Senin, 29 Desember 2008

Catatan Akhir Tahun

Ke Aras Nun Jauh
Kuhitung Bintang-Bintang....

Di bawah rinai gugus rasi, ketika suara-suara cangkerik seakan bersahutan dengan riuh gemeretak suara-suara katak dalam kebisuan, ketika desir angin dan gemerisik dedaunan seakan berpaduan dengan musik yang kudengarkan, ketika itu pulalah seorang lelaki menengadahkan wajahnya ke langit malam. Dikhayalkannya bintang-bintang serupa kerlap-kerlip lampu-lampu kota yang dibangun di atas awan. Dibayangkannya Aras nun jauh tempat para malaikat berada. Ketika ia sendiri ragu adakah surga tempat segala harapan dan keinginan terkabulkan seketika tanpa penantian. Ketika kita lupa segala yang pernah membuat kita kecewa dan putus-asa.
Andai kita sama-sama menghitung satu-satu bintang-bintang itu di bawah keteduhan malam sembari kau hamparkan urai rambutmu di dadaku yang bimbang dan ragu. Ketika itu kita hanya berharap pada yang biasa saja. Meski kita juga selalu bermimpi sekedar untuk menghibur hati. Ketika itu ingin kudengarkan setiap kata yang bergetar dan mendesah dari hatimu sembari kudekap mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang bergolak di dadamu. Ketika itu waktu bagi kita adalah saat-saat yang memberi detik demi detik yang riang untuk mengkhayalkan apa saja yang ingin kita angankan. Seakan apa yang telah berlalu tak sepenuhnya berlalu.
Ketika kita mempercayai bahwa kita semestinya selalu menjadi anak-anak untuk memenuhi hasrat kita pada kebebasan. Agar kita bisa selalu memaafkan kegagalan dan kekecewaan yang pernah kita alami ketika dewasa. Agar kita bisa tersenyum dan tertawa dalam kesedihan. Sebab apalah artinya sebuah kata jika karenanya kita menderita. Bukankah anak-anak merasa bahagia ketika mereka tak mempertanyakan arti sebuah permainan. Ketika mereka hanya tahu bermain dan tak pernah mempersoalkannya. Karena itu aku ingin usia tak mengalahkan jiwa kita.


****

Kuhitung satu-satu bintang-bintang di langit itu. Di antara bulan yang redup terhalang awan, kupandangi satu bintang yang bersinar lebih terang dari semua bintang-bintang yang kupandang. Ia telah menyita perhatianku seakan adalah harapan dan keinginan dalam kesunyian.
Konon bintang-bintang adalah perlambang masa-depan yang mendengar doa dan keluh-kesah kita. Dan bila kita tiada, kita pun akan menjelma bintang-bintang. Karena itu bintang-bintang adalah perlambang harapan sekaligus kehilangan. Kepada bintang-bintang kita pun menengadah dan berharap mereka mengabulkan apa yang kita inginkan. Dan di saat mereka tak tergapai, di saat itu pula harapan kita semakin kekal. Suatu hari yang entah kapan itu, kita pun akan bersatu dengan mereka di Aras nun jauh itu. Di sana kita kekal selamanya dan tak lagi takut pada kematian.
****
Malam itu kubacakan sajak-sajak romanku untukmu. Dan kau hanya terdiam di hadapanku. Lalu kau raih tanganku dengan keramahan yang tak kuduga sebelumnya. Saat itu aku percaya aku telah jatuh cinta dengan segera dan tiba-tiba.

****
Malam ini aku pun tiba-tiba teringat sebuah dongeng tentang sepasang kekasih yang mengalami kutukan. Ketika siang, yang perempuan berubah menjadi burung elang. Dan ketika malam, yang lelaki berubah menjelma anjing hutan. Yang lelaki menjadi pengembara siang dan sang elang kekasihnya itu selalu menyertai dan bertengger di pundaknya. Dan begitu pun sebaliknya, yang perempuan hidup di sebuah gubuk yang dibangun kekasihnya di hutan yang jauh dari perkampungan. Bila senja, sang elang lekas terbang menuju gubuk tersebut. Dan kekasihnya segera menyusulnya. Karena ketika malam-lah ia bisa melihat dan mengagumi kecantikan kekasihnya. Ia akan berbaring di pangkuan kekasihnya sembari mendengarkan keluh-kesah, doa, dan cerita-cerita kekasihnya tercinta. Di gubuk itu kekasihnya memandangi bintang-bintang dan si anjing hutan hanya mendekap di pangkuannya dengan lembut dan mesra.
Selama bertahun-tahun mereka seperti itu bergantian menjadi manusia dan binatang sembari terus berjuang untuk menemukan azimat yang dapat menghilangkan kutukan mereka. Agar tak lagi dipisahkan oleh siang dan malam. Yang tak lagi harus menunggu giliran untuk menjadi manusia ketika yang lainnya menjadi binatang.
Dan selama bertahun-tahun itu pula mereka menjalani hidup saling setia dan terus berharap doa mereka terkabulkan. Begitulah bila malam mereka sama-sama berdoa kepada bintang-bintang agar kutukan bisa hilang dan kembali sama-sama menjadi manusia.
****
Dan adakah nubuat bintang-gemintangmu itu? Apa yang kau nubuatkan? Nasibkah atau harapan masa depan seperti yang dijanjikan para mesiah itu? Aku juga tak mengerti arti sebuah rasi dan gugusan galaksi yang hanya mampu kukhayali.
Mungkin kau berbicara tentang sesuatu yang tak dapat kita pastikan. Yang hanya mampu kita duga-duga karena ketakpuasan hasrat kita pada yang ada. Tapi aku tak ingin kau ragu akan ketulusanku. Ketika kau bilang padaku: “jiwaku lelah!” Karena rasa lelah adalah ciri kenormalan. Karena keluh-kesah adalah ciri hidup yang mesti kita syukuri tanpa ragu. Meski harapan bagiku tak lebih kerinduan bawah-sadar kita pada ketiadaan yang tak teramalkan. Dan tak dapat kita pahami kenapa kita menginginkannya sekaligus takut padanya.
****
Hari demi hari mereka jalani bersama dengan doa dan harapan yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Bila sang elang menjelma perempuan cantik saat matahari tenggelam, kekasihnya yang berubah menjadi anjing hutan akan selalu merebah di pangkuannya sembari mendengarkan dongeng-dongeng kekasihnya. Layaknya Syahrazad bercerita kepada Syahrayar dalam buku Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Begitu juga ketika matahari terbit di pagi hari, sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah akan selalu ditemani kekasihnya, sang elang, yang menjadi pemandunya mencari tempat-tempat untuk mencari pekerjaan dan makanan sehari-hari mereka.
****
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dalam kutukan, di suatu malam ketika mereka tertidur lelap, mereka sama-sama bermimpi sebuah bintang jatuh di hadapan mereka dan menjelma seorang Peri Cantik. Peri itu berkata kepada mereka: “Carilah oleh kalian sebuah pulau yang bernama Negeri Phantasmagoria. Kalian akan menemukannya jika kalian menengadahkan wajah dan berdoa kepada rasi Orion di atas langit malam kalian. Dan jika kalian telah sampai di negeri itu, carilah sebuah goa tempat Sang Naga. Bunuhlah Sang Naga itu dan ambillah jantungnya untuk kalian persembahkan kepada si Putri Duyung di Danau Phantasmata yang tak jauh dari goa tersebut. Setelah itu kalian harus saling berciuman tepat ketika waktu menunjukkan titik yang mempertemukan sekaligus memisahkan batas antara siang dan malam. Di detik terakhir matahari akan tenggelam.
Dan ketika Sang Peri itu pergi ke langit dan kembali menjadi bintang, mereka pun terbangun karena terkejut dengan mimpi itu. Mereka pun segera melakukan apa yang dikatakan Sang Peri itu.
****
Keesokan harinya sang anjing hutan yang telah berubah menjadi lelaki gagah pergi dengan ditemani kekasihnya, sang elang, menuju sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari gubuk mereka. Sesampainya di pantai yang mereka tuju, si lelaki segera mengayunkan alat yang mirip kapak pada sepohon besar yang rindang.
Dengan tekun mereka membuat perahu. Dan ketika siang, mereka pun telah menyelesaikan perahu yang mereka buat. Mereka pun menaiki perahu tersebut dengan si lelaki yang mendayungnya.
Selama setengah hari dan satu malam mereka mendayung bergantian dan belum juga mendapatkan tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Negeri Phantasmagoria. Ketika matahari terbit, maka sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah yang akan mendayungnya. Dan bila malam, sang elang yang berubah menjadi kekasihnya yang akan mendayung. Mereka pun terus mengarungi lautan selama delapan hari sebelum akhirnya mereka tiba di Negeri Phantasmagoria yang membuat mereka terkagum-kagum karena keindahannya. Negeri itu tertutup kabut putih keperakan yang lebih mirip dinding es tebal.
****
Tapi aku tak ingin meneruskan dongeng itu. Karena aku ingin kau menduga-duga sendiri akhir cerita itu. Aku ingin kau yang meneruskannya. Mengarangnya kembali dan menceritakannya kembali sebagai dongeng kehidupan layaknya Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Aku hanya ingin berkata arti pentingnya sebuah dongeng untuk mengobati kesepian. Agar kita selalu memiliki harapan dan tak menyerah untuk meraih apa yang kita inginkan untuk menjadi manusia. Aku tak ingin kau berhenti untuk terus berangan-angan. Aku ingin kau terus menuliskan dongeng-dongengmu sebagai penghiburan. Aku ingin kau memandang kesederhanaan dan kesahajaan sebagai sesuatu yang berharga. Agar kita bisa menerima kenyataan. Agar kita tak mencari kebahagiaan di tempat yang tak ada. Aku ingin dongeng itu dapat mencegah kita menjadi manusia yang terkutuk dan putus-asa. Dan aku ingin kau menyanyikannya.
***
Di atas langit itulah kini mereka telah menjelma bintang-bintang. Dan yang kuceritakan padamu hanyalah sepenggal kisah mereka untuk berjuang melawan kutukan yang telah menimpa mereka. Kutukan yang telah menjadi ikatan paling kuat dan paling setia cinta mereka yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Kini mereka bahagia di sebuah tempat nun jauh itu. Di sebuah tempat nun entah di mana, aku juga tak tahu.

Desember, 2008.

Minggu, 28 Desember 2008

Topeng dan Kawan-Kawan Teater di Banjarbaru

Kegiatan Rekan Teater se-Banjarbaru
Workshop Keteateran dan Artistik (buat topeng karakter)
20-28 Desember 2008
Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru

Teater Ambang Wuruk-Tasikmalaya


Di Bawah Gunung Nun
(Tokoh Amus)
SAKWASANGKA
: ashmansyah timutiah


+ jangan larang aku menyanyangimu!

- biarkan mereka mengenal sisi lain teater?

semuanya kita selesaikan dengan jiwa lelatu yang terlanjur salah dalam memahami ruang dan waktu dari kota bumi tasikmalaya menuju banjarbaru ranah lambung mangkurat. memaknai adalah obade yang harus diupacarakan ke suasana penuh khuyuk. biarkan kugenggam tanganmu dari jauh, itu lebih berarti dalam imaji gerak.

+ jangan larang aku mengenal moyangmu!

- biarkan kami mendorongmu untuk melihat dunia yang serius?

alangkah lukanya melihat ragamu dirasuki ego dan terjadilah keterjebakan dalam diskusi artistik: membuat topeng-topeng karakter yang telah lama diperkenalkan kepada hidupmu sebelum jumat memanggilmu untuk sekadar menelan kepahitan. sekali lagi.

+ perkenalkanlah aku ke orang-tuamu!

- bukankah besok harus mempersiapkan manusia raksasa di refleksi tahun?

peduli dengan besok? untuk memperistirahkan anak-cucu kita yang ditakdirkan dari generasi Siliwagi menebus dosa neneknya. kejujuran tak bisa dipadukan dengan keseriusan karena berbeda haluan. seperti angkasa yang selalu menjadi hijab bumi-langit dalam membesarkan dan memperkenalkan kau rubayyat takdir.

+ jadi?

- tidak!

+ tidak!

- ya?

Banjarbaru, 26 Desember 2008

Sabtu, 13 Desember 2008

Esai

Katagrafi Sebuah Roman
Dan Monogram-Diaris Seorang Penyair





”Diamonds are forever....”

Selantun lagu yang dinyanyikan Shirley Bassey itu mengalun lembut di ruang kerjanya sebagai seorang penulis. Ia diam termenung dan mengarahkan pandangan matanya ke arah pintu yang terbuka. Sesekali ia jatuhkan abu rokoknya pada asbak kaca yang tergeletak di meja kerjanya. Di ruang kerjanya itu ia ingin menulis apa saja yang sesuai dengan suasana hatinya dan gerak-gerak jari tangannya yang tampak gemetaran karena dingin malam selepas hujan yang masih menyisakan ricik gerimis. Ia hanya ingin menulis tentang dirinya dan bukan tentang yang lainnya. Karena ia seorang egois murni yang merasa bahagia dengan angan-angan narsistiknya. Ia ingin mencairkan kebekuan sintagmatik ketika ia mengalami kebuntuan sintaksis sebagai seorang penyair untuk menemukan diksi dan nada. Ikhtiarnya itu adalah sebentuk penebusan intelektual dalam kesendirian dan kesepiannya. Dengan menulis ia ingin membuktikan eksistensi dirinya. Sebuah pekerjaan yang dipilihnya sebagai seorang yang tak memiliki legalitas akademik untuk mencari uang. Dengan demikian ia adalah seorang intelektual dalam pengertiannya yang longgar dan amatiran sejauh pergulatannya dengan khasanah pemikiran yang sifatnya pribadi dan subjektif. Ia bebas karena ia tak mendalam dan spesifik dalam disiplin tertentu. Karena apa yang ingin ditulisnya tak lebih sebuah fiksi otobiografis.
Ia percaya bahwa hidup tanpa imajinasi seperti penyakit yang tak menemukan obat. Karena itulah ia menganggap penting arti sebuah ingatan dan kenangan. Dan ia bertahan hidup karena keduanya. Ia akan selalu mempercayai keduanya untuk melawan waktu yang membuatnya kecewa di masa lalu. Dan dengan itu pula ia mengatasi kebosanan dan keputusasaannya.
Di malam yang kesekian kalinya itu ia merasa cukup dengan apa yang telah ditulisnya. Sebelum ia menambah daftar panjang dusta. Sebelum ia kehabisan bahan untuk menuliskan dusta-dusta yang lain dengan cara dan penuturan yang lain pula. Ia berhenti untuk sebuah awal yang lain.
Malam itu dikenangnya masa-masa ketika ia belum mengalami rasa kecewa karena hasrat seksual dan keinginan birahi yang tak tersalurkan pada seorang perempuan yang diinginkannya. Kini ia telah menjadi seorang pendusta ketika ia tak lagi menjadi seorang bocah. Ia berbicara tentang hal yang sama dengan beragam tuturan dan cara. Kepalanya telah menjadi sebuah perpustakaan kebohongan. Ia telah kehilangan masa-masa kanaknya yang riang dan tanpa beban. Dan pada saat yang sama ia pun terus mengkhayalkan raut-raut geometris yang menyusun tatapan mata dan senyuman seorang perempuan yang mengagumi daya-ingatnya. Ia masih merasakan keindahan dan persahabatannya dengan perempuan tersebut di saat ia mengalami rasa kehilangan karena kematian yang juga membuatnya tak berdaya sebagai seorang lelaki dewasa. Kini ia dikuasai keraguan yang tak bisa disembuhkan.
****
Di atas meja kerjanya itu berserakan buku-buku puisi, novel, dan filsafat. Juga buku-buku biografi yang telah menjadi menu malam-malam kesendirian dan kesepiannya. Dalam gerimis selepas magrib itu akhirnya ia menyulut dua pucuk lilin pengganti lampu listriknya yang padam. Meski ia tak merasa tenang menulis karena harus menghalau hembusan angin pada dua pucuk nyala api lilinnya dengan kedua telapak tangannya yang lembab itu. Sementara senandung jazz terus mengalun pada channel 99.90 FM radionya. Kemudian hujan pun turun kembali. Ia membiarkan helai demi helai pandangan matanya menerawang dan melangkah ketika kedua telinganya merenungi ricik dan gemuruh. Tetapi pikirannya pergi jauh ke masa-masa kanaknya yang telah tak ada itu.
Dalam duduk termenung itu ingatannya tertuju pada seorang bocah lelaki di masa lalu yang mengumpulkan batang-batang padi bersama ibunya di sawah berair. Seorang bocah lelaki yang juga berlarian melintasi pematang mengejar para belalang dengan setongkat batang songler yang ia genggam bersama teman-temannya dalam guyur hujan. Seorang bocah lelaki yang juga bersama teman-temannya bermain sepakbola dengan bola yang terbuat dari sejumlah plastik yang disatukan dan dibulatkan dengan sejumlah ikatan dari karet, selepas hujan. Tapi kini ia sadar bocah yang riang itu telah menjadi lelaki pengecut dan pecundang. Seorang lelaki yang selalu dihantui keraguan dan kegagalan yang pernah dialaminya. Seorang lelaki yang telah melupakan arti sebuah permainan dan ketakacuhan yang riang. Seorang lelaki yang tak lagi bebas dan menghargai arti sebuah ketelanjangan dan keluguan hidup.
Dalam duduk itu ia sebenarnya gelisah. Seperti seorang pemikir yang tengah menghadapi kebuntuan axiomatik. Ketika malam menenggelamkan angan-angannya.
****
Di ujung senja mendung awal November itu ia duduk sambil memandangi gugusan awan. Hasratnya pada keindahan telah menjadikannya seorang lelaki yang tak mudah dikalahkan kebosanan dan kejenuhan. Meski ia senantiasa terjebak di antara kehilangan masa-lalunya dan kehadiran masa kininya yang seringkali menyulut gejala melankolianya yang sentimentil dan kekanak-kanakkan. Waktu dan kesepian telah memberinya kebebasan yang paling tulus. Kesendirian yang juga telah menciptakan sebuah dunia bagi kesepian dan angan-angannya.
Dalam sapuan angin senja di bawah keteduhan serimbun bambu itu ia merasakan kedamaian dan ketenangan. Pandangan matanya tertuju pada sekelompok burung yang mematuki sisa-sisa biji padi pada setumpuk jerami. Dan tiba-tiba pandangan matanya beralih pada seekor burung berbulu biru yang terbang rendah di atas air. Tak lama kemudian di paruh burung yang panjang itu melintang seekor ikan kecil yang lekas ditelannya dengan tangkas. Ia menganggap apa yang dilihatnya itu adalah sebuah puisi yang belum ditulis. Sebentuk lukisan impresionis yang belum disalin pada kanvas. Bahasa yang belum dituturkan dengan aksara dan kata-kata.
Di ujung senja itu ia ingin mendekatkan diri dengan alam dan musim-musim demi merasakan suatu moment dan peristiwa. Ia ingin melebur dalam cuaca dengan mengaktifkan semua pancaindera dan pencerapan bathinnya untuk menyimak suara-suara alam dan nyanyian-nyanyian musim yang akan memberinya sejumlah bait-bait puisi.
****
Di sepanjang jalan setapak pematang itu ia terus melangkah dan mengagumi gugusan kepang putih kembang akasia. Lalu ia pun berhenti dan duduk bersandar pada sepohon akasia sambil memandangi hamparan hijau sawah yang memberinya impresi keindahan dan kedamaian bathinnya. Ia pun seakan merasakan sisa keriangan November masa kanaknya yang kini telah silam dalam kenisbian yang lelap. Seolah tak ada yang tersisa dengan tatapnya yang basah dan telungkup pada daun-daun akasia itu. Ketika dalam angannya pendar cuaca seakan pudar dan tercerai di sela-sela awan dan jejak-jejak petang yang mulai merambat pelan-pelan terseret waktu.
Dalam keteduhan senja itu ia asik mendengarkan cericit-cericit burung pada ranting-ranting dan rimbun dedaunan. Ketika dalam fantasinya daun-daun pun seakan menggigil dan tertunduk seperti seorang lelaki yang terserang gejala melankolia. Ketika sepi terus bergetar dalam senyap rembang yang terbentang di depan matanya yang seolah menjauh dari tubuhnya. Ketika ia berada di antara kegelisahan dan kepasrahan. Ketika gumpalan-gumpalan awan hitam terus bergugusan menyusun kegelapan. Ketika ia sadar selalu saja ada yang luput untuk dipahaminya.
****
Di sana ia dapat mengagumi karya-karya seni yang paling nyata. Lukisan-lukisan alam dan moment keheningan. Warna-warna yang berbaur dan berpadu dengan langit dan awan. Pohon-pohon yang berjajar sepanjang sungai. Ia pandangi apa saja yang membuatnya dapat merasakan kedamaian. Ia percaya di sanalah rahim puisi. Di sana pula ia percaya imajinasi bersembunyi, mencair, dan kembali menguap ke udara. Kemudian seperti nyanyi hatinya yang sunyi, gerimis November merintik dalam ricik yang menghitung bait-bait puisi yang ingin ia tulis.
****
Kini ia kembali tertegun dan merenung selepas isya di gubuk itu. Malam itu ia ingin menulis lirik senandung seindah Claire De Lune yang mengalun di atas meja kerjanya itu. Sebuah roman dalam puisi. Sebentuk sonata dan Rubayyat. Sebuah nyanyian delapan nada. Sementara udara lembab terus menghembus rambut dan wajahnya yang lembab. Apa yang diperjuangkannya adalah sebentuk idealisme egoistik. Ia tengah memperjuangkan sebuah mahkota bagi nama diri dengan upaya estetiknya. Di meja kerjanya itu ia terus menggerakkan pena-nya pada lembar-lembar diarinya yang mulai lengket dan lembab karena buih-buih rintik gerimis. Sesekali ia pun sibuk merapikan kertas-kertas yang terlempar dari meja kerjanya karena hembusan angin.
****
Pagi itu matahari belum muncul setelah hujan malam kesenduannya. Cuaca pun masih mendung dan redup. Ketika dingin dan lembab angin terus menjalar. Ia memandangi orang-orang yang sibuk memotong batang-batang padi di sawah yang tak jauh dari gubuk tempatnya duduk dan merenung itu. Ia pun teringat masa-masa ketika ia dan ibunya memanen padi. Ketika ia memandangi sekelompok angsa dan para unggas berkecipakan mengibaskan lengan-lengan mereka di sungai. Ketika ia bersandar dalam keadaan lelah pada sedahan akasia yang tumbuh di bukit kecil ujung pematang sawah.
Dalam ingatannya itu ia masih terbayang para belalang yang berlesatan di antara semak dan ilalang dalam keheningan yang tak terhindarkan untuk seorang bocah lelaki belia. Ketika ia memandangi langit senja dalam kesunyian. Dan kini ia yang bocah itu sudah tak ada. Dan mungkin tak pernah ada. Tanpa terasa ia telah menghabiskan segelas kopi hitam dan empat batang rokok dalam cuaca mendung dan redup itu. Meski dalam cuaca lembab itu ia tiba-tiba berkhayal erotik yang membuat anu-nya menegang dan menghangat di saat tubuhnya merasakan dingin yang masih menusuk.
****
Dalam duduk itu ia terus bertanay apa yang diinginkannya ketika menulis? Apakah hanya untuk memenuhi dorongan narsistiknya? Egoisme dan ilusinya? Apa yang dibacanya dari sebuku psikoanalisa itu seakan telah menyadarkannya bahwa menulis merupakan proyeksi dan pengalihan hasrat seksual dan upaya untuk mendapatkan kembali kekuasaan yang hilang dengan diagungkannya sebuah nama diri seperti yang dicurigai Michel Foucault dan Roland Barthes itu. Kini ia sadar bahwa menulis adalah kehendak politis dan libidinal setelah ia membaca tulisan-tulisannya Nietzsche dan Luce Irigaray. Kini ia memahami menulis sebagai upaya pengalihan pemuasan diri karena apa yang gagal dipenuhinya dalam dunia nyata setelah membaca tulisan-tulisannya Jacques Derrida dan Jacques Lacan. Sebuah upaya untuk mengatasi rasa sia-sia dan tak berdaya seperti Sisiphus yang terhukum ketika ia membaca esai-esainya Albert Camus dan Jean Paul-Sartre. Kenangannya dan keretakan identitas dirinya di masa lalu yang telah tak ada itu.
Karena buku-buku yang dibacanya itu ia pun memahami menulis sebagai tindakan bunuh diri egoistik demi pengalihan dorongan libidinal, kehendak politis, sekaligus penghiburan diri. Meski ia tak pernah bisa melampauinya. Dan ketika itu pula ia tak tahu apa yang ingin ia tulis dan ingin diungkapkannya pada lembar-lembar diarinya dengan sebatang pena di antara jari-jari tangan kanannya yang gemetar karena dingin gerimis selepas hujan itu. Baginya menulis adalah sebuah aktivitas yang ia lakukan karena tak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Terlebih dengan tak adanya kesibukan yang cukup menyita waktu di hari-hari dan malam-malamnya yang monoton dan membosankan. Kini ia mempercayai pendapatnya sendiri bahwa tujuan menulis adalah untuk menulis itu sendiri. Sebuah apologi karena kemalasannya sambil mendengarkan alunan-alunan jazz dan komposisi-komposisi musik klasik instrument, tenor, dan sopran.
****
Dari kursi gubuknya itu ia hanya mampu memandangi langit malam dan mendengarkan desau angin pada dedaunan. Angan dan pikirannya terus mencari kata dan nada untuk stanza-stanza yang ingin ditulisnya. Ia ingin menyatukan diri dengan alam dan musim-musim yang telah memberinya fantasi dan imajinasi. Ia tengah meminta sebuah puisi dari keabadian dan mengharapkan kias dari ketiadaan.
Singkatnya ia adalah seorang romantik yang tak tahu diri bila dilihat dari kegandrungannya pada puisi dan musik. Tetapi ia juga ingin dipahami bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah keadaan yang mau tak mau ia melakukannya sebagai sebuah upaya pengalihan dan proyeksi dari kenangan dan ingatannya tentang sebuah kegagalan. Kepengecutan dan kepecundangannya sebagai seorang lelaki yang telah kehilangan dan kebebasan kanak-kanaknya yang tanpa beban. Dan hanya ingatan dan kenangan yang dapat memuaskan hasratnya pada keabadian dan ketiadaan. Juga kerinduannya pada kematian yang lembut.
Malam itu ia seakan hanyut bersama kesenduan suaranya Lara Fabian yang menyanyikan Adagio-nya Albinoni.
2007-2008. Sulaiman Djaya, penyair dan esais.

Launching Malaikat Hutan Bakau 10 Desember 2008

Launching Malaikat Hutan Bakau
di Book Cafe Banjarbaru
10 Desember 2008

ODE KAMPUNG#3 5-7 Desember 2008, Serang Banten



TEMU KOMUNITAS LITERASI SE-NUSANTARA DI BANJARBARU
Hasil Ode Kampung#3 5 – 7 Desember 2008 di Rumah Dunia, Serang Banten
:Hudan Nur*


KEGIATAN Ode Kampung#3 (OK3)di Rumah Dunia, Komplek Hegar Alam Ciloang Serang Banten baru saja usai. Kegiatan se-kaliber kampung nusantara ini melibatkan 70 lebih komunitas seni, sastra, teater, dan literasi yang tersebar di wilayah Indonesia, delegasi Kalimantan Selatan di wakili oleh Zurriyati Rosyidah, Dias Baradanu, Panglima Restu Giffarie dan Hudan Nur yang bernaung di Komunitas Teras Puitika.
Tahun ini kali ketiga, Gola Gong selaku mantan Presiden Rumah Dunia mengadakan kegiatan yang serupa mengenai diskusi ‘Indonesia Membaca’. Acara tersebut dihadiri oleh Tantowi Yahya, Angelina Sondakh, Dik Doang, Asma Nadia, Myra Junor, Firman Venayaksa, Wien Muldian, Kiswanti, Toto ST Radik, Halim HD, Bambang Trim, Wawan Husein, Moh. Wan Anwar, Fahmi Faqih, Fakhruddin, Faisal Komandobat, Thopmson HS, dan sejumlah penyair dari Jogjakarta, Bandung, Surabaya, Tasikmalaya, Jakarta, 1001 Buku, beberapa Birokrator dari DEPDIKNAS, beberapa penerbit seperti MIZAN, Salamadina, dan Gramedia. Serta delegasi koran Nasional dan Lokal khususnya yang bernotaben di Jawa dan Sumatera.
Hari pertama OK3 disuguhi parade dan tawuran seni (musikalisasi puisi, teater, monolog, deklamasi puisi, dan pembacaan cerpen) mulai dari anak TK, tukang Becak, peserta, dan orang-orang kampung di Komplek Hegar Alam, Ciloang. Kemudian Anwar Holid memulai diskusi tentang gerakan eksistensialisme dan gerakan FLP yang dipikir masih massif berpengaruh besar dalam industri penerbitan di Indonesia. Lalu dikaitkan dengan “the lone wolf” alias Saut Situmorang selaku sarjana sastra yang menyatakan bahwa keberadaan gerakan seni menyiratkan kesamaan ideologi berkesenian atau estetika, walau ungkapan dan pelampiasan (ekspresi) maupun gaya mansing-masing penggeraknya ‘anggota’ belum tentu sama. Dalam sejarahnya, pembentukan gerakan seni lazimnya bertujuan melakukan “pembaruan estetika” melawan dominasi status quo. Dia juga meyakinkan bahwa penulis yang tidak ikut dalam komunitas sastra tertentu (artinya bergerak sendirian), juga bukan kelemahan.
Berbicara mengenai kepenulisan, penulis yang berhasil pasti memberi pengaruh, baik kepada individu tertentu maupun massa, eksplisit maupun implisit. Penulis bahkan bisa melampaui zamannya, artinya pengaruh mereka melebihi ruang dan waktu setempat. Tulisan, ide, pemikiran, bisa menelusup dan mempengaruhi orang secara diam-diam, sampai akhirnya pemikiran itu mengendap dan menguat, menjadi sikap. Dengan pemikirannya, penulis menawarkan kesadaran tertentu, bahkan lewat sikap dan perbuatannya, penulis menawarkan nilai kepada banyak orang, terutama sekali pembaca dan peminat seni dan sastra. Entah pemikiran, sikap, cara pandang, dan perbuatan tersebut diterima atau ditolak masyarakat, itulah yang akan menjadi warisan budaya generasi berikutnya. Di sinilah pentingnya mencatat dan mendokumentasi agar penelitian dan kesinambungan generasi berikutnya cukup mudah ditelusuri. Salah satu kelemahan umum dari gerakan seni yang terjadi di Indonesia buruknya dokumentasi, yang pada gilirannya akan menyulitkan generasi selanjutnya kesulitan menelaah signifikansi gerakan tersebut bila gerakan tersebut sudah mati atau inaktif.
Hari kedua kembali suguhan diskusi yang menarik tentang Is there a book inside you? Yang menjadi pertanyaan ‘sakti’ kepada orang-orang yang menyatakan diri ingin masuk dalam dunia buku. Sebab menulis adalah kehidupan yang tenang, sedangkan menerbitkan adalah kehidupan yang aktif. Keduanya menjadi dua aktivitas yang menopang kemajuan Bangsa dengan ujungnya adalah masyarakat membaca (reading society). Di sini yang menjadi permasalahan Bambang Trim (Direktur Salamadani Publishing) adalah bagaimana membuat penerbit melek literasi? Bagaimana membuat penerbit sadar bahwa komunitas literasi berikut umat yang menghimpun di dalamnya adalah sebuah potensi untuk meledakkan aktivitas membaca dan menulis? Dengan kemajuan teknologi informasi kini, komunitas-komunitas literasi harus mengeluarkan bunyi nyaring dan menunjukkan eksistensi. Sejuta takzim untuk upaya keras Mas Gola Gong beserta relawan Rumah Dunia yang tiada henti ‘berteriak’ dan berkarya sehingga banyak penerbit akhirnya melek komunitas literasi.
Menjelang hari ketiga Mw Fauzi mengupas kontenks dunia pers yang dikaitkan dengan gerakan literasi, koran menjadi media paling dikedepankan mengingat karakternya yang punya kontinyuitas dan berdaya tarik tinggi. Dalam bahasa sederhana, dengan posisinya yang menawarkan berita-berita aktual terkini dan terbit setiap hari, keberadaan koran telah sejak lama menjadi asupan bacaan sehari-hari masyarakat luas.
Saat ini, menyusul kian ketatnya sektor persaingan dalam bisnis pers, para pengelola koran dituntut selalu mampu menarik minat masyarakat untuk membaca korannya. Pada sisi inilah salah satu faktor krusial pers melakukan dosanya terhadap gerakan literasi baik secara disengaja maupun tidak.
Dosa pers paling utama adalah menyuguhkan bahan bacaan yang sama sekali berlawanan dengan gerakan literasi, atau menyimpang dari kaidah penulisan bahasa yang baik dan benar. Tak hanya dalam penulisan judul, kadang dalam badan beritapun amat sering ditemukan istilah ‘buatan orang koran’ yang tidak ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia. Repotnya, pelaku dosa ini tak hanya koran lokal yang notabene menghadapi kendala minimnya budaya minat baca di daerah, sehingga kerap menuntut “aksi kreativitas tersendiri” dalam menyuguhkan sebuah berita agar dibaca, namun juga koran di level nasional. Hingga muncullah istilah “di sweeping”, “dipolisikan”, “disoal”, dan banyak lagi contoh kesalahan penulisan yang tidak disengaja lantaran keterbatasan pengetahuan terhadap kaidah bahasa dan arti sebuah kata yang sesungguhnya.
***
Banyak sekali diskusi fenomenal yang dilaksanakan OK3 sampai sidang pleno dan perampungan rekomendasi-rekomendasi dari hasil OK3 yang akan disampaikan kepada DPR-MPR RI antara lain tentang sikap pemerintah tentang perpustakaan-perpustakaan yang peranannya masih kurang dirasakan oleh masyarakat umum, mewajibkan setiap desa memiliki perpustakaan dan mendesak dewan terhomat tersebut untuk merealisasikan gerakan literasi (bukan berarti memberantas buta aksara seperti yang pernah digaungkan pada orde-baru tetapi budaya membaca) dengan membuka Taman Baca Masyarakat (TBM) di se-antero nusantara. Selain itu, akan ada temu komunitas literasi lokal yang rencananya dilaksanakan di Banjarbaru 2010 dan didukung penuh oleh XL.

Suporting Local Literacy Movement!


*Anggota Komunitas Teras Puitika


SEMBILAN REKOMENDASI ”ODE KAMPUNG #3: TEMU KOMUNITAS LITERASI SE-INDONESIA

Rumah Dunia, 5-7 Desember 2008milis: www.yahoogroups. com/group/ komunitas_ literasi Kami para peserta Ode Kampung III: Temu Komunitas Literasise-Indonesia 2008 bersepakat bahwa literasi adalah hak kunci untukmendapatkan hak berekonomi, bersosialisasi, partisipasi politik danpembangunan, khususnya dalam masyarakat berbasis pengetahuan. Literasimerupakan kunci peningkatan kapasitas seseorang, dengan memberikanbanyak manfaat sosial, di antaranya cara berpikir kritis, meningkatkankesehatan dan perencanaan keluarga, program pengurangan angkakemiskinan, dan partisipasi warga negara. Literasi bukan hanyapersoalan individu, tapi juga menyangkut persoalan komunitas danmasyarakat luas. Literasi bukan sekadar melek huruf, tapi merupakandasar penopang bagi pembelajaran di masa datang. Literasi memberikanpiranti, pengetahuan dan kepercayaan diri untuk meningkatkan kualitashidup, untuk lebih dapat memberikan kemungkinan berpartispasi dalamaktivitas bermasyarakat dan membuat pilihan-pilihan informasi yangakan dikonsumsi. Untuk mewujudkan hal tersebut, kami mengajukan sembilan rekomendasi: 1. Mendesak pemerintah pusat untuk segera menyusun regulasi yanglebih teknis terkait dengan UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan.2. Mewajibkan Pemerintah daerah untuk membangun perpustakaan yangrepresentatif, meningkatkan pelayanan yang optimal dan menyediakantenaga pengelola perpustakaan yang profesional.3. Menjalin kemitraan antara perpustakaan daerah dan perpustakaankomunitas. Serta membangun kerjasama antara perpustakaan komunitaslokal dan daerah lainnya4. Mewajibkan lembaga pendidikan dan lembaga pemerintahan yangmemiliki perpustakaan agar memberikan pelayanan bagi masyarakat luas.5. Mewajibkan pengembang komplek perumahan/ pengelola pusatperbelanjaan untuk membangun perpustakaan sebagai bagian darifasilitas umum 6. Mewajibkan penerbit menyumbangkan buku-buku kepada perpustakaankomunitas dan mengadakan peluncuran buku terbaru serta pelatihanmenulis bersama para penulis buku.7. Mendorong warga masyarakat untuk mendirikan perpustakaankomunitas di setiap desa/ kelurahan.8. Mewajibkan perusahaan mengalokasikan tanggungjawab sosialperusahaan (Corporate Social Responsibility) untuk perpustakaan komunitas.9. Menumbuhkan kebiasaan membaca dengan menyediakan bahan bacaan dilingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dunia kerja, instansipemerintah, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Demikian sembilan rekomendasi ini diajukan kepada khalayak. Semogamendapat dukungan dari semua elemen terkait demi mewujudkan kejayaanIndonesia di masa mendatang. Tim Perumus,Gola Gong, Wien Muldian, Firman Venayaksa, Kiswanti, Halim HD,Subhan, Amel, Mahmudin, Ariful Amir.

Selasa, 18 November 2008

Antologi Terbaru



Antologi Puisi Penulis Muda Lintas Propinsi 2009


WAJAH DEPORTAN

Juga ketika mereka duduki tanah leluhur ini
Kita tidak diberi pilihan lain
Selain mencoba bertahan

Dan ketika mereka adakan penggusuran
Kita tidak diberi pilihan lain
Selain terus berjaga

Tapi ketika mereka mulai main pukul
Kita tidak diberi pilihan lain
Selain berkeras melawan
Nama-nama penulis muda yang masuk seleksi untuk antologi lintas propinsi 2009:

andri mirwan fachri (jasinga, bogor-jabar)
ansori barata (jambi)
ashmasyah timutiah (tasikmalaya, jabar)
capung dewangga (kebumen, jateng)
chairan hafzan yurma (jambi)
dahlia rasyad (palembang, sumsel)
dian hardiana (bandung, jabar)
dian hartati (bandung, jabar)
duhita ismaya arimbi (palembang, sumsel)
eko putra (musi-banyuasin, sumsel)
esha tegar putra (solok, sumbar)
fadhila romadhona (payakumbuh, sumbar)
fina sato (subang, jabar)
fredy s. wowor (minahasa, sulut)
hajriansyah (banjarmasin, kalsel)
heri maja kelana (majalengka, jabar)
hudan nur (banjarbaru, kalsel)
husnul khuluqi (tangerang, banten)
irvan mulyadie (tasikmalaya, jabar)
jefta herman atapeni (rote, ntt)
koko p. bhairawa (pulau belitung,babel)
lupita lukman (kota bumi, lampung)
mahwi air tawar (sumenep, madura)
miftahuddin munidi (mataraman, kalsel)
moh. fahmi amrulloh (jombang, jatim)
m. mus’ab al-maliki (banjarbaru, kalsel)
m. nahdiansyah abdi (banjarmasin, kalsel)
mustadi (pontianak, kalbar)
pinto anugrah (tanah datar-sumbar)
ramayani (jambi)
sarabunis mubarok (tasikmalaya, jabar)
shah kalana al-lailla haji (kutai, kaltim)
sigit bagus prabowo (banjarbaru, kalsel)
sunlie thomas alexander (kaliurang, yogjakarta)
udo z. karzi (kotawaringin barat, kalteng)
wayan sunarta (denpasar, bali)
wuri handayani putrid sutoro (samarinda, kaltim)
zurriyati rosyidah (mandiangin, kalsel)

Senin, 03 November 2008

Syair-Syair



SEPULUH SYAIR JAHILIAH

I

ai katak

anak katak dan katak

berbasuh basuhlah

sendimu

di air di telentangmu

di tanah di telungkupmu

II

Bangsat, jangan lagi

masygul menggoda bual kibulan penyakit ayan

baitil haram baitil makdis

baitil haram

baitil khayal

IV

inilah pantun Quraisyi

bau jamur belulang mati

membelah bumi

langit terkeping jadi

lapis tujuh kali

inilah ganggang berapi

membuhul bintang dini

ketipung berdentam di dada lelaki

pada nikmat mimpi membenam

rintihan betina

menguap dari tanah

dri tumit perut sampai dahi

lalu itu

rambut

sapulah dengan tanah sejeput

barulah sepi

tartibi

V

demi tuhan kami

yang terbuat daripada buah korma

atau buah anggur yang dijemur

kering jadi kismis taupun adonan

gurih bagai paha betina

wahai anggur bagai dendang

si inang

jangan dipantang

reguklah sampai putus otak

pecah perut

ya selama

tuntaslah piker

duka mubazir

VI

tak usah di gurun sinai

di sini tuhan dibikin sendiri

dari keringat kuda

dari tanah atau buah tuffah

apa saja

gombal tua punjadilah

tuhan baik tuhan kibuli

dibumbui

dengan samin dn keturi

cukup buat menohok tamahak

bertobat sambil mengunyah

tuhan

VII

betina

betina

kakitangan aib

sampah jumud

tumpuan najis

sumber onar dan fitnah

pembuat garagara dlam perkara

warisan

demi lata dan uzah

kuburlah mereka

VIII

pesta pora kaum beradat

quraisy tingkat derajat

beradu piala

bekas tempurung kepala

lawan lawan kita

darah membuih hidup membuih

bagai anggur sejati

hanyut dendam dalam perang

irama gendering merangsang

syahwat

melonjak ke ujung pedang

piala darah anggur dan betina

alun kasidah

melecut malam

membenam

legam

IX

Adu Dardah

tukang ratubah

mari kita bikin janji

la bedawi

atau pinggul penari

pundi pundi berisi mimpi

perawan bulbul

bani makbul

X

sendagurau

musim kemarau

gurun membara

terpanggang kita bagai madzbi

berbumbu darah dn airmani

demi Musailamah

raja diraja kata berhikmah

ulurkan umur ke dalam guci

gantung sesumbar para pemberani

di keempat dinding ini

jengkal demi jengkal

guci demi guci

tanah ini

Perlu Diperhatikan



“MALALAR”: DARI ENSIKLOPEDI, LABIRIN KAMPUS UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT SAMPAI ARUH SASTRA KALIMANTAN SELATAN

Prolog

Tulisan ini ditulis oleh seorang icebreaker dan belum banyak pengalaman. Maaf bila ada kecaman kurang etis, maklum masih muda…

Musabbab Representative

Ada analogi yang akan saya explore mengenai ‘kasus’ representatifnya sebuah hal. Beberapa minggu ini tengah terjadi pengadilan terhadap satu karya yang dinilai tidak layak oleh element yang bernotaben di dunia sastra. Sah-sah saja. Sekarang yang menjadi persoalan ketika pengadilan digeber adalah ‘dalih terdakwa’ mengapa dalam buku ensiklopedi tersebut hanya mencantumkan beberapa sastrawan saja? Barangkali ada alasan tertentu. Sebab sebuah pengadilan akan dikatakan legal ketika menghadirkan terdakwa, pengacara, jaksa dan hakim! Bukan begitu?

Betapapun, sebagai insan sastra yang mengusung keberagaman sebagai tolok ukur apresiasi terhadap karya yang pernah hadir dalam memenuhi cakrawala pikir, analitis dan berdaya nalar kritis maka buku tersebut perlu dikaji ulang atau istilah populer yang sering saya dengar dalam persidangan; PK alias penianjauan kembali sehingga edisi revisi bisa berterima.

Lanjut, mengenai representatifnya sebuah karya dan komunitas baik yang berskala lokal, nasional ataupun internasional masih bersifat nonsense. Mengapa demikian? Semua komunitas yang ada dimana pun berada kerap menanggalkan keberagaman dan memakai ‘jaket kesepemahaman’ saja. (mungkin) Bekerjasama dengan insan yang tidak cooperative malah menimbulkan konflik internal organisasi saja. Kalau tidak bisa dibina maka dibinasakan atau kalau tidak beres, kudu dibereskan saja! Demikianlah, aliran yang difusi oleh komunitas atau instansi seni seantero negeri. Apa buktinya? Lihat pergerakan insan sastra yang berdiri dua blok di pulau seberang atau lahirnya insan komunitas-komunitas yang mengaku berdedikasi tinggi. Mengaku menaungi element bidang tertentu, tapi nyatanya omong kosong belaka. Atau kita lihat juga karya-karya antotologi yang bersliweran tak jelas niatnya. Ada banyak antologi yang ditemui berkaliber se-Indonesia tapi isinya? (Haha)

Nilai apresiasi karya sastra dan maknanya sudah bergeser! Loyalitas diri sebagai insan yang beretika sastra berubah menjadi popularitas-dan haus sanjungan. Apakah ini yang bernama manusia bermartabat?

Sebagai mahasiswi yang mengusung tri dharma perguruan tinggi, hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi tempat saya belajar, kasus mafia pendidikan merajela berdalih mensejahterakan kader penerus bangsa—ee.. ternyata sekarang niatan itu sudah digerogoti tikus. Begitu juga senat, kaum cendikia dan jajaran elite kampus seperti BEM, UKM, UKMF yang sedang asyik-asyiknya membangun benteng kehormatan untuk tujuan kelompok. Mereka akan membinasakan kelompok atau individu yang tidak sejalan dengan niatannya. Sebut saja, INTRO (yang mengaku menaungi dunia tulis menulis mahasiswa) kemana dikau berada sekarang? Di makan kutu busuk atau bagaimana? Sebab kaum rektorat yang terhormat dan segenap element, para dekan dan praktisi pendidikan yang pandai menjilat sudah beralih kiblat! (Mudah-mudahan para cecunguk itu dan segenap musuh-musuh saya membaca tulisan ini!

Pada akhirnya tidak ada yang riil menyokong keberagaman dengan tajuk yang bagaimanapun. Mari kita lihat, aparatur kesenian: Dewan Kesenian Propinsi Kalimantan Selatan, tak ada guna berarti yang bisa kita dukung selain keluhan. Bukan demikian?

Akhiri Saja Kegiatan Aruh Sastra!

Begitulah. Jika ada oknum yang menampik senarai himbauan ini ialah dia, kelompok dan individu yang menyimpan muslihat kepentingan saja!

Hal ini beralasan, kegiatan aruh sastra yang secara berkala diadakan setiap tahun tak memberikan hasil yang berarti. Kalaupun ada komunitas yang baru bercokol, itu bukan karena status quo Aruh Sastra tapi inisiatif dan sumbangsih moral untuk membuka diri dalam menunjukkan eksistensinya sebagai kaum intelektual di bidang sastra. Tidak lebih. Kita pahami juga, aruh sastra hanyalah anjangsana pelepas kangen-kangenan yang isinya (lebih) mengenang ke masa lalu. Sebagai contoh: Aruh Sastra di Amuntai tahun lalu, ajang diskusi yang diangkat tidak terlalu booming bahkan temanya biasa-biasa saja. Tidak ada hal baru yang greget. Kalau memang aruh sastra bertujuan mencerdaskan atau mensosialisasikan hal baru tidak demikian. Bahkan berkali-kali tidak hanya diskusi yang didaulat oleh panitia Aruh Sastra, tetapi praktisi pendidikan sastra, dan Balai Bahasa selalu memberikan suguhan yang sudah dikonsumsi terlebih dahulu oleh insan sastra (dibaca: hampir basi).

Secara pribadi, saya mencium ketidakberesan akan pelaksanaan aruh sastra terlebih beberapa tahun terakhir ini. Masalah klasik! (dibaca: financial) perlu digaris bawahi bahwa Aruh Sastra ini bukanlah kegiatan Event organizer atau Production. Kegiatan ini bermula dari kesucian niat dalam rangka membumikan ranah lambung mangkurat dengan kesusastraan bukan kepentingan pribadi!

Kalau nawaitunya sudah menyimpang, buat apa dipertahankan? Dalam forum pleno, saya sering menyarankan kepada presidium sidang:”Buat apa mempertahankan badan yang kerangkanya sudah dipenuhi kemunkaran, Bubarkan saja!”[]

Anggaran Dasar FORKOTEB

ANGGARAN DASAR
FORUM KOMUNIKASI TEATER BANJARBARU

MUKADIMAH

Bahwa kecintaan teater sudah mendarah daging di kota Banjarbaru. Teater makro kembang kempis dan perlu diadakan pembaharuan untuk bisa berkesinambungan. Maka perlu suatu wadah yang bisa menaungi seluruh element yang berkecimpung langsung di dunia keteateran sekaligus sebagai mobilisasi akan keberlangsungan hidup baik teater yang bersifat tradisi atau modern atau perpaduan antara keduanya.

BAB I
NAMA, WAKTU, DAN TEMPAT KEDUDUKAN DAN IDENTITAS
Pasal 1 Nama
Organisasi ini bernama Forum Komunikasi Teater Banjarbaru yang disingkat FORKOTEB
Pasal 2 Waktu dan Tempat Kedudukan
FORKOTEB didirikan pada tanggal 7 September 2008 di Banjarbaru, untuk waktu yang tidak ditentukan dan berkedudukan di Banjarbaru.
Pasal 3 Identitas
FORKOTEB adalah organisasi yang bersifat Independen dan Kekeluargaan.

BAB II
A S A S
Pasal 4 Organisasi ini berasaskan Pancasila dan UUD 1945

BAB III
TUJUAN, USAHA DAN FUNGSI
Pasal 5 Tujuan
Terbinanya insan Teater yang kreatif dan produktif.
Pasal 6 Usaha
Segala jenis usaha yang tidak bertentangan dengan angaran dasar dan anggaran rumah tangga FORKOTEB.
Pasal 7 Fungsi
FORKOTEB berfungsi sebagai forum pembinaan kreatifitas, pembinaan intelektualitas, pembinaan mental, serta pembinaan kepribadian.

BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 8 Keanggotaan
a. Yang dapat menjadi anggota FORKOTEB adalah komunitas-komunitas yang berdomisili di Banjarbaru dan sekitarnya, yang ditetapkan oleh pengurus.
b. Keanggotaan terdiri dari :
• Anggota Biasa
• Amggota Khusus
• Anggota Kehormatan

BAB V
STRUKTUR ORGANISASI
Pasal 9 Kekuasaan
Keputusan Tertinggi dipegang oleh musyawarah anggota.
Pasal 10 Kepemimpinan
Kepemimpinan Organisasi dipegang oleh anggota khusus.
Pasal 11 Badan-badan Khusus
Untuk melaksanakan tugas khusus dan kewajiban dalam bidang khusus, dibentuk badan-badan khusus.

BAB VI
PERBENDAHARAAN
Pasal 12 Harta benda FORKOTEB
Usaha – usaha yang sah serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar dan rumah tangga Forkoteb.

BAB VII
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR DAN PEMBUBARAN
Pasal 13 Perubahan anggaran dasar dan pembubaran organisasi hanya dapat dilakukan oleh anggota khusus.
Pasal 14 hal-hal yang tidak termasuk dalam anggaran dasar akan dimuat dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan tersendiri yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar FORKOTEB.


Ditetapkan dalam musyawarah Anggota Khusus FORKOTEB di Banjarbaru Pukul 23.00 WITA
Pada tanggal 11 September 2008




Ketua



Yuqda Kahfi Annur

Puisi Basa Banjar


“BANJARBARU: ARIA MALINGKAN”

Kami barataan mahing banar pahatiannya

Kada kawa dilantur-lantur mahabarakan kahandak raja

Bahungkau pangawal kaamanan nitu

Ulih pangawal, disurung pulang jukung ampun urang

Kampung biasa

Rahatan manugal piduduk ka arah buhulan pitung

Burungan umpan gasan rakyat samunyaan

Ulih Aria Malingkan, pidudus manyirau ka arah

Pambanyuan

Mahidupi sasinggam barakat hidup dilintuk nista

Manyaurangan

Imbah nitu, jukung mamudiki sungai ampah ka

Tangga Hulin nang baisi talu ikung pangawal

Kaamanan nitu

Puluhan tahun imbah nitu, api-api karujingan

Manatar pilar suluh di balambika gunung apam

Kitar-mangitari burungan-burungan panjaga nasib di masa isuk

Nu kahadapan gugus Negara subalah

Manikam suara anak-anak pipitan di lindai

Hari mandatang



PIRUKAT LAWAN KATUMBAR

(Adaptasi karya Syamsiar Seman)

PARUDAN

Nang andaknya di hulu sungai batang banyu

Ada si galuh bagana wan umanya nang sudah satangah tuha

Tagal masih tatinggal gawian maulah minyak lalapirukat wan katumbar

Wan pahumaan pitung burungan

Kindai hibak wan banih-banih, wayah kindai nitu

Limpuar lawan padaringan baras sambil manutuk

Di lasung pijak maulah baras

Mun kawa basindakap

Kuantar malimbui ka buluh-buluh panyabaran umanya

Tagal masih disyangi ulih umanya balalu rancak

Babuhau

Nasi wan iwak babarang kada diapiki-diipii

Pina kada basyukur wan Allah siang nitu

Kahandaknya daging hayam tatrusan. Nasi tahamburan

Dibibiti gasan umpan hayam.

Wayah malam harinya, Galuh tamimpi

Bahindau pirukat wan katumbar manggampirinya

Inya marasa dihahamburakan, di buang-buang

Manangisan

Balalu handak tulakan ka langit

Galuh manangis…

Mangitai wan maingati balalu kalakuan buhaunya

Pemenang Lomba Baca Puisi 2 November 2008


Pemenang Lomba Baca Puisi Peringatan 10 November menyisihkan 104 peserta yang lain dari kiri (Eka Zulma, Andri Rifai, Ogi Fajar Nuzuli, Isuur Loeweng dan Arif, M.S)

Hasil Lomba Puisi 2 November 2008

HASIL LOMBA BACA PUISI DI MUSEUM LAMBUNG MANGKURAT

AUK-Komunitas Pecinta Seni Banjarbaru telah menggelar lomba baca puisi dalam rangka mengenang 10 November pada 2 November 2008 di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru. Pada kesempatan kali ini, peserta yang ikut dalam satu kategori untuk umum (siswa, guru, mahasiswa, dosen, seniman dan sastrawan) adalah 104 orang. Namun yang diambil sebagai pemenang hanya Juara I, II, III dan Harapan I. adapaun para pemenag tersebut adalah; Andri Rifai, Arif M. S, Isuur Loeweng dan Eka Zulma. Masing-masing pemenang mendapatkan piala, piagam penghargaan, uang pembinaan dan bingkisan menarik dari panitia. Acara ini didukung penuh oleh Dewan Kesenian Kota Banjrabaru dan Pemerintah Kota Banjarbaru. Bahkan setelah dewan juri mengumumkan pemenang (Arsyad Indradi, Ali Syamsuddin Arsy dan Rudi Karno), Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru turut serta dalam pembagian hadian dan menghimbau agar panitia mengagendakan Workshop Pembacaan Puisi karena dinilai oleh dewan juri para peserta masih blum tahu bagaimana membawakan puisi yang baik dan benar sesuai dengan interprestasi dari puisi yang dibawakannya. Teamwork AUK; Hudan Nur, Dian Arlika, Riza Fahlivie, M. Yusry Wahyudi dan Miftahuddin Munidi bersepakat akan melaksanakan kegiatan tersebut pada awal tahun 2009.

Sabtu, 01 November 2008

Jumat, 31 Oktober 2008

Pasca Tadarus Puisi

CATATAN MALAM TADARUS PUISI DAN SILATURRAHMI SASTRA 2008

TAHUN ini sudah kelima kalinya Banjarbaru mengadakan ritual tadarus puisi dan silaturrahmi antar seniman, sastrawan dan pencinta sastra. Kalau kita runut ke belakang pada tahun 2004, istilah tadarus puisi ditawarkan oleh saudara Sandi Firly yang kemudian diamini oleh forum rapat pada waktu itu. Kegiatan ini akhirnya terus berjalan sepanjang ramadhan dan nampaknya sudah menjadi brand mark-nya kota Banjarbaru. Kalau tahun kemarin mengangkat tema in memoriam penyair Jafry Zamzam, namun tahun ini lebih mengapresiasi kepada dedengkot penyair; Eza Thabry Husano dan Hamami Adaby.

Pada malam itu peluncurun antologi puisi Hamami Adaby; Di Jari Manismu Ada Rindu, cukup menyita perhatian hadirin. Tidak hanya itu ada beberapa antologi yang juga diberikan secara cuma-cuma kepada undangan antara lain; Garunum, DIMENSI dan Kaduluran. Sosok Hamami Adaby termasuk penyair yang sangat produktif. Dalam hitungan bulan, ia mampu menyelesaikan antologi puisi dan diterbitkan sendiri secara manual. Luar biasa sekali apalagi bagi orang yang seumuran beliau.

Sayangnya, antologi puisi Eza Thabry Husano yang terbaru tidak dapat diluncurkan bersama karena pada tanggal 20 September 2008 baru selesai cetak. Padahal masing-masing antologi Hamami Adaby dan Eza Thabry Husano memuat seratus judul puisi. Mungkin dalam waktu dekat peluncuran itu akan dilaksanakan secara terpisah.

Moment Tadarus Puisi

Inilah suspense yang sebenarnya menjadi benang merah dalam kegiatan tersebut. Meski secara keseluruhan jumlah peserta yang datang jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Ada tiga ratus undangan yang hadir dari daerah kabupaten dan kabupaten kota se-Kalimantan Selatan. Beberapa tokoh tampak pada malam itu antara lain; Ibramsyah Amandit, Tajuddin Bacco, Adjim Ariady, Wijaya, Arsyad Indradi, Yuniar M Ary, Dewa Pahuluan, Fitran Salam, Rifani Djamhari, Qinimain Zain, Hajriansyah, Nahdiansyah Abdi, Sirajul Huda, Ali Syamsuddin Arsi, Abdurahman El Husaini, Sandi Firly, Shah Kalana Al-Laila Haji, Harie Insani Putra, Isuur Loeweng, Andi Sahludin, Edi Sutardi, Aliansyah J dan lain-lain. Begitu juga sanggar-sanggar seperti; Sanggar Budaya, CL4551C SMA Negeri 1 Banjarbaru, Front Budaya Godong Kelor Indonesia, HIMASINDO, WOW, Matahari, KOMPI Kalsel, Enigma Community, Forum Komunikasi Teater Banjarbaru (FORKOTEB), Teater Banjarbaru, Teras Puitika,dan lain-lain. Tampak hadir juga undangan dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI) cabang Banjarmasin dan Banjarbaru.

Tetapi, acara tadarus puisi ini tidak berjalan sesuai namanya. Kenapa? Kata tadarus memiliki arti membaca, mengulang dan mandarasi. Tadarus puisi berarti tidak lebih dari istilah qiraat puisi. Nah, yang lebih menonjol bukannya pembacaan tersebut melaintan tampilan-tampilan teater. Malah ada banyak undangan yang tidak kebagian waktu untuk membaca puisi karena satu dan lain. Tidak hanya itu; musikalisasi puisi, nasyid dan dramatisasi puisi juga demikian. Cukup menyita waktu dan mungkin menjemukan penonton!

Ini menjadi masukan penting panitia untuk pelaksanaan tadarus puisi berikutnya. Komposisi qiraat puisi harus lebih diutamakan daripada tampilan-tampilan kelompok.

Suasana Silaturrahmi Sastra

Kembali kepada makna istilah silaturrahmi, menyambung ikatan yang pernah ada namun pernah putus.

Benarkah ada ikatan yang terputus? Antar siapa dengan siapa? Atau kelompok mana dengan kalangan mana?

Hanya saja suasana membaur dapat dirasakan pada nuansa sastra tersebut. Tetapi yang menjadi perhatian adalah para undangan yang hadir. Tidak di acara yang berskala lokal, nasionalpun bahkan internasional barangkali ajang yang bertajuk kumpul-kumpul sastra atau penulis malah menjadi tempat ngobrol antar individu dan antar kelompok. Mungkin keterbatasan kesempatan untuk pertemuan tersebut hingga harus saling melepas kangen-kangenan dan tidak fokus pada acara yang disuguhi di atas panggung. Bahkan pembacaan-pembacaan puisi tidak disimak lagi; yang dipanggung asyik teriak-teriak sedang yang lain asyik berbincang-bincang tentang apa saja. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kegiatan yang juga diadakan semalam sebelum kegiatan tadarus puisi ini. Ada Mr. GAM (Gatah asli Marikit) dari Hulu Sungai Tengah yang bakisah tentang cerita yang kalau dipikir-pikir tidak koheren. Tetapi para penonton yang hadir di taman air mancur tersebut sangat antusias dan memperhatikan dengan seksama kata demi kata yang disampaikan oleh Mr. GAM tersebut. Memang yang hadir bukan seniman atau kelompok sastra.

Kalau memang kita punya apresiasi terhadap sastra, seharusnya apa yang disuguhi di atas panggung dapat dimaknai juga diperhatikan.

Tetapi, betapapun tahun ini tadarus tetap lebih meriah dan berhasil banyak menyedot perhatian pengunjungnya. Mudah-mudahan tahun depan bisa lebih baik lagi[]

Sabtu, 25 Oktober 2008

Lomba Baca Puisi InMemoriam 10 November

KATEGORI LOMBA
Lomba Baca Puisi Tema Kepahlawanan terbuka untuk umum (mahasiswa, dosen, guru, komunitas seni, sanggar teater, siswa(i) sekolah baik pria maupun wanita) Se Banjarmasin-Banjarbaru-Martapura

KEGIATAN LOMBA
Lomba dilaksanakan pada tanggal 2 November 2008, Minggu. Bertempat di Auditorium Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru (Pukul 08.00 WITA - Selesai)

PENJURIAN
Lomba baca puisi tema kepahlawan tahun 2008 mempunyai sistematika penilaian seperti lomba-lomba baca puisi seperti biasanya, antara lain penilaian: Vocal, Mimik, Intonasi, Kontemplasi (penghayatan), Penampilan.

MATERI LOMBA
Setiap peserta hanya membawakan satu puisi yang disediakan panitia yakni: PAHLAWAN TAK DIKENAL (Toto Sudarto Bachtiar), BERDARAH (Sutardji Calzoum Bachri), SELAMAT TINGGAL MANUSIA BUDAK INDONESIA (Hamid Jabbar), KASIDAH KEMERDEKAAN (Eza Thabry Husano), dan NENEK MOYANGKU AIRMATA (D. Zawawi Imron)

PENDAFTARAN
Peserta Lomba diharapkan mendaftarkan diri via sms dengan mengetik REG(spasi)NAMA(spasi)ALAMAT kirim ke 085752242993. Pendaftran ini GRATIS dan terbuka untuk semua kalangan. Pengambilan nomor peserta beserta technical meeting akan dilaksanakan di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru Tanggal 2 November 2008 pada pukul 08.00 - 09.30 WITA (sebelum acara lomba di mulai).

Hadiah Juara I, II, III, Harapan I, berupa Piala, Sertifikat, Uang Pembinaan dan bingkisan menarik akan diserahkan kepada pemenang langsung pada hari itu juga setelah dewan juri mengumumkan para pemenang tersebut.


Informasi Lanjut Silakan Kontak
Event Organizer: Hudan Nur (08125133885)


Olah Gawe bubuhan AUK; Komunitas Pecinta Seni Banjarbaru (Aku Untuk Kamu)

Sabtu, 18 Oktober 2008

Puisi Shah Kalana Lailla Haji

IBU, ITU PASTI!

aku dikandung

letih

lelah itu pasti

sabar

kau terima

melahirkan aku

sakit

perih itu pasti

ikhlas

kau terima

mengasuh aku

kantuk

pusing itu pasti

ridho

kau terima

membesarkan aku

kesal

marah itu pasti

tenang

kau terima

mendidik aku

panas

dingin itu pasti

gembira

kau terima

kelak,

menikahkan aku

haru

bangga itu pasti

tetes air mata

kau terima

semua kau terima

itu pasti

tanpa minta kembali

kini,

kau pergi

tanpa apa aku

lunasi

dan itu pasti!

2006


INMEMOAR

risau air mata rengatkan senyum mata air tua butir butir derai berurai anak sungai menarak-an telaga kautsar wirid dan zikirku mengantar untuk selamanya kau reguk wangi surga nan sejuk telau balahindang songsong riang men-tasbihkan kemuliaan dunia yang hilang riak terbit barat menantikan seorang tamu tuhan pada lapaknya surga terbentang sayap hangat iringi pasrah bertautlah doadoa dalam langkah dedahkan tangis purba diperhitungan bulan bulan duka dilepas tak pegang pun tidak kem-bang jambu gugur lantak menyerak bumi bau semerbak menghamba pada yang Kul Hak iringkan cahaya ibu cahaya cahaya cahaya itu di kalbu fana fana fanalah diri yang kaku turutkan pada yang satu; Ya Hu dalam tangis seribu rindu rasul aku sandarkan aku sandar-kan diri pada buhul aku takdirkan nasib di tihang ushul pijarpijar mataku di cahaya ruhul hakkul hakkul hakkul risau air mata tua kering kan mata air telaga aku hanyutkan puasa aku larutkan air mata hingga waktu terbentang lebar hutang melahirkan tak kuasa aku bayar walau sejarah tak pernah kau papar dari petang hingga terbit fajar aku lena kasihmu ketika sadar dirimu ibu aku amparkan doa di beledunya pusara duka padami ibu aku pang-gulkan kepergianmu di pundakku yang lemah dan biru aku kuatkan kakiku yang mudah goyah aku bulatkan hatiku yang seing patah dalam tahlil aku sayatkan beribu pohon ampun di keningmu aku sadapkan sebejanasebejana air madu sir kalbu yang tetes di napasmu aku lelahkan langkah air mata ketika tapaktapak senja luluh di cakrawala mengering bibir dari zikir kaffah tibalah waktu berpisah untuk ber-temu di padang mahsyar tempat semua hamba berikrar tak siapa tak siapasiapa semua hamba siasia mengaku diri taqwa yang wara ibu aku titipkan salam pada kekasihmu di sana aku ingin senyum rindunya antarkan harapan yang kelana dirimu ibu kini engkau satu dalam timangnya!

2006

DO’AKU TERKABUL SUDAH

ketika sekali waktu aku berdoa

aku rasa diriku sangat kemaruk dan tamak

lalu,

aku ingin ketenangan

kantuk sedikit datang padaku

aku ingin keakraban

sakit datang padaku

aku ingin terhormat

waktu lima datang padaku

aku ingin amal pahala

batang usia datang padaku

aku ingin taqwa

kesibukan datang padaku

aku ingin iman

besi batu datang padaku

aku ingin islam

sebuah pilihan datang padaku

dan,

aku ingin segalanya dunia ini dariMu

tapi Kau hanya beri aku satu nasihat alamMu

Kau beri tidak yang aku inginkan

tapi Kau tahu itu

walau tampak serakah

do’aku terkabul sudah.

2007

DEFACTO

Seandainya politik itu kejahatan maka;

Misal 1, akan aku buat seperti emas agar jadi arloji biar jamku terlihat tepat waktu dengan janji

Misal 2, akan aku buat seperti berlian agar jadi pulpenku biar terlihat tidak salah saat meneken keputusan

Misal 3, akan aku buat seperti kristal agar jadi kacamataku biar tampaknya dapat melihat jelas aspirasi rakyat

Misal 4, akan aku buat seperti wol dan sutra agar jadi setelan jasku biar orang tidak kira aku sembunyikan borok

Misal 5, akan aku buat seperti kulit agar jadi sepatu dan sarung tanganku biar orang tidak kira aku sembunyikan cakar musangku

Misal 6, akan aku buat seperti dana sosial biar aku terlihat kaya untuk menutupi segala kepelitan dan korup-korupku

Misal 7, akan aku buat seperti karet agar jadi kondomku biar aku dapat memperkosa hak-hak rakyat tanpa kebocoran

Seandainya politik itu kebaikan maka;

Tak bisa aku bayangkan yang lain kecuali cuma satu misal, akan aku buat seperti sabun cuci agar jadi pembersih WC dan cebokku biar kamar kecil, alat kecil dan lubang kecilku bersih dari taik dan bau!

2006

ANAK SI MISKIN DAN AYAM GORENG TETANGGA

aduh mak perutku lapar

tadi aku lihat tetangga potong ayam

sekarang aku mencium wanginya mak

aduh mak harumnya

apa kita akan diberi sepotong dua

nantinanti beli ayam juga ya mak

aduh mak suaranya

enaknya kalau dimakan lagi panaspanas

dengar dengarkan suara gorengannya

aduh mak aku tidak bisa tidur

nantilah aku tidur kutunggu saja

siapa tahu tetangga ingat kita mak

aduh mak baunya

bila saja tetangga tahu kita bangun

bisa jadi kita makan kakinya atau kepalanya mak

aduh mak jika bapak ada

bapak bisa bawa ayam terus

kitakita boleh makan besar seperti mereka ya mak

aduh mak mereka makan

kenapa mereka tak tahu kalau kita lapar juga

andai saja ada sisanya aku tunggu mak

aduh mak kita tak diberi

lahap sekali tetangga makan

kita tidak diberi barang sedikit walaupun sisa mak

aduh mak anjingnya ikut makan

kenapa ya tetangga lupa sama kita

enak jadi anjing saja tidak akan kelaparan mak

aduh mak biar aku tunggu

biar saja bekasbekas anjing itu aku tunggu

barangkalai anjing tetangga ingat sama kita mak

aduh mak aku tidak kuat

perutku jadi berbunyi dan liurku menetes

kalau tetangga datang bangunkan aku mak!

1996

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI