kota Palu. 1961 di
Poso, ia memutuskan untuk bergabung dengan PKI. Hal itu didasari pemikirannya
atas ideologi komunis yang mana kesejahteraan itu milik rakyat! Selain itu ada
metode 3M yang diterapkan partai, yakni merangkul, membatasi, dan
menggunakan. Dalam ajaran partai komunis,
tidak ada pembeda-bedaan manusia karena manusia adalah ciptaan Tuhan, maka bila
ada yang mengatakan komunis anti-Tuhan itu adalah fitnah. Bagi Rahim Marhab
partai mengajarkan turba (turuk ke bawah), melihat kondisi masyarakat langsung.
Dan ini mendapat empati sekaligus apresiasi masyarakat kepada PKI.
Hingga
waktu berjalan selama empat tahun. Entah kenapa di tahun 1965, ia ditahan
bersama rekan separtainya. Ia dikurung dalam ruangan 3X4 yang dihuni 20 orang
sekaligus, yang untuk tidurpun harus duduk. Untungnya dua tahun kemudian ia
dilepaskan, setelah mengalami kekerasan, intimidasi dan penyiksaan, atas apa
yang tidak pernah diperbuatnya. Syukurnya, di tempat ia tinggal masyarakat
Kaili tidak juga mengucilkannya. Ia diterima dengan baik, dan diperlakukan
sewajarnya manusia.
Dalam
diskusi dan bedah buku yang dihadiri ratusan ex-PKI/keluarga, sejumlah tentara,
walikota dan gubernur Sulawesi Tengah itu selaku Editor buku Memecah Pembisian,
Putu Oka Sukanta menjelaskan bahwa hasil otopsi tim dokter atas pembunuhan
jendral tragedi G30S PKI itu, tidak ada bukti penyiksaan seperti fiksi yang
beredar di publik seperti; penyiletan kulit oleh Gerwani. Ada seorang penanya
yang tidak lain adalah anggota PKI, meminta Putu Oka untuk memberitahu siapa
sebenarnya yang melakukan pembunuhan terhadap jendral-jendral pada malam 30
September 1965 itu. Hanya sayang, Putu Oka tidak berani mengungkap secara
terbuka. Mungkin karena di tempat tersebut ada tentara-tentara dengan pakaian
lengkap, dan ruang diskusi adalah balai Kota.
Setelah
sebuah feature dibaca oleh Ince Mawar Lasasi, saya menyaksikan puluhan pasang
mata tidak mampu membendung airmata. Sebab cerita Rahim Marhab, memang cukup
menyakitkan. Mereka adalah nenek-nenek dan kakek-kakek partisipan PKI pada
zamannya. Hanya luka yang mereka genggam tanpa keadilan, pelanggaran HAM atas
diri mereka dan keluarga sampai kini tidak terbela. Rupanya Negara ini membeli
senapan, hanya untuk menembaki saudaranya sendiri!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar