Ideologinya Sastra
(Merunut Pembentukan Komunitas Sastra dan Tradisi Lisan Indonesia di Palu)
: Hudan Nur )*
(Merunut Pembentukan Komunitas Sastra dan Tradisi Lisan Indonesia di Palu)
: Hudan Nur )*
PALU secara krusial berada dalam ‘kegelisahan’ akan eksistensi sastra yang mulai kehilangan warnanya, ditambah lagi para pelakunya dalam konteks internal. Munculnya keberagaman versi dan pola pikir mengakibatkan perkembangan sastra secara terpadu mengalami kemunduran. Tidak hanya pada karya-karyanya, tetapi juga terhadap lintas generasi berikutnya yang secara perlahan ikut terbunuh karena tidak mempunyai wadah untuk menyalurkan bakatnya. Jika dibandingkan dengan kota lain di Sulawesi ini, Palu sungguh jauh tertinggal. Di tanah air ini sudah mempunyai wadah aspiratif untuk para sastrawan ‘berladang’ yakni Komunitas Sastra Indonesia (KSI).
Ketika dirunut ke belakang KSI terbentuk sebelas tahun yang lalu pasca presiden Soeharto lengser dari jabatannya sebagai kepala Negara karena pada masa kekuasaanya karya sastra kurang berkembang disebabkan tekanan militer yang selalu waspada terhadap kegiatan sastra seperti pembacaan puisi yang dicurigai akan merusak integrasi bangsa. Namun sejak tahun 1998 resmilah KSI sebagai rumah komunitas yang mempunyai akta notaris sekaligus sebagai yayasan legal di Indonesia. Sastrapun mempunyai peranan mulia dalam mengusung jati diri bangsa yang sekarang bisa kita lihat faktanya bahwa Indonesia mulai kehilangan ke‘aku-an’nya.
Komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sastra yang khas di Indonesia. Sebenarnya, jika kita menganggap bahwa komunitas sastra sebagai sarana produksi atau mengkonsumsi sastra secara kolektif, hal ini sudah terlihat umum di banyak Negara selain Indonesia pada zaman pertengahan Perancis, ataupun pada abad ke-19 di Jepang, membaca buku secara berkelompok adalah hal yang umum, sebab buku adalah benda yang masih sangat berharga dan langka di wilayah tersebut pada zaman tersebut. Namun keunikan di Indonesia adalah pada pola menikmati sastra secara kolektif yang tetap saja digemari hingga kini meskipun buku sudah dapat diperoleh di masyarakat tanpa dengan banyak kesulitan. Di Indonesia, komunitas sastra berupa sekelompok atan sejumlah orang yang bertujuan untuk melakukan sastra. Sebetulnya, kelompok sejenis ini telah eksis di nusantara setidaknya sejak zaman kolonial, supaya orang bisa mendapatkan akses untuk membaca dan membahas buku bersama-sama, ketika kebanyakan orang yang mengalami kesulitan mempunyai buku. Kelompok tersebut seringkali memiliki sebuah tempat untuk berkumpul, dimana para anggotanya bisa saling belajar dan berdiskusi untuk berkarya lebih baik. Istilah ‘komunitas’ untuk menggambarkan kelompok seperti ini mulai digunakan pada tahun akhir 1980an dan berbagai aktivitas komunitas mulai terlihat dalam masyarakat sejak awal tahun 1990an. Setelah orde baru runtuh, jumlah komunitas sastra mulai bertambah drastis lagi dengan jenis kegiatan yang lebih bervariatif. Pertumbuhan komunitas sastra ini sebagian didukung oleh perkembangan ekonomi dan perbaikan standar pendidikan warganegaranya selama satu dekade terakhir, serta sebagai akibat perkembangan sosial yang memungkinkan bertambahnya populasi yang mampu membeli buku atau sudah terbiasa menulis dan membaca. Menurut Ahmadun Yosi Herfanda (Ketua KSI Pusat Jakarta), ideologi kesusastraan adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang terkandung di dalam teks-teks yang disebut karya sastra – baik prosa (esai, cerpen atau novel) maupun puisi. Definisi tersebut merujuk pada penjelasan dari ideology Perancis, Desstutt de Tracy (1976), yang menciptakan istilah ‘ideologi’ guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifatnya, serta hukum-hukumnya. Dalam kacamata politik, ideologi adalah paham, teori atau tujuan terpadu yang merupakan satu program sosial-politik. Namun, dalam arti umum ideologi adalah ide-ide yang mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu, yang menampak pada pola aktivitas, ekspresi dan tujuan kekaryaannya.
Di sisi lain, Budi Darma berkata kalau ingin tahu komunitas sastra tanpa label ‘komunitas’, cobalah berkunjung ke makam Sutan Takdir Alisyabana di Tugu, Bogor. Makamnya di sana berdampingan dengan makam isterinya sendiri, tidak jauh dari sebuah lereng sungai. Makam ini terletak di pekarangan sebuah rumah besar milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Dalam sejarah sastra Indonesia, rumah ini mungkin tidak tercatat, namun sebetulnya rumah ini mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembagan sastra. Dulu, ketika STA masih muda, sekali-sekali dia mengundang sastrawan-sastrawan yang umurnya lebih muda daripada dia, antara lain Mochtar Lubis. Rumah itu dijadikan tempat ngobrol dan berdiskusi. Lalu pada angkatan ‘45 pada hakikatnya bukan komunitas. Tengok sedikit perihal kehidupan mereka. Ada sepasang tokoh sentral yakni, HB Jassin sebagai penemu bakat dan Khairil Anwar sebagai pembeharu. Dua orang ini dan teman-temannya sering berkumpul-kumpul, berdiskusi dan langsung ataupun tidak, diskusi mereka masuk ke dalam karya mereka. Tengoklah misalnya; surat Idrus kepada HB Jassin dan jawaban HB Jassin kepada Idrus.
Berbeda dengan Anis Sholeh Ba’asyin yang menganggap bahwa ada banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk membedah gejala komunitas sastra, mulai dari yang paling sederhana; terbentuk karena seorang sastrawan ingin membagi ilmunya pada orang-orang yang mencoba berguru padanya, atau karena sekelompok orang bersepakat menajamkan kemampuan sastranya dalam satu wadah; sampai dengan yang paling rumit: sinergi sastrawan-satrawan yang merasa butuh wadah untuk menegaskan posisinya dalam peta sastra Indonesia, atau sinergi dari para sastrawan yang punya musuh bersama dengan kegiatan sastranya. Tapi, di luar niat awal semacam ini, posisi sastra Indonesia sendiri dalam peta sosial budaya sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alasan untuk memaklumi kehadiran komunitas sastra. Sebagai sebuah spesies baru, sastra Indonesia bukan cuma harus berjuang menemukan capaian-capaian estetikanya saja, tapi juga sekaligus harus berjuang merebut khalayak pembacanya.
Akhirnya dengan pemahaman yang matang akan eksisensi tersebut di atas dan beragamnya tradisi etnik di tempat kita berpijak ini. Maka perlulah dibentuk sebuah wadah aspiratif bagi insan sastra di kota Palu yakni: Komunitas Sastra dan Tradisi Lisan Indonesia yang nantinya akan menjadi pionir dan sambung akar ke penerus berikutnya agar kelestarian budaya dan keberlangsungan sastra secara keseluruhan dapat dipertahankan dengan berbagai ragam sastra ataupun tradisi lisannya.[]
Ketika dirunut ke belakang KSI terbentuk sebelas tahun yang lalu pasca presiden Soeharto lengser dari jabatannya sebagai kepala Negara karena pada masa kekuasaanya karya sastra kurang berkembang disebabkan tekanan militer yang selalu waspada terhadap kegiatan sastra seperti pembacaan puisi yang dicurigai akan merusak integrasi bangsa. Namun sejak tahun 1998 resmilah KSI sebagai rumah komunitas yang mempunyai akta notaris sekaligus sebagai yayasan legal di Indonesia. Sastrapun mempunyai peranan mulia dalam mengusung jati diri bangsa yang sekarang bisa kita lihat faktanya bahwa Indonesia mulai kehilangan ke‘aku-an’nya.
Komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sastra yang khas di Indonesia. Sebenarnya, jika kita menganggap bahwa komunitas sastra sebagai sarana produksi atau mengkonsumsi sastra secara kolektif, hal ini sudah terlihat umum di banyak Negara selain Indonesia pada zaman pertengahan Perancis, ataupun pada abad ke-19 di Jepang, membaca buku secara berkelompok adalah hal yang umum, sebab buku adalah benda yang masih sangat berharga dan langka di wilayah tersebut pada zaman tersebut. Namun keunikan di Indonesia adalah pada pola menikmati sastra secara kolektif yang tetap saja digemari hingga kini meskipun buku sudah dapat diperoleh di masyarakat tanpa dengan banyak kesulitan. Di Indonesia, komunitas sastra berupa sekelompok atan sejumlah orang yang bertujuan untuk melakukan sastra. Sebetulnya, kelompok sejenis ini telah eksis di nusantara setidaknya sejak zaman kolonial, supaya orang bisa mendapatkan akses untuk membaca dan membahas buku bersama-sama, ketika kebanyakan orang yang mengalami kesulitan mempunyai buku. Kelompok tersebut seringkali memiliki sebuah tempat untuk berkumpul, dimana para anggotanya bisa saling belajar dan berdiskusi untuk berkarya lebih baik. Istilah ‘komunitas’ untuk menggambarkan kelompok seperti ini mulai digunakan pada tahun akhir 1980an dan berbagai aktivitas komunitas mulai terlihat dalam masyarakat sejak awal tahun 1990an. Setelah orde baru runtuh, jumlah komunitas sastra mulai bertambah drastis lagi dengan jenis kegiatan yang lebih bervariatif. Pertumbuhan komunitas sastra ini sebagian didukung oleh perkembangan ekonomi dan perbaikan standar pendidikan warganegaranya selama satu dekade terakhir, serta sebagai akibat perkembangan sosial yang memungkinkan bertambahnya populasi yang mampu membeli buku atau sudah terbiasa menulis dan membaca. Menurut Ahmadun Yosi Herfanda (Ketua KSI Pusat Jakarta), ideologi kesusastraan adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang terkandung di dalam teks-teks yang disebut karya sastra – baik prosa (esai, cerpen atau novel) maupun puisi. Definisi tersebut merujuk pada penjelasan dari ideology Perancis, Desstutt de Tracy (1976), yang menciptakan istilah ‘ideologi’ guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifatnya, serta hukum-hukumnya. Dalam kacamata politik, ideologi adalah paham, teori atau tujuan terpadu yang merupakan satu program sosial-politik. Namun, dalam arti umum ideologi adalah ide-ide yang mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu, yang menampak pada pola aktivitas, ekspresi dan tujuan kekaryaannya.
Di sisi lain, Budi Darma berkata kalau ingin tahu komunitas sastra tanpa label ‘komunitas’, cobalah berkunjung ke makam Sutan Takdir Alisyabana di Tugu, Bogor. Makamnya di sana berdampingan dengan makam isterinya sendiri, tidak jauh dari sebuah lereng sungai. Makam ini terletak di pekarangan sebuah rumah besar milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Dalam sejarah sastra Indonesia, rumah ini mungkin tidak tercatat, namun sebetulnya rumah ini mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembagan sastra. Dulu, ketika STA masih muda, sekali-sekali dia mengundang sastrawan-sastrawan yang umurnya lebih muda daripada dia, antara lain Mochtar Lubis. Rumah itu dijadikan tempat ngobrol dan berdiskusi. Lalu pada angkatan ‘45 pada hakikatnya bukan komunitas. Tengok sedikit perihal kehidupan mereka. Ada sepasang tokoh sentral yakni, HB Jassin sebagai penemu bakat dan Khairil Anwar sebagai pembeharu. Dua orang ini dan teman-temannya sering berkumpul-kumpul, berdiskusi dan langsung ataupun tidak, diskusi mereka masuk ke dalam karya mereka. Tengoklah misalnya; surat Idrus kepada HB Jassin dan jawaban HB Jassin kepada Idrus.
Berbeda dengan Anis Sholeh Ba’asyin yang menganggap bahwa ada banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk membedah gejala komunitas sastra, mulai dari yang paling sederhana; terbentuk karena seorang sastrawan ingin membagi ilmunya pada orang-orang yang mencoba berguru padanya, atau karena sekelompok orang bersepakat menajamkan kemampuan sastranya dalam satu wadah; sampai dengan yang paling rumit: sinergi sastrawan-satrawan yang merasa butuh wadah untuk menegaskan posisinya dalam peta sastra Indonesia, atau sinergi dari para sastrawan yang punya musuh bersama dengan kegiatan sastranya. Tapi, di luar niat awal semacam ini, posisi sastra Indonesia sendiri dalam peta sosial budaya sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alasan untuk memaklumi kehadiran komunitas sastra. Sebagai sebuah spesies baru, sastra Indonesia bukan cuma harus berjuang menemukan capaian-capaian estetikanya saja, tapi juga sekaligus harus berjuang merebut khalayak pembacanya.
Akhirnya dengan pemahaman yang matang akan eksisensi tersebut di atas dan beragamnya tradisi etnik di tempat kita berpijak ini. Maka perlulah dibentuk sebuah wadah aspiratif bagi insan sastra di kota Palu yakni: Komunitas Sastra dan Tradisi Lisan Indonesia yang nantinya akan menjadi pionir dan sambung akar ke penerus berikutnya agar kelestarian budaya dan keberlangsungan sastra secara keseluruhan dapat dipertahankan dengan berbagai ragam sastra ataupun tradisi lisannya.[]
)* Anggota Wanita Penulis Indonesia (WPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar