Dan Monogram-Diaris Seorang Penyair
”Diamonds are forever....”
Selantun lagu yang dinyanyikan Shirley Bassey itu mengalun lembut di ruang kerjanya sebagai seorang penulis. Ia diam termenung dan mengarahkan pandangan matanya ke arah pintu yang terbuka. Sesekali ia jatuhkan abu rokoknya pada asbak kaca yang tergeletak di meja kerjanya. Di ruang kerjanya itu ia ingin menulis apa saja yang sesuai dengan suasana hatinya dan gerak-gerak jari tangannya yang tampak gemetaran karena dingin malam selepas hujan yang masih menyisakan ricik gerimis. Ia hanya ingin menulis tentang dirinya dan bukan tentang yang lainnya. Karena ia seorang egois murni yang merasa bahagia dengan angan-angan narsistiknya. Ia ingin mencairkan kebekuan sintagmatik ketika ia mengalami kebuntuan sintaksis sebagai seorang penyair untuk menemukan diksi dan nada. Ikhtiarnya itu adalah sebentuk penebusan intelektual dalam kesendirian dan kesepiannya. Dengan menulis ia ingin membuktikan eksistensi dirinya. Sebuah pekerjaan yang dipilihnya sebagai seorang yang tak memiliki legalitas akademik untuk mencari uang. Dengan demikian ia adalah seorang intelektual dalam pengertiannya yang longgar dan amatiran sejauh pergulatannya dengan khasanah pemikiran yang sifatnya pribadi dan subjektif. Ia bebas karena ia tak mendalam dan spesifik dalam disiplin tertentu. Karena apa yang ingin ditulisnya tak lebih sebuah fiksi otobiografis.
Ia percaya bahwa hidup tanpa imajinasi seperti penyakit yang tak menemukan obat. Karena itulah ia menganggap penting arti sebuah ingatan dan kenangan. Dan ia bertahan hidup karena keduanya. Ia akan selalu mempercayai keduanya untuk melawan waktu yang membuatnya kecewa di masa lalu. Dan dengan itu pula ia mengatasi kebosanan dan keputusasaannya.
Di malam yang kesekian kalinya itu ia merasa cukup dengan apa yang telah ditulisnya. Sebelum ia menambah daftar panjang dusta. Sebelum ia kehabisan bahan untuk menuliskan dusta-dusta yang lain dengan cara dan penuturan yang lain pula. Ia berhenti untuk sebuah awal yang lain.
Malam itu dikenangnya masa-masa ketika ia belum mengalami rasa kecewa karena hasrat seksual dan keinginan birahi yang tak tersalurkan pada seorang perempuan yang diinginkannya. Kini ia telah menjadi seorang pendusta ketika ia tak lagi menjadi seorang bocah. Ia berbicara tentang hal yang sama dengan beragam tuturan dan cara. Kepalanya telah menjadi sebuah perpustakaan kebohongan. Ia telah kehilangan masa-masa kanaknya yang riang dan tanpa beban. Dan pada saat yang sama ia pun terus mengkhayalkan raut-raut geometris yang menyusun tatapan mata dan senyuman seorang perempuan yang mengagumi daya-ingatnya. Ia masih merasakan keindahan dan persahabatannya dengan perempuan tersebut di saat ia mengalami rasa kehilangan karena kematian yang juga membuatnya tak berdaya sebagai seorang lelaki dewasa. Kini ia dikuasai keraguan yang tak bisa disembuhkan.
****
Di atas meja kerjanya itu berserakan buku-buku puisi, novel, dan filsafat. Juga buku-buku biografi yang telah menjadi menu malam-malam kesendirian dan kesepiannya. Dalam gerimis selepas magrib itu akhirnya ia menyulut dua pucuk lilin pengganti lampu listriknya yang padam. Meski ia tak merasa tenang menulis karena harus menghalau hembusan angin pada dua pucuk nyala api lilinnya dengan kedua telapak tangannya yang lembab itu. Sementara senandung jazz terus mengalun pada channel 99.90 FM radionya. Kemudian hujan pun turun kembali. Ia membiarkan helai demi helai pandangan matanya menerawang dan melangkah ketika kedua telinganya merenungi ricik dan gemuruh. Tetapi pikirannya pergi jauh ke masa-masa kanaknya yang telah tak ada itu.
Dalam duduk termenung itu ingatannya tertuju pada seorang bocah lelaki di masa lalu yang mengumpulkan batang-batang padi bersama ibunya di sawah berair. Seorang bocah lelaki yang juga berlarian melintasi pematang mengejar para belalang dengan setongkat batang songler yang ia genggam bersama teman-temannya dalam guyur hujan. Seorang bocah lelaki yang juga bersama teman-temannya bermain sepakbola dengan bola yang terbuat dari sejumlah plastik yang disatukan dan dibulatkan dengan sejumlah ikatan dari karet, selepas hujan. Tapi kini ia sadar bocah yang riang itu telah menjadi lelaki pengecut dan pecundang. Seorang lelaki yang selalu dihantui keraguan dan kegagalan yang pernah dialaminya. Seorang lelaki yang telah melupakan arti sebuah permainan dan ketakacuhan yang riang. Seorang lelaki yang tak lagi bebas dan menghargai arti sebuah ketelanjangan dan keluguan hidup.
Dalam duduk itu ia sebenarnya gelisah. Seperti seorang pemikir yang tengah menghadapi kebuntuan axiomatik. Ketika malam menenggelamkan angan-angannya.
****
Di ujung senja mendung awal November itu ia duduk sambil memandangi gugusan awan. Hasratnya pada keindahan telah menjadikannya seorang lelaki yang tak mudah dikalahkan kebosanan dan kejenuhan. Meski ia senantiasa terjebak di antara kehilangan masa-lalunya dan kehadiran masa kininya yang seringkali menyulut gejala melankolianya yang sentimentil dan kekanak-kanakkan. Waktu dan kesepian telah memberinya kebebasan yang paling tulus. Kesendirian yang juga telah menciptakan sebuah dunia bagi kesepian dan angan-angannya.
Dalam sapuan angin senja di bawah keteduhan serimbun bambu itu ia merasakan kedamaian dan ketenangan. Pandangan matanya tertuju pada sekelompok burung yang mematuki sisa-sisa biji padi pada setumpuk jerami. Dan tiba-tiba pandangan matanya beralih pada seekor burung berbulu biru yang terbang rendah di atas air. Tak lama kemudian di paruh burung yang panjang itu melintang seekor ikan kecil yang lekas ditelannya dengan tangkas. Ia menganggap apa yang dilihatnya itu adalah sebuah puisi yang belum ditulis. Sebentuk lukisan impresionis yang belum disalin pada kanvas. Bahasa yang belum dituturkan dengan aksara dan kata-kata.
Di ujung senja itu ia ingin mendekatkan diri dengan alam dan musim-musim demi merasakan suatu moment dan peristiwa. Ia ingin melebur dalam cuaca dengan mengaktifkan semua pancaindera dan pencerapan bathinnya untuk menyimak suara-suara alam dan nyanyian-nyanyian musim yang akan memberinya sejumlah bait-bait puisi.
****
Di sepanjang jalan setapak pematang itu ia terus melangkah dan mengagumi gugusan kepang putih kembang akasia. Lalu ia pun berhenti dan duduk bersandar pada sepohon akasia sambil memandangi hamparan hijau sawah yang memberinya impresi keindahan dan kedamaian bathinnya. Ia pun seakan merasakan sisa keriangan November masa kanaknya yang kini telah silam dalam kenisbian yang lelap. Seolah tak ada yang tersisa dengan tatapnya yang basah dan telungkup pada daun-daun akasia itu. Ketika dalam angannya pendar cuaca seakan pudar dan tercerai di sela-sela awan dan jejak-jejak petang yang mulai merambat pelan-pelan terseret waktu.
Dalam keteduhan senja itu ia asik mendengarkan cericit-cericit burung pada ranting-ranting dan rimbun dedaunan. Ketika dalam fantasinya daun-daun pun seakan menggigil dan tertunduk seperti seorang lelaki yang terserang gejala melankolia. Ketika sepi terus bergetar dalam senyap rembang yang terbentang di depan matanya yang seolah menjauh dari tubuhnya. Ketika ia berada di antara kegelisahan dan kepasrahan. Ketika gumpalan-gumpalan awan hitam terus bergugusan menyusun kegelapan. Ketika ia sadar selalu saja ada yang luput untuk dipahaminya.
****
Di sana ia dapat mengagumi karya-karya seni yang paling nyata. Lukisan-lukisan alam dan moment keheningan. Warna-warna yang berbaur dan berpadu dengan langit dan awan. Pohon-pohon yang berjajar sepanjang sungai. Ia pandangi apa saja yang membuatnya dapat merasakan kedamaian. Ia percaya di sanalah rahim puisi. Di sana pula ia percaya imajinasi bersembunyi, mencair, dan kembali menguap ke udara. Kemudian seperti nyanyi hatinya yang sunyi, gerimis November merintik dalam ricik yang menghitung bait-bait puisi yang ingin ia tulis.
****
Kini ia kembali tertegun dan merenung selepas isya di gubuk itu. Malam itu ia ingin menulis lirik senandung seindah Claire De Lune yang mengalun di atas meja kerjanya itu. Sebuah roman dalam puisi. Sebentuk sonata dan Rubayyat. Sebuah nyanyian delapan nada. Sementara udara lembab terus menghembus rambut dan wajahnya yang lembab. Apa yang diperjuangkannya adalah sebentuk idealisme egoistik. Ia tengah memperjuangkan sebuah mahkota bagi nama diri dengan upaya estetiknya. Di meja kerjanya itu ia terus menggerakkan pena-nya pada lembar-lembar diarinya yang mulai lengket dan lembab karena buih-buih rintik gerimis. Sesekali ia pun sibuk merapikan kertas-kertas yang terlempar dari meja kerjanya karena hembusan angin.
****
Pagi itu matahari belum muncul setelah hujan malam kesenduannya. Cuaca pun masih mendung dan redup. Ketika dingin dan lembab angin terus menjalar. Ia memandangi orang-orang yang sibuk memotong batang-batang padi di sawah yang tak jauh dari gubuk tempatnya duduk dan merenung itu. Ia pun teringat masa-masa ketika ia dan ibunya memanen padi. Ketika ia memandangi sekelompok angsa dan para unggas berkecipakan mengibaskan lengan-lengan mereka di sungai. Ketika ia bersandar dalam keadaan lelah pada sedahan akasia yang tumbuh di bukit kecil ujung pematang sawah.
Dalam ingatannya itu ia masih terbayang para belalang yang berlesatan di antara semak dan ilalang dalam keheningan yang tak terhindarkan untuk seorang bocah lelaki belia. Ketika ia memandangi langit senja dalam kesunyian. Dan kini ia yang bocah itu sudah tak ada. Dan mungkin tak pernah ada. Tanpa terasa ia telah menghabiskan segelas kopi hitam dan empat batang rokok dalam cuaca mendung dan redup itu. Meski dalam cuaca lembab itu ia tiba-tiba berkhayal erotik yang membuat anu-nya menegang dan menghangat di saat tubuhnya merasakan dingin yang masih menusuk.
****
Dalam duduk itu ia terus bertanay apa yang diinginkannya ketika menulis? Apakah hanya untuk memenuhi dorongan narsistiknya? Egoisme dan ilusinya? Apa yang dibacanya dari sebuku psikoanalisa itu seakan telah menyadarkannya bahwa menulis merupakan proyeksi dan pengalihan hasrat seksual dan upaya untuk mendapatkan kembali kekuasaan yang hilang dengan diagungkannya sebuah nama diri seperti yang dicurigai Michel Foucault dan Roland Barthes itu. Kini ia sadar bahwa menulis adalah kehendak politis dan libidinal setelah ia membaca tulisan-tulisannya Nietzsche dan Luce Irigaray. Kini ia memahami menulis sebagai upaya pengalihan pemuasan diri karena apa yang gagal dipenuhinya dalam dunia nyata setelah membaca tulisan-tulisannya Jacques Derrida dan Jacques Lacan. Sebuah upaya untuk mengatasi rasa sia-sia dan tak berdaya seperti Sisiphus yang terhukum ketika ia membaca esai-esainya Albert Camus dan Jean Paul-Sartre. Kenangannya dan keretakan identitas dirinya di masa lalu yang telah tak ada itu.
Karena buku-buku yang dibacanya itu ia pun memahami menulis sebagai tindakan bunuh diri egoistik demi pengalihan dorongan libidinal, kehendak politis, sekaligus penghiburan diri. Meski ia tak pernah bisa melampauinya. Dan ketika itu pula ia tak tahu apa yang ingin ia tulis dan ingin diungkapkannya pada lembar-lembar diarinya dengan sebatang pena di antara jari-jari tangan kanannya yang gemetar karena dingin gerimis selepas hujan itu. Baginya menulis adalah sebuah aktivitas yang ia lakukan karena tak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Terlebih dengan tak adanya kesibukan yang cukup menyita waktu di hari-hari dan malam-malamnya yang monoton dan membosankan. Kini ia mempercayai pendapatnya sendiri bahwa tujuan menulis adalah untuk menulis itu sendiri. Sebuah apologi karena kemalasannya sambil mendengarkan alunan-alunan jazz dan komposisi-komposisi musik klasik instrument, tenor, dan sopran.
****
Dari kursi gubuknya itu ia hanya mampu memandangi langit malam dan mendengarkan desau angin pada dedaunan. Angan dan pikirannya terus mencari kata dan nada untuk stanza-stanza yang ingin ditulisnya. Ia ingin menyatukan diri dengan alam dan musim-musim yang telah memberinya fantasi dan imajinasi. Ia tengah meminta sebuah puisi dari keabadian dan mengharapkan kias dari ketiadaan.
Singkatnya ia adalah seorang romantik yang tak tahu diri bila dilihat dari kegandrungannya pada puisi dan musik. Tetapi ia juga ingin dipahami bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah keadaan yang mau tak mau ia melakukannya sebagai sebuah upaya pengalihan dan proyeksi dari kenangan dan ingatannya tentang sebuah kegagalan. Kepengecutan dan kepecundangannya sebagai seorang lelaki yang telah kehilangan dan kebebasan kanak-kanaknya yang tanpa beban. Dan hanya ingatan dan kenangan yang dapat memuaskan hasratnya pada keabadian dan ketiadaan. Juga kerinduannya pada kematian yang lembut.
Malam itu ia seakan hanyut bersama kesenduan suaranya Lara Fabian yang menyanyikan Adagio-nya Albinoni.
2007-2008. Sulaiman Djaya, penyair dan esais.
1 komentar:
terimakasih minuman hangatnya, saya merasa kesulitan menemukan minuman seperti ini dimana2.
Jadi, saya sangat beruntung hari ini.
-salam persahabatan-
Posting Komentar