Jumat, 03 Desember 2010

KATANYA FOLKLORE?

Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Palu menerbitkan buku yang mereka namakan cerita rakyat Kaili di Kota Palu. Sayangnya, isinya sangat memprihatinkan karena semua cerita yang mereka sebut cerita rakyat sama sekali bukan cerita rakyat tetapi cerita sehari-hari yang berbahasa Kaili. Ada di dalamnya berjudul ; orang berkebun, orang bersepeda, orang mandi, dsb. Kesemuanya hanyalah cerita dingin dan sama sekali tidak mencerminkan Cerita Rakyat Kaili. Awalnya, ketika buku itu diberikan ke saya saya berharap isinya adalah tentang Tadulako, atau legenda-legenda yang pernah ada di Kota Palu. Faktanya? Sangat mengecewakan. Belum lagi di cover buku ada foto Walikota Palu, Wakil Walikota Palu, dan Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Palu yang terkesan sangat dipaksakan dalam rangka kepentingan SKPD. Penting untuk membedah buku ini. Sebab bagi saya pribadi, buku semacam ini tidak layak beredar karena menyesatkan pembaca sastra. Atau kalau memang betul-betul ingin menerbitkan buku cerita rakyat orang Kaili, bisa menghubungi penulis cerita yang ada di Kota Palu. Bukannya ditulis oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata beserta staffnya yang isinya tidak jelas! bagaimana menurut komiu?

ANTOLOGI HAMAMI ADABY

HOMOTEMATIS BERTRIWIKRAMA CINTA DALAM KARYA HAMAMI ADABY

: Hudan Nur)*




HAMAMI ADABY, penyair generasi 70-an yang telah menelurkan sejumlah antologi pribadi; Iqra (1997), Nyanyi Seribu Sungai (2001), Kesumba (2002), Bunga Angin (2003), Dermaga Cinta (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2005), Keduluran (2006), 36 Mata Pena (2007), Di Jari Manismu Ada Rindu (2008), dan Sarjana Cinta (2009) ini termasuk penulis puisi yang menitikberatkan karyanya dalam kontekstual sehari-hari, puisi-puisinya ditulis berdasarkan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya. Apa yang ia lihat, dengar, dan rasa semuanya diramu dalam puisi.

Dalam kumpulan antologinya yang terakhir Sarjana Cinta, bukan hanya puisi yang termaktub tetapi juga sehimpun cerita pendek yang pernah ditulisnya kurun waktu 1969-1971 dan semuanya tertemakan cinta. Diusianya yang semakin senja, sisi keromantisan menjadi pilihan dalam menuangkan apa yang ada dipikirannya. Lihat saja Puisi Sarjana Cinta:

Kuperoleh kedamaian di wajahmu nak,

ketika bapak merebut gelar sarjana

dalam pertahankan skripsi cinta

“SURAT dan KEKASIH”

pada penjara ibukota.

Sering kita dengar orang masuk bui

karena putus cinta dan hidup siri

dari pahitnya putaran jaman

gelisah menendang badai kehidupan.

Wajah-wajah resah berloncatan

dari reruntuhan harapan

yang bergetar mendekap kegelisahan

menghadang bisik-bisik pertambatan.

Wajah-wajah ceria bertebaran

bagai perahu layar mengejar lautan

saat bunda cium keningmu, anakku

pertaruhkan skripsi cinta

“SURAT dan KEKASIH”

Lihat juga cerita pendek yang pernah ditulisnya di bawah ini, ada enam cerita pendek yang terhimpun di Sarjana Cinta salah satunya berjudul Hati Wanita dan Kedamaian:

SEUJUNG KUKU aku tidak percaya lagi dengan lelaki. Sering bohong dan mengobral janji. Mungkin itu dirasakan olehmu, dan telah dibuktikan berkali.

Lelaki yang kumaksud tadi bukan kamu, tapi Akli lelaki inilah yang kukutuk sampai akhir hayat. Entah lelaki yang lain aku belum mengambil kesimpulan.

Ucapan Saadiah mendapat perlawanan dari Masni.

+ Tapi tidak semua kan?

- Yang , Ketiga. Kalau juga putus dengan Bakri, yang keempat, baru mengambil keputusan, bahwa lelaki sama semua.

+ Boleh saja. Itu rumus Saadiah. Aku tak menyangkal.

Saadiah diam sambil menggigit ujung jari. Menunduk mempermainkan jempol kaki ke kursi.

Kertas catatan bekas kuliah pagi tadi masih terletak di daun meja ruang tamu.

- Kejam sekali. Ia telah berbohong. Saadiah geregetan sambil melontar pandang ke Masni. Tapi Masnin tidak tahu, karena terhalang buku Anthropology Budaya yang dibaca.

Setelah beberapa menit buku Anthropology itu diletaknya diatas meja. Saadiah mengulang apa yang diucapkan tadi.

- Kejam amat. Ia telah berbohong. Kata Saadiah.

+ Sebagai sahabat maklum hal itu. Nanti kau akan ketemu seorang lelaki yang penuh pengertian.

- Terima kasih Masni.

Masni kembali mengambil buku Anthropology yang di atas meja tadi. Membuka dan membacanya.

- Jadi tidak semua lelaki tidak bisa dipercaya?

+ Tentu ada yang bisa dipercaya, bukti aku!

- O, Jadi begitu toh?

+ begitulah, kata Masni sambil tersebyum menatap Saadiah. “Dengan keyakinan bulat Allah memberikan yang terbaik.”

Buku Anthropology yang dipegang dan dibaca, diletakkannya kembali.

Saadiah tercenung dengan pandang hampa dan kosong. Ada seberkas cahaya dalam binar mata, ketegaran menghadapi kemelut yang merontok bathin.

Kelembutan hatinya masih tergambar dalam setiap kata yang diucapkan.

- Itu kan masa lalu yang tak perlu diingat. Begitukan? Apa iya Masni?

+ Iya. Betul!

Masni sudah mengerti semua ucapan Saadiah itu. Ia berharap sungguh pada Saadiah agar bisa melupakan semua peristiwa kenangan bersama Akli.

- Sulit buat melupakan.

+ Memang sulit, tapi pelan-pelan.

Saadiah berargumen.

- Mungkin hanya penyair yang bisa melupakan. Kenapa? Dituangkannya dalam bentuk puisi. Lalu jadi plong. Mau jadi penyair seperti Bayah? Itukan pertanyaanmu?

Masni tidak membuka mulut, sebab pertanyaan itu sulit untuk dijawab. Saadiah masih menunduk sangat kesal dengan peristiwa silam.

“Seberkas harapan yang hilang, mungkinkah akan ditemukan kembali?”. Kata-kata itu selalu berputar di otak. Tiba-tiba ia bicara.

- Mas, mungkinkah cahaya itu dapat kutangkap lagi?

+ Kenapa tidak! Doa dan usaha yang sungguh.

saadiah ditawari Ajam untuk main drama, berjudul “HATI WANITA DAN KEDAMAIAN”. Ia terima tawaran itu, karena sejak lama ingin dan kebetulan hari ini ada kesempatan.

- Aku akan main drama Mas. Tawaran dari Ajam.

Masni tercengang hampir tidak percaya apa yang diucapkan itu. Ia semakin heran dan mengulang ucapan Saadiah.

+ apa? Main drama? Pendengaranku begitu?

- Ya. Kau pemain kedua. Ajam yang menunjuk!

+ Kapan mulai latihan?

- Dua hari lagi, Rabu. Kuharap Masni jangan menolak.

+ Baik, aku bersedia. Thema cerita bagaimana?

- O, nanti kuberikan naskahnya. Karya Ajam sendiri.

+ Sutradara, siapa?

- Ajam juga.

Ditulisnya naska ini oleh Ajam karena Saadiah memberikan bahan untuk diramu dalam scenario.

Mulanya Saadiah tidak tertarik samasekali dengan permainan panggung ini. entah kenapa ia juga tidak tahu, mulanya untuk belajar acting dan terjun kedunia ini.

Mungkin hanya untuk sekedar pelarian, atau memang suatu keinginan yang lahir dari sanubarinya. Biarkan dunia ini dijalaninyua agar harapan datang suatu kegembiran.

Bagaimana pun rasa asing baginya dan geram.

****

Dari 58 puisi dan 6 cerita pendek yang terhimpun di Sarjana Cinta patut untuk disimak oleh pembaca sastra. Salam!

Jumat, 13 Agustus 2010

GUMAM ALI SYAMSUDIN ARSI













HAMIL EKSPERIMENTAL LAHIRKAN GUMAM ASA

(Ngoni so pe cara bakugumam. Lanjut Jo!)
: Hudan Nur)*



BILA rahasia menempati posisi penting dalam hasil sebuah karya maka jangan ‘paksakan’ untuk menjadi ‘harus jelas’. Begitulah kausalitas seorang Ali Syamsudin Arsi (ASA) dalam eksplorasi karya yang disebutnya sebagai gumam. Awalnya pada pertengahan 2008 yang lewat ASA memperlihatkan kepada saya hardcopy gumam-gumamnya tersebut. Kala itu saya dan beberapa teman yang lain belum memberi reaksi apapun. Hanya saja bagi saya, ASA merupakan seorang yang tidak memakai genre yang orang lain pakai. Barangkali baginya mencari jalannya sendiri itu lebih menjadi, ketimbang harus ikut dalam aliran tertentu.
Dari tiga buku kumpulan gumam; Negeri Benang pada Sekeping Papan (Januari 2009), TUBUH di Hutan-Hutan (Desember 2009), dan Istana Daun Retak (April 2010) dengan selang waktu penerbitan yang jaraknya tidak begitu lama. Ada beberapa hal yang menggelitik saya, selain substansi dan cara penyuguhan gumam ke pembacanya.
Pertama, dari empat belas hal yang ditulis ASA pada Istana Daun Retak; Alangkah Indahnya Rindu, Raja-raja Menikmati Istana, Anak-anak Turun Gunung, Seorang Perempuan Danau, “T”, Gumam Selain Gumam, Istana Daun Retak, Hujan Tipis-tipis, Menari Puisi-puisi, Gumam Dalam Tafsir Rindu, Cempaka, Istana Tanpa Hati, Dan Bencana Itu, dan Gumam Kepada Gumam, membuat pembaca sastra serius ikut mengerutkan kening karena mantra. Bahkan banyak yang terjebak dalam persoalan aturan simetri dalam sebuah keharusan sastra. Sebagai hasil cipta dan rasa, sastra lahir dari kekreatifitasan dan daya kontemplasi yang penuh. Dalam sastra tidak ada batasan harus begini, harus begitu, karena sastra bukan linguistik yang memiliki keterbatasan dan segenap aturan pengikat agar padu. Dari sinilah semuanya dimulai: Imajinasi liar dan kebebasan kreatifitas. Bahkan seorang ASA sekalipun, puluhan tahun yang lewat dia konak hingga klimaks. Jeda waktu yang tidak lama, ASA hamil dalam waktu yang cukup lama, bahkan bertahun-tahun. Dari kehamilan inilah, ia lahirkan anak-anak kandungnya yang disebutnya gumam.
Kedua, hasil hamil eksperimentalnya ASA tersebut menjadikan karyanya tidak prematur, berbeda dengan karya-karya generasi pembebek yang banyak dijumpai di media cetak dan dunia maya. ASA suguhnya gumam sebagai nuansa baru untuk warna kesusastraan Indonesia, yang pada substansinya tidak jauh berbeda dari yang ada. Kata gumam, lekat di indra dengar kita seperti ngedumel, ngoceh dan sebenarnya gumam hanyalah istilah untuk menyuarakan kegelisahan, sudut pandang ASA terhadap sesuatu apapun itu yang sempat terekam langsung dalam perjalanan hidupnya. Maka, pangkal persoalan yang demikianlah kenapa hamil eksperimental itu dilakoni ASA.
Ketiga, semiotika yang dicitrakan ASA bukan untuk dinikmati melainkan untuk direnungkan dan disikapi, karena gumam-gumam didedikasikan ASA untuk mengingatkan terhadap sesuatu. Seperti gumam asa yang berjudul Anak-anak Turun Gunung (IDH hal: 10-13) ;
...
Aroma daun sup di pinggir jalan, sebuah kampung menawarkan. Sepanjang jalan, kiri dan kanan, hamparan menghijau di halaman rumah, samping rumah, belakang rumah, bahkankalaupun juga dapat di dalam rumah dengan batas pagar dari rancangan sederhana dari bahan sederhanadengan mimpi terselipdi kedua belah bibir-bibir mungil yang sederhana. Bukan hanya sepi sekeliling. Kita dalam posisi terkepung oleh berbagai jenis ragam macam, padahal.
...
Anak-anak turun gunung. Anak-anak turun gunung. Bentuk nyata dari rasa kerinduan terhadap kelayakan hidup, tidak dalam mempertahankan wacana-wacana pembohongan, keculasan, sementara kemiskianan dianggap tidak pernah ada dalam setiap laporan, akh, perjalanan berjenis apa dan mau dibawa ke mana gemericik air sejuk bening ini akhirnya.

Keempat, produksi penerbitan buku-buku gumam ASA yang jaraknya tidak berselang lama membuat pribadi saya tercenung. Ada beberapa alasan yang barangkali bagi penulisnya telah hamil anak-anak kembar. Hingga dengan waktu yang hampir bersamaan melahirkan lagi gumam terhadap persoalan-persoalan, himpitan-himpitan serta nadir kulminasi seorang manusia khususnya di Kalimantan Selatan serta beberapa perjalanan yang direkamnya dalam memori adanya. Atau barangkali mantra gumam memang dibuat penulisnya sedemikian rupa, tanpa jeda dan bertubi-tubi. Bahkan kabar terakhir yang saya dengar, ASA telah menyempurkan buku gumamnya yang keempat dan sudah siap terbit.
Kelima, pada akhirnya saya harus mengakui tanpa mengurangi nilai substansi dari gumam ASA itu sendiri, nilai estetik masih terlihat kendati penulisnya buat untuk terlihat dan terkesan kacau, tidak beraturan tetapi keanggunan gumam biasnya dapat dipantulkan lewat kaca makna yang tabirnya tidak ditutupi apapun. Tema yang lugas dikemas dengan nuansa gumam membuat karya ASA patut untuk dicermati, dan dalam bagaimanapun gumam adalah bagian dari puisi yang lahir dari kehamilan eksperimental penulisnya. Ngoni so pe cara bakugumam. Lanjut Jo!






Sebelah Barat Papua, Juli 2010
)* Anggota Wanita Penulis Indonesia

Minggu, 30 Mei 2010

Eksploitasi: Sebuah Bagian Ekspresi

DINAMIKA kebudayaan hadir dalam perjalanan proses kebudayaan-kesenian (sastra) dirasakan telah sampai pada titik jenuh, lemahnya pengelolaan (kebijakan) atas keberagaman seni-budaya yang ada oleh negara/daerah membawa dampak terkoyaknya persatuan dan kesatuan bangsa, berbagai konflik sosial yang terjadi hampir diseluruh wilayah di Indonesia ditambah krisis identitas yang dirasakan semakin memudar serta minimnya pengelolaan kekayaan budaya yang kasat mata (tangible) dan tidak kasat mata (intangible) dan berbagai masalah mendasar lainnya yang kian memberi dampak akan rapuhnya pemahaman, kesadaran, apresiasi kita atas kekayaan keragaman seni-budaya.
Untuk mencapai sebuah hasil yang diinginkan, pengawalan terhadap pola pengembangan dan adanya kesepahaman bersama dimana kebudayaan juga harus menjadi salah satu prioritas utama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara karena kebudayaan – kesenian; merupakan sebuah jalan yang akhirnya akan memberikan gambaran bahwa begitu beragamnya kondisi yang ada dimasyarakat menunjukan identitas kita dalam pembangunan karakter bangsa.
Bila dirunut ke belakang, kebudayaan juga erat dengan kehadiran sastra sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebab kebudayaan yang maju (berkembang) dapat dilihat dari penghargaan masyarakatnya terhadap sastra itu sendiri. Kebudayaan dan sastra adalah hal yang sangat kompleks sehingga cukup sulit untuk bisa diejawantahkan dalam kehidupan. Padahal ini adalah fondasi untuk menjadikan manusia seutuhnya. Ada tiga hal yang bisa menjadikan manusia sebagai insan mulia yakni: agama, etika dan sastra. Apabila ketiga hal ini sudah dimiliki seorang manusia, maka mulialah ia dimata manusia yang lain maupun pencipta kita. Tetapi bila kita tengok ke kenyataan yang ada, justru berkebalikan. Budaya dan sastra menjadi ikon yang dipandang sebelah mata, apalagi bagi kalangan elite, pejabat dan instansi pemerintahan.
Di sisi lain, ketika hal ini disikapi oleh simpatisan budaya dan sastra malah beberapa instansi terkait bersikap apatis. Sangat disayangkan instansi kebudayaan dan pendidikan tidak mau melibatkan personnya ke ranah ini. Padahal notabenenya adalah instansi pelindung dan bertanggungjawab untuk menaungi segenap apapun yang mengusung unsur budaya (sastra). Di dalam tubuh budaya terkandung nilai sastra untuk memanusiakan manusia. Di dalam sastra ada tanggungjawab moral untuk melindungi manusia dari kebobrokan, ada filteralisasi yang tidak langsung menjadi tameng manusia dalam berkehidupan. Namun dalam kurun waktu terakhir ini, banyak lahir seniman-seniman birokrat yang ‘katanya’ peduli dengan keberlangsungan seni – budaya.
Kalimantan Selatan merupakan kawasan yang egaliter, tidak hanya etnis Dayak dan Banjar tetapi hampir seluruh etnis dan subetnis suku yang ada di tanah air. Ini menunjukkan adanya akulturasi yang implisit terbangun dalam proses berkehidupan. Sehingga corak budayanya pun (agak) sedikit mengalami adopsi dan adaptasi mengikuti perjalanan budaya yang sama-sama bergulir seiring masa. Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan bila kelak budaya sebelumnya berubah menjadi budaya campuran yang statusnya mengalami klamisasi dalam periodik tertentu. Sebagai contoh adalah budaya Gong, awalnya budaya ini merupakan sarana penyiaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali Kalimantan Selatan. Lambat-laun telah menjadi tradisi turun-temurun yang membudaya di setiap daerah yang notabenenya beragama Islam dan sebagai faktanya di tempat kita mengenal tradisi Wayang Gong. Sebuah pertautan silang antara budaya Hindu dan Islam, suatu nuansa – cikal bakal salah satu kesenian Banjar.
Seiring klamisasi tersebut kultur asli yang dianut masing-masing etnis juga mengalami pergolakan dan pergeseran budaya. Karakter kebudayaan memburam dalam situasi kehidupan yang nilainya melebur dalam menghargai budaya-budaya terbuka. Berbeda dengan situasi kultur yang tertutup, budayanya mampu bertahan tanpa tergerus arus egalisasi. Bukankah suatu kebudayaan akan ada dan tidak tergantung pelaku budayanya itu sendiri? Di sinilah sebenarnya kulminasi gerusan corak dalam berbudaya. Seniman yang sejatinya berbuat untuk keberlangsungan sebuah kebudayaan, juga dapat merusak dan menghancurkan nilai-nilai dalam budaya itu sendiri tak terkecuali. Belakangan ini terbukti dengan kehadiran seniman birokrat di daerah kita.

Lantas bagaimana bila eksploitasi dimaknakan ekspresi?
Berapa banyak lagi seniman dua puluh empat karat yang tersisa di Bumi Lambung Mangkurat ini? Kita semua angkat bahu, karena tahu perjuangan murni memerlukan pengorbanan dan tempaan yang luar biasa perihnya. Disamping itu juga memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Berbeda dengan seniman birokrat yang tiba-tiba saja nyeni karena faktor jabatan dan kedudukan di suatu instansi. Inilah sebenarnya racun kebudayaan yang mengaburkan citra budayanya sendiri. Sebab, pada dasarnya mereka tidak memiliki kecakapan dan ilmu seni – budaya yang utuh. Sehingga pemahamannya terfirkah dan setengah-setengah. Dan sangat disayangkan mereka melakukan eksploitasi terhadap seniman-seniman yang secara ekonomi memerlukan bantuan untuk bisa bertahan.
Celakanya para seniman dengan sukarela dieksploitasi oleh seniman birokrat. Tidak hanya itu, penyasastranya pun demikian. Ini fatal! Sebab warna seni – budaya menjadi kabur karena kepentingan pihak tertentu. Seyogianya, semua kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan seni – budaya maka wajib hukumnya: penggerak, pelaksana, maupun penggagas menu seninya adalah pelaku seni (murni) itu sendiri! Ini tidak bisa ditawar lagi, karena memang merekalah yang tahu betul nadir kebudayaan, baik yang berskala regional maupun nasional. Tapi apakah hal ini juga berlaku di daerah kita?
Nilai kebudayaan tidak lagi berada dalam koridor yang pas. Ajang yang bermuatan seni – budaya – sastra kini sudah ditunggangi kepentingan-kepentingan kalangan tertentu. Bila eksploitasi dimaknakan ekspresi maka paham kebablasan ini telah salah kaprah. Perlu koreksi diri dulu kalau mau dikatakan seniman – budayawan – sastrawan yang benar. Dan tentunya perlu menghentikan eksploitasi terhadap seniman!
Mari kita berekspresi dalam kita!*

Rabu, 07 April 2010

SIARAN PERS DARI KSI

YKST AKAN LAUNCHING BUKU

Komunitas Sastra Indonesia dan Tradisi Lisan Nusantara (KSI-TLN) Palu, merupakan salah satu lembaga yang aktif dalam kegiatan kesusastraan. KSI memiliki pengurus pusat dan hampir seluruh provinsi di Indonesia telah terbentuk termasuk di Sulawesi Tengah. Di antara kegiatannya melakukan berbagai kegiatan sastra berupa seminar/diskusi, pembacaan karya sastra dan lainnya.

Pada kesempatan ini KSI menjadi event organizer untuk peluncuran sebuah buku berjudul Orang Kaili Gelisah Catatan Kecil Seorang Wartawan yang akan diluncurkan pada, Jumat, 16 April mendatang. Buku tersebut diterbitkan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah (YKST) yang merupakan lembaga nirlaba yang didirikan budayawan Masyhuddin Masyhuda (almarhum).

Buku Orang Kaili Gelisah Catatan Kecil Seorang Wartawan yang merupakan kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di surat kabar lokal mengenai peristiwa seni dan budaya di Kota Palu.

Buku Orang Kaili merupakan kumpulan 25 tulisan Jamrin Abubakar yang khusus mengenai masalah-masalah Kaili sebagai hasil liputan, interpretasi dan wawancara tokoh-tokoh budaya di Palu yang kemudian diramu dalam bentuk tulisan. Karena itu tulisan dalam buku yang dicetak di Yogyakarta dan merupakan buku kedua Jamrin Abubakar yang diterbitkan YKST akan menambah kekayaan pustaka daerah Sulteng yang masih kurang. Sebelumnya buku yang diterbitkan yaitu Mengenal Khazanah Budaya dan Masyarakat Lembah Palu tahun 1999.

Kebetulan Jamrin termasuk salah satu pengurus Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah yang bergabung sejak tahun 1990-an, yaitu semasa Masyhuddin Masyhuda masih hidup. Sedangkan Masyhuddin yang juga penyair tersebut meninggal dunia pada 30 September 2000. Namun kepengurusan YKST tetap berjalan walau tak seaktif lalu.

Dengan demikian atas upaya yang dilakukan Jamrin Abubakar menerbitkan bukunya atas nama YKST, merupakan apresiasi untuk tetap eksis dalam masalah-masalah kebudayaan. Bersama ini pula sebagai perkenalan, kami sertakan Kata pengantar Penulis buku dari Jamrin Abubakar sebagai penjelasan tentang bukunya.

Atas dukungan kawan-kawan jurnalis dalam publikasi tentang buku yang akan diluncurkan ini, kami ucapkan terima kasih.

Hudan Nur

(Ketua KSI Palu-Sulteng)

Minggu, 04 April 2010

Seminar Sastra


PENGALIH WANAAN SENI
(Sapardi Djoko Damono di Kota Teluk Palu)
: Hudan Nur



KEDATANGAN Sapardi Djoko Damono (SDD) ke Palu, Sulawesi Tengah dalam rangka Seminar Sastra Bandingan untuk masyarakat sastra, penikmat sastra, guru, dosen, mahasiswa, dan seniman Palu, 29 Maret 2010 bertempat di Cita Mulia Hotel Palu membawa cita baru dalam memaknai sastra di era kekinian, terlepas dari kacamata kontekstualitas.
Berangkat dari karya-karya Barat, pada masa 2000 SM dapat kita rasakan perbedaan dalam penyampaian sebuah karya (sastra) dalam niat memanusiakan manusia dan menjunjung tinggi nilai persamaan dalam kebudayaan. Ada banyak epos di dunia ini, begitu juga cerita dan legenda yang nampaknya mempunyai persamaan kisah yang tidak jauh berbeda, seperti: Odypus dan Sangkuriang, Romeo & Juliet dan Laila-Majnun, dan lainnya. Betapa menakjubkannya?
Pada perkembangannya alih wahana menurut SDD merupakan perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lainnya. Sehingga apapun bentuk kesenian dapat diubah menjadi bentuk kesenian yang lain, contohnya: puisi lahir dari lukisan, novel ditulis dari gerak tari, dan film dibuat dari karya novel.
Tradisi lisan yang membudaya di nusantara kita ini sudah selayaknya kita tanggalkan. Betapapun verba volant-schrifta manent, dan akan terus menerus hidup sepanjang zaman. Perlu kita contoh negara-negara luar sana yang apapun tercatat dalam tulisan. Ada tiga hal pokok dalam alih wahana: Enkranasi (pengubahan fiksi, puisi, dan drama), Novelisasi (pengubahan drama atau fil menjadi film), dan musikalisasi (pengubahan puisi menjadi lagu).
Sehingga, apapun itu bentuknya tulislah apa yang bisa ditulis sementara kita masih punya kesempatan untuk menjaga kesepemahaman, menjaga eksistensi dan akan selalu ada mesti kita sudah tiada nanti. Sastra lisan, seperti ketoprak dan pewayangan sangat disayangkan karena selama ini tidak pernah ditulis dalam bentuk naskah. Pelakonan berjalan adanya tanpa mengikuti arus-alur yang dibuat.
Seyogianya, harus kita biasakan menulis itu untuk melawan kesimpang-siuran data di era mendatang!

ada yang menanggalkan pakaianmu satu demi satu
mendudukanmu di dpean cermin dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?

ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu

ada yang sedang diam-diam menjadi dirimu

Senin, 15 Februari 2010

Menyoal Pilkada Palu

PAPAKERMA BEGAWAN NAGARI
(Ketika Persaingan Tak Sehat Menzarah Pemikiran Kandidat Walikota Palu)
: Oleh K. Ariwa)*



MENENGOK prakada di perbagai wilayah se-Indonesia memang menuai kontroversi yang negatif. Intrik dilakukan calon penguasa nagari dengan tidak sehat, antara lain ditandai dengan pembusukan kandidat untuk menjatuhkan kandidat saingannya, hingga kesan pesimistis menjadi tolok ukur keberhasilan pembusukan tersebut. Tak perlu ditampik bahwa pengaruh, status sosial, maupun kesejahteraan kandidat menjadi penting untuk diketahui oleh publik menyoal aral yang melintang kelak serta sebuah konsekuensi perubahan yang wajib diemban penguasa sekaligus kepuasan masyarakat akan pelayanan pemerintah ke depan.

Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah menyimpan polemik laten yang tidak saja membahayakan intern kandidatnya tetapi juga publik yang selama ini masih terombang-ambing dengan persoalan kekuatan financial yang dimiliki kandidat. Di tengah papakerma tersebut, hadirnya begawan yang mampu menampung segenap aspirasi positif publik menjadi urgen dalam rangka memanusiakan manusia seutuhnya khusunya publik Palu yang secara umum masih jauh dari makna kemajuan dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Sulawesi.

Betapa tidak, bisa dilihat dari infrastruktur pembangunan sarana dan prasarana dan kualitas sumber daya manusia yang jauh kalah dibandingkan dengan person publik di tempat lagi. Apalagi bila kita mengukur Jawa? Palu adalah iklim berkehidupan yang akan (mulai) membangun tatanannya agar bisa setaraf dengan wilayah lain minimal se-Sulawesi. Untuk itu, disadari (tidak) perlu perubahan secara substansi dan diejawantahkan sebagai agent of change untuk sebuah nagari (daerah) yang lebih purna.

Hingga apa yang didambakan oleh publik dapat direngkuh minimal semua hak-hak dasar kemanusiaan hakiki dapat diakomodir oleh pemimpin ke depan. Di masa sekarang, yang katanya semakin maju justru hak-hak manusia semakin terabaikan hal ini ditandai dengan beberapa hal antara lain di bidang: kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sumber energi serta kebutuhan air bersih. Eko Prasetyo, seorang penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah memaparkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh orang kecil tidak digubris oleh kalangan atas dalam hal ini pemerintah yang notabenenya melindungi dan memberikan pelayanan bagi kalangan menengah ke bawah, ternyata? Bantuan yang katanya 20% dari anggaran pemerintah sampai ke tangan rakyat kecil dengan sejumlah potongan yang disebut pajak-pajak. Hal ini juga membawa keterpurukan negara kita khususnya kader bangs hingga ancaman putus sekolah masih disinyalir kerap terjadi di masyarakat yang berekonomi lemah.

Selain itu orang miskin juga dilarang sakit! Sebab biaya pengobatan dan segala tetek-bengek persoalan administrasi masyarakat miskin justru di buat rumit oleh pemerintah sendiri. Malah pernah terjadi, ketika pasien tengah gawat darurat (koma) sedang persoalan administrasi belum tertuntaskan oleh pihak keluarga maka alhasil pasien tidak bisa mendapat pertolongan cepat hingga ajal menjemputnya. Sungguh disayangkan memang sebab proses administrasi oleh pemerintah Palu yang sekarang sangat berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Jangankan hal tersebut, mengurus KTP/ KK saja memerlukan alokasi waktu minimal satu minggu. Ditambah lagi para pelayan-pelayannya yang tidak profesional dan (maaf) kasar apalagi ketika tahu yang mengurusnya adalah orang kecil. Hal ini perlu diperbaiki segera karena memanfaatkan jasa para honorer atau PNS baru yang masuknya dengan kolusi dan nepotisme justru mendatangkan mudarat bagi masyarakat Palu sendiri. Pada akhir Desember 2008 lalu, hal ironis serupa terjadi di Jawa Tengah. Ketika anggota DPRD propinsi tersebut menaikkan tarif biaya rumah sakit bagi kelas ekonomi menengah ke bawah sebesar 300% sementara VIP atau kelas utama (atas) tidak mengalami kenaikan sama sekali. Sungguh nanar kejadian tersebut, semoga tidak terjadi di Kota Teluk Palu.

Menyoal sumber energi listrik dan air bersih yang setiap waktu mendapat sumpah serapah dari masyarakat biasa katakanlah menengah dan menengah ke bawah. Hal ini perlu cepat dialihtangankan atau dipindahtangankan atau dibantu oleh pemerintah agar sekelumit problematika byar-pet dapat tertuntaskan dengan cepat. Di samping itu, kebutuhan masyarakat akan air bersih juga menjadi catatan penting bagi calon kandidat ke depan. Sebab, biarpun PDAM tetaplah tidak bisa mendatangkan makna ‘bersih’ itu sendiri. Sebab, kala hujan mengguyur kota Palu sebagian penduduk yang tinggal di kawasan Palu Barat akan mendapati air yang kecoklatan bahkan hitam bercampur lumpur. Hal yang demikian perlu digarisbawahi dan menjadi catatan penting karena Palu (masih) akan berkembang, belum menuju (mau) maju. Sehingga yang paling penting adalah sekelumit persoalan hak-hak dasar kemanusiaan.

Ketika Wanita Menjadi Kandidat

Minor negatif selalu tertuai bila hal ini mencuat dipermukaan karena kontroversi akan hadir baik dari segi agama maupun kemampuan sendiri bagi seorang wanita. Padahal sejumlah negara pernah dipimpin oleh perempuan termasuk Indonesia.
Di Palu (Sulawesi Tengah) sejarah pemimpin wanita juga pernah terjadi pada masa kolonial Belanda ialah Itondoei yang sekarang daerahnya termaktub di Kabupaten Sigi atau cerita Raja Lingginayo juga seorang perempuan. Bahkan seorang Panglima Burung bagi suku Dayak adalah wanita.

Lewat kacamata agama khususnya Islam, diwajibkan pemimpin itu adalah golongan ulama dan umara yang berjenis kelamin laki-laki. Namun pada nadirnya ketika kaum adam belum bisa membawa perubahan yang substansi dalam beranah di kemimpinan daerah maka wanita dengan segenap pengalamannya disertai rasa, empati dan belas bisa hadir dalam memberi warna baru demi kemaslahatan seluruh umat. Apalagi di tengah pluralisme dalam dinamika kehidupan publik di era sekarang, sah-sah saja ketika wanita ikut andil dalam pembaruan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Harus ada yang berubah untuk lebih! Semoga![]



)* Pemerhati Masyarakat Kota Palu

Cenayang Palu

Eksploitasi: Sebuah Bagian Ekspresi
(Tanggapan Hentikan Eksploitasi Seniman di Mercusuar 11 Februari 2010)



APAKAH bila sudah beberapa kali berkarya dikatakan seniman? Apakah bila sudah menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Apakah memang begitu klaimisasi seni di ranah nagari kita ini? Ah.

Oleh: Hudan Nur

Tulisan yang dibuat oleh seorang Jamrin Abubakar beberapa waktu lalu membuat nelangsa dan miris. Ditambah lagi fakta akan kualitas berkesenian yang pelakunya sendiri tidak tahu standar berkesenian di era sekarang (masih berkiblat ke barat). Sehingga originalitas dan flagiator kesenian tidak bisa dibedakan oleh kacamata para pelaku seni di Kota Palu.

Seperti kasus karya-karya M. Djaruddin Abdullah yang secara terang-terangan di flagiat oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah pada tahun 2007, tidak mendapat respon apa-apa. Padahal kalau ditelaah lebih jauh, perbuatan yang dilakukan oleh seorang Kadis tersebut termasuk ke dalam kasus pidana. Ini perlu digarisbawahi dan ditindaklanjuti sebab menurut informan karya tersebut telah dibukukan dan beredar di Yogyakarta dan sekitarnya atas nama Kadis tersebut. Hal ini sangat memalukan, dan perlu diusut secara tegas.

Barangkali mengingat minimnya cakrawala berpikir dan berkreasi sehingga jabatan bisa dijadikan mobilisasi dalam mengklaim karya orang sebagai karya sendiri. Oh, Tuhan ampuni dosanya!

Dilain pihak, ketika seniman birokrat dengan gayanya yang menjenuhkan mencoba merangkul kembali bahu para seniman murni maka yang harus dilakukakan oleh seniman murni adalah melawannya. Sebab disadari atau tidak, hidup adalah pilihan dan jangan sampai pilihan yang memilihkan kita. Sehingga, kita bisa memihak dan memilah yang mana kawan, yang mana lawan, dan kita jangan pernah merasa takut karena kekuasaan, sebab semuanya telah terfirkah-firkah adanya.

Seyogianya juga eksploitasi seniman memang harus dihentikan. Namun bagaimana bila ada beberapa oknum (seniman) yang senang dengan eksploitasi semacam ini? Jawabannya kembali ke diri seniman itu sendiri dan pantaslah yang demikian disebut pengkhianat seni! Maka berhati-hatilah hai para seniman yang mempunyai ide brilian jangan sampai ide cemerlangmu terlontar ketika diwicarakan dengan seniman birokrat karena dengan gamblang ide tersebut akan dicaplok sebagai idenya.

Lalu, mengenai standarisasi seorang dikatakan seniman atau teaterawan atau penyair itu bagaimana? Apakah dengan beberapa kali menulis puisi dan dibukukan dikatakan penyair? Mudah betul kalau begitu! Padahal di Indonesia ada badan standar yang bisa mengukur kualitas karya penulis lewat media yakni antara lain seperti Majalah Horison, Kompas, Pawon Sastra, Lebah, Republika, Media Indonesia, dan Tempo. Lalu dalam teater antara lain: ada Federasi Teater Indonesia, Mimbar Teater Indonesia, Katimuri, dsb. Begitu juga dalam hal rupa, kriya, musik, dan tari. Memang ada standar baku penilaian mutu yang berkiblat ke barat dan timteng.

Lantas bagaimana bila eksploitasi dimaknakan ekspresi?

Menurut hasil pertemuan Dewan Kesenian se-Indonesia di Malang beberapa tahun silam, bahwasanya semua kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan seni maka wajib hukumnya penggerak, pelaksana, maupun penggagas menu seninya adalah pelaku seni pribumi (murni) itu sendiri! Ini tidak bisa ditawar lagi, karena memang merekalah yang tahu betul nadir kesenian, baik yang berskala regional maupun nasional. Tapi apakah hal ini juga berlaku di Kota kita?

Apa Kabar Dewan Kesenian Palu (DKP)?

Kesemangatan sebagian para anggota DKP dalam berkesenian perlu kita tanggapi dengan positif, karena dimana-mana yang namanya dewan pasti ada pro-kontra. Tetapi itu dilema yang mesti ada dalam berkehidupan organisasi termasuk kesenian. Namun yang disayangkan apabila ada oknum-oknum yang hanya tahu sedikit tentang kesenian, malah berkoar menyoal seni bergema-gema. Padahal substansi seni yang hakiki belum ia miliki dan terapkan dengan benar sebenar-benarnya.

DKP periode baru ini mengakomodir seluruh kalangan dengan berbagai komposisi lewat bias manapun, atau bila dikatakan lebih gamblang merekrut seluruh kalangan. Ini positifnya, namun kelemahannya: ada kalangan yang baru kemarin tercebur ke kesenian sudah memploklamirkan dirinya sebagai seniman sejati. Wah ini kebablasan namanya! Seolah-olah ia tahu banyak tentang kesenimanan padahal baru sebibir pantai ia rasai asin garam kesenian. Mesti kita ketahui juga bahwa garam itu asin, tetapi asin bukan berarti lautan bukan?

Belum lagi polemik persepsi yang beraneka. Itu lumrah adanya. Tetapi, satu hal yang harus diingat Dewan Kesenian tidak seporsi dengan komunitas atau sanggar kesenian karena dewan adalah puncak tertinggi dalam hirarki kesenian. Ia menaungi semua sub-aspek kesenian, ini berarti ia juga harus mempunyai persepsi kedewanan yang benar. Banyak yang belum mengerti dengan ini. Sehingga kinerja kedewanan bisa berjalan dengan seharusnya, dan ini memerlukan energi untuk mensinergikannya, dan setiap kita adalah aset seni-budaya yang harus mendukung keberlangsungan kesenian di Kota Teluk ini. Mari kita berekspresi dalam kita!



Penulis adalah Pegiat di Kostra Latarnusa sekaligus Anggota DKP

KSI: Kostra Latarnusa

Kostra Latarnusa merupakan singkatan Komunitas Sastra Indonesia dan Tradisi Lisan Nusantara Palu-Sulawesi Tengah yang baru berdiri di Kota Palu. Kostra Latarnusa merupakan anak cabang dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Pusat Jakarta, karena di Sulawesi Tengah kaya tradisi lisan maka kami secara otonomi mengklaimkan diri lebur bersama tradisi lisan. Dari sini, diharapkan tradisi lisan dapat dialihterasikan dalam bentuk literatur sastra tertulis hingga pelestarian tradisi lisan dapat terakomodir, minimal terdokumentasikan lewat tulisan.

Dari segi umum, "tradisi lisan" merujuk kepada penyampaian bahan budaya melalui sebutan lisan, dan telah lama dikatakan sebagai gambaran cerita rakyat (kriteria yang tidak lagi dipegang kemas oleh kesemua pencerita rakyat). Sebagai bidang akedemik, ia merujuk kepada kedua kaedah saintifik dan objek yang dikaji oleh kaedah tersebut. Tradisi lisan merujuk kepada segala bentuk warisan dan tradisi yang lahir dalam sesuatu kelompok masyarakat. Penyampaian tradisi ini berbentuk perantaraan lisan. Ia merupakan satu cara masyarakat menyampaikan sejarah lisan, kesusastraan, perundangan dan pengetahuan lain menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan.

Kajian tradisi lisan adalah berbeda dengan bidang akademik sejarah lisan, yang merupakan rekaman ingatan pribadi dan sejarah oleh mereka yang mengalami era sejarah atau kejadian tertentu. Ia juga berbeda dengan kajian kelisanan (orality) yang boleh ditafsirkankan sebagai pemikiran dan gambaran lisan dalam masyarakat di mana teknologi kesusastraan (terutamanya tulisan dan cetakan) tidak meluas dikalangan penduduknya. Akan tetapi pada kenyataannya posisi tradisi lisan masih terpinggirkan, potensinya masih terabaikan, dan masih banyak yang menganggap bahwa tradisi lisan hanyalah peninggalan masa lalu hanya cukup menjadi kenangan manis belaka.

Tradisi lisan seolah-olah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern yang semakin melaju sangat cepat selama ini. Kemajuan teknologi ternyata tidak disikapi secara arif sehingga semakin meminggirkan posisi tradisi lisan.

Dunia sastra, baik yang berbahasa Indonesia mau pun yang berbahasa daerah nampak seperti kerakap di atas batu, mati segan hidup tak mau. Di kalangan para pendukung sastra ada semacam rasa ketergantungan pada uluran tangan pemerintah kurang semangat mandiri dalam berkesenian. Kekuatan potensial terpencar oleh tidak adanya organisasi yang mampu menghimpun mereka. Organisasi sangat tergantung pada tenaga lokomotif untuk bisa bergerak. Sementara Dewan Kesenian lumpuh, hanya ada namanya.

Sastra berbahasa, baik lisan atau pun tulisan juga terancam binasa.Kepunahan ini bisa dipercepat oleh tidak adanya kesadaran budaya di dua tingkat yaitu tingkat atas dari pengelola kekuasaan politik yang nampak dengan tidak memiliki politik kebudayaan yang jelas. Dari bawah yaitu di kalangan masyarakat yang larut oleh budaya pop tanpa memahami apa itu budaya pop yang melarutkannya.

Berangkat dari posisi sastra dan tradisi lisan yang masih terpinggirkan khususnya di kota Palu dan dengan kedatangan Dzawawi Imron ke Kota Palu sekaligus launching KSI di mata masyarakat sastra di Palu membawa dampak besar dalam pengakomodiran sastra dan tradisi lisan yang dimiliki oleh Palu. Kegiatan bulan depan yang akan digelar KSI Palu adalah Cerdas Cermat Sastra dan Tradisi Lisan dan Kostra Latarnusa Awards bagi seluruh pelajar SMA (sederajat).

KSI Palu dalam Kostra Latarnusa

Hapri Ika Poigi bersama Dzawawi Imron
(Pasca Launching KSI Palu, 15 Januari 2010)
TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI