Minggu, 13 November 2011

TUTURAN PENYINTAS TRAGEDI ’65-‘66


DATA BUKU
Judul               : Memecah pembisuan
Editor              : Putu Oka Sukanta
Penerbit           : LKK, ICJT, dan Yayasan Tifa
Cetakan           : Pertama, Agustus 2011
Tebal               : 315 Halaman
ISBN               : 978-602-99858-0-1

AWALNYA saya mendapatkan buku ini pada acara peluncuran dan bedah buku yang langsung digawangi oleh Tapol Oka Sukanta di Balai Kota Palu, akhir Oktober lalu. Oka Sukanta adalah orang Lekra yang sempat dituduh PKI, dan buku Memecah Pembisuan ini adalah kompilasi penuturan para penyintas (korban) tragedi 1965-1966 yang ditulis secara feature. Pada masa itu, Orde Baru telah mengindoktrinisasi sejarah yang penuh fitnah, diskriminatif, fiktif, melalui pelbagai media formal dan informal, yang sampai sekarang belum pernah diklarifikasi oleh Pemerintah.
Buku ini terdiri atas 15 feature dari para penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Cerita yang terhimpun dari mereka yang hidupnya ditempa oleh sebuah holocaust di Indonesia, sebuah penghancuran besar-besaran dengan jumlah yang luar biasa banyaknya. Elie Wiesel, seorang penyintas holocaust, penulis dan pemenang Nobel Perdamaian, mengatakan: “The opposite of love is not hate, it’s indifference. The opposite of art is not ugliness, it’s indifference. The opposite of faith is not heresy, it’s indifference. And the opposite of life is not death, it’s indifference.” (Lawan dari cinta bukanlah kebencian, tapi ketidakpedulian. Lawan dari sebi bukanlah keburukan, tetapi ketidakpedulian. Lawan dari iman bukanlah ketidakpercayaan, tetapi ketidakpedulian. Dan lawan dari kehidupan bukanlah kematian, tetapi ketidakpedulian. Sehingga tuturan para penyintas ini adalah guratan nasib yang melawan ketidakpedulian. Lewat Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan, International Center for Transional Justice, dan Yayasan Tifa ingin merehabilitasi reputasi siapa-siapa dan nama-nama  mereka yang sudah ditiadakan.
Parahnya, ada penyintas yang menjadi tahanan politik sampai 20 tahun lamanya. Di Sulawesi Tengah sendiri sedikitnya 1000 orang anggota PKI yang terjaring, pada tahun-tahun itu dikeluarkanlah instruksi eksekusi dari penguasa rezim orde baru untuk orang-orang PKI di Sulteng. Entah kenapa, barangkali pengaruh Guru Tua yang kala itu melarang melakukan pembunuhan atas dasar syariat Islam, hal ini sangat bertentangan dengan eksekusi di Jawa Timur. Di sana malah, ulama dan ustadzlah yang menjadi pemimpin holocaust. Padahal, pada waktu berkembang isu bahwa PKI ingin membunuh Guru Tua, tetapi hal itu tak terbukti. Maka, dari seluruh wilayah Indonesia Sulawesi Tengahlah yang tidak melaksanakan Eksekusi itu.
Di dalam buku ini tersebutlah seorang yang bernama Rahim Marhab (nama sebenarnya) yang lahir pada tahun 1941. Ia tinggal di desa Bambalemo yang letaknya di Trans Sulawesi. Bambalemo sendiri, letaknya 55 kilometer dari Kota Palu. 1961 di Poso, ia memutuskan untuk bergabung dengan PKI. Hal itu didasari pemikirannya atas ideologi komunis yang mana kesejahteraan itu milik rakyat! Selain itu ada metode 3M yang diterapkan partai, yakni merangkul, membatasi, dan menggunakan.  Dalam ajaran partai komunis, tidak ada pembeda-bedaan manusia karena manusia adalah ciptaan Tuhan, maka bila ada yang mengatakan komunis anti-Tuhan itu adalah fitnah. Bagi Rahim Marhab partai mengajarkan turba (turuk ke bawah), melihat kondisi masyarakat langsung. Dan ini mendapat empati sekaligus apresiasi masyarakat kepada PKI.
Hingga waktu berjalan selama empat tahun. Entah kenapa di tahun 1965, ia ditahan bersama rekan separtainya. Ia dikurung dalam ruangan 3X4 yang dihuni 20 orang sekaligus, yang untuk tidurpun harus duduk. Untungnya dua tahun kemudian ia dilepaskan, setelah mengalami kekerasan, intimidasi dan penyiksaan, atas apa yang tidak pernah diperbuatnya. Syukurnya, di tempat ia tinggal masyarakat Kaili tidak juga mengucilkannya. Ia diterima dengan baik, dan diperlakukan sewajarnya manusia.
Dalam diskusi dan bedah buku yang dihadiri ratusan ex-PKI/keluarga, sejumlah tentara, walikota dan gubernur Sulawesi Tengah itu selaku Editor buku Memecah Pembisian, Putu Oka Sukanta menjelaskan bahwa hasil otopsi tim dokter atas pembunuhan jendral tragedi G30S PKI itu, tidak ada bukti penyiksaan seperti fiksi yang beredar di publik seperti; penyiletan kulit oleh Gerwani. Ada seorang penanya yang tidak lain adalah anggota PKI, meminta Putu Oka untuk memberitahu siapa sebenarnya yang melakukan pembunuhan terhadap jendral-jendral pada malam 30 September 1965 itu. Hanya sayang, Putu Oka tidak berani mengungkap secara terbuka. Mungkin karena di tempat tersebut ada tentara-tentara dengan pakaian lengkap, dan ruang diskusi adalah balai Kota.
Setelah sebuah feature dibaca oleh Ince Mawar Lasasi, saya menyaksikan puluhan pasang mata tidak mampu membendung airmata. Sebab cerita Rahim Marhab, memang cukup menyakitkan. Mereka adalah nenek-nenek dan kakek-kakek partisipan PKI pada zamannya. Hanya luka yang mereka genggam tanpa keadilan, pelanggaran HAM atas diri mereka dan keluarga sampai kini tidak terbela. Rupanya Negara ini membeli senapan, hanya untuk menembaki saudaranya sendiri!***

Tidak ada komentar:

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI