DATA BUKU
Judul : Nuhammadiyah Bicara
Nasionalisme
Penulis : Acep Zamzam Noor, dkk
Editor : Binhad Nurrohmat dan Moh. Shofan
Penerbit : Ar-Ruzz Media
Cetakan : Pertama
Tebal : 252 Halaman
ISBN : 978-979-25-4864-9
SEBELUMNYA
oleh
penulis yang sama telah terbit buku NU Miring, isinya segala bentuk gejala yang
condong ke NU, tidak tegak lurus tetapi condong NU, di dalamnya menguraikan
bersatunya para ulama Indonesia dalam rangka syiar Islam untuk memendarkan cahaya
Islam. Berlanjut kehidupan Nahdliyin yang tidak lagi condong NU, dimulai sejak NU Kultural yakni sebuah civic society pada kurun waktu 1990-an, saat santrinisasi birokrat
dan islamisasi politik sedang gencar diarak ke panggung politik nasional, yang
mana kebangsaan secara eksklusif dimaknai sebagai keislaman. Pembahasan yang
mencondong NU sebagai subaltern yang tidak teridentifikasi secara
organisasional dengan jelas, tidak melaksanakan ‘ubudiyah yang bertolak dari furu’iyah
fikih dari mainstream NU dalam
konteks sosial keberagaman sebagaimana teori Clifford Geerts yang disebut Abangan, atau tidak memiliki relasi
pendidikan dan pengetahuan dengan dunia pesantren.
Uniknya
keberagaman lahir dari generasi yang sama, pembelajaran datang dari mana saja,
dari agama mana saja bahkan dari aliran manapun. Belajar dari Kiai Ahmad Dahlan
dan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pembaru Islam yang tajdid. Hanya saja kembali Muhammadiyah dinilai telah kehilangan
ketajdidannya, kini Muhammadiyah sudah berubah menjadi gerakan Islam yang
membawa gerbong puritanisme. Padahal, dari segi usianya uang sudah memasuki
satu abad tidak membuat Muhammadiyah makin matang dan dewasa dalam menyikapi
persoalan-persoalan krusial yang berkembang di masyarakat. Malah sebaliknya
menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Islam
yang dipahami Muhammadiyah adalah Islam yang tidak bermahzab kecuali Islam
yangmerujukn kepada Al-Quran dan Sunnah
Nabi (ar-ruju ila al-qur’an wa as-sunah).
Hanya sayang, dalam perkembangannya paham tersebut tidak berkembang sempurna. Terutama
dalam hal landasan pemikiran. Muhammadiyah tampak mengalami kesulitan dalam
praksis gerakan karena tafsir yang berkembang sedikit kurang memadai sementara
persoalan kebangsaan semakin hari kian menumpuk. Dengan kurangnya kekuatan
Muhammadiyah mengembangkan perspektif
Islam yang progresif dan kreasi-kreasi perspektif teologis, yang
berlandaskan pada tealogi Muktazilah, akhirnya Islam yang tidak berhamzab
sering dikritik sebagai Islam Murni alias Islam Wahabi sekalipun dikatakan
modernis, tetapi dalam pemahaman dan praktiknya tidak mencerminkan sifat-sifat modernisme
dan modernisasi.
Prinsip modernism yang
berdialektika dengan perubahan-perubahan zama, merespon masalah tidak sekadar
tekstual, meberikan respon atas persoalan-persoalan yang berkembang dengan
cepat dan mendasarkan pada pilihan-pilihan rasional, tanpa taklid pada paham
tertentu, ternyata agak sulit dipraktikan Muhammadiyah. Hal ini tentu saja
menjadi penghalang besar bagi diri Muhammadiyah dalam mengembangkan
pemikiran-pemikiran keislaman yang diharapkan mampu memberikan “warna” di
Indonesia.
Berbicara mengenai Magical Community, hingga tahlil
kematian dan persaudaraan tahlil. Hal ini dilakukan untuk mengingat memori yang
tercecer. Disinipun ada kontradiksi dalam mengejawantahkan makna tahlil itu
sendiri. Betapapun Nu Miring, Muhammadiyah Miring, Pemerintah Miring adalah
sebuah fakta yang sekarang mempunyai sisi kuran dan lebih dalam kontekstual kehidupan
berkebangsaan.
Lebih detail lagi buku ini
menguraikan sisi baik-buruk dari keduanya, Nu dan Mudhammadiyah. Keduanya baik
dan keduanya juga tidak baik. Maka ada satu jalan untuk mengambil sisi baik
dari keduanya dan menanggalkan ketidakbaikan dari keduanya melalui NUhammadiyah!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar