PAPAKERMA BEGAWAN NAGARI
(Ketika Persaingan Tak Sehat Menzarah Pemikiran Kandidat Walikota Palu)
: Oleh K. Ariwa)*
(Ketika Persaingan Tak Sehat Menzarah Pemikiran Kandidat Walikota Palu)
: Oleh K. Ariwa)*
MENENGOK prakada di perbagai wilayah se-Indonesia memang menuai kontroversi yang negatif. Intrik dilakukan calon penguasa nagari dengan tidak sehat, antara lain ditandai dengan pembusukan kandidat untuk menjatuhkan kandidat saingannya, hingga kesan pesimistis menjadi tolok ukur keberhasilan pembusukan tersebut. Tak perlu ditampik bahwa pengaruh, status sosial, maupun kesejahteraan kandidat menjadi penting untuk diketahui oleh publik menyoal aral yang melintang kelak serta sebuah konsekuensi perubahan yang wajib diemban penguasa sekaligus kepuasan masyarakat akan pelayanan pemerintah ke depan.
Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah menyimpan polemik laten yang tidak saja membahayakan intern kandidatnya tetapi juga publik yang selama ini masih terombang-ambing dengan persoalan kekuatan financial yang dimiliki kandidat. Di tengah papakerma tersebut, hadirnya begawan yang mampu menampung segenap aspirasi positif publik menjadi urgen dalam rangka memanusiakan manusia seutuhnya khusunya publik Palu yang secara umum masih jauh dari makna kemajuan dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Sulawesi.
Betapa tidak, bisa dilihat dari infrastruktur pembangunan sarana dan prasarana dan kualitas sumber daya manusia yang jauh kalah dibandingkan dengan person publik di tempat lagi. Apalagi bila kita mengukur Jawa? Palu adalah iklim berkehidupan yang akan (mulai) membangun tatanannya agar bisa setaraf dengan wilayah lain minimal se-Sulawesi. Untuk itu, disadari (tidak) perlu perubahan secara substansi dan diejawantahkan sebagai agent of change untuk sebuah nagari (daerah) yang lebih purna.
Hingga apa yang didambakan oleh publik dapat direngkuh minimal semua hak-hak dasar kemanusiaan hakiki dapat diakomodir oleh pemimpin ke depan. Di masa sekarang, yang katanya semakin maju justru hak-hak manusia semakin terabaikan hal ini ditandai dengan beberapa hal antara lain di bidang: kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sumber energi serta kebutuhan air bersih. Eko Prasetyo, seorang penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah memaparkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh orang kecil tidak digubris oleh kalangan atas dalam hal ini pemerintah yang notabenenya melindungi dan memberikan pelayanan bagi kalangan menengah ke bawah, ternyata? Bantuan yang katanya 20% dari anggaran pemerintah sampai ke tangan rakyat kecil dengan sejumlah potongan yang disebut pajak-pajak. Hal ini juga membawa keterpurukan negara kita khususnya kader bangs hingga ancaman putus sekolah masih disinyalir kerap terjadi di masyarakat yang berekonomi lemah.
Selain itu orang miskin juga dilarang sakit! Sebab biaya pengobatan dan segala tetek-bengek persoalan administrasi masyarakat miskin justru di buat rumit oleh pemerintah sendiri. Malah pernah terjadi, ketika pasien tengah gawat darurat (koma) sedang persoalan administrasi belum tertuntaskan oleh pihak keluarga maka alhasil pasien tidak bisa mendapat pertolongan cepat hingga ajal menjemputnya. Sungguh disayangkan memang sebab proses administrasi oleh pemerintah Palu yang sekarang sangat berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Jangankan hal tersebut, mengurus KTP/ KK saja memerlukan alokasi waktu minimal satu minggu. Ditambah lagi para pelayan-pelayannya yang tidak profesional dan (maaf) kasar apalagi ketika tahu yang mengurusnya adalah orang kecil. Hal ini perlu diperbaiki segera karena memanfaatkan jasa para honorer atau PNS baru yang masuknya dengan kolusi dan nepotisme justru mendatangkan mudarat bagi masyarakat Palu sendiri. Pada akhir Desember 2008 lalu, hal ironis serupa terjadi di Jawa Tengah. Ketika anggota DPRD propinsi tersebut menaikkan tarif biaya rumah sakit bagi kelas ekonomi menengah ke bawah sebesar 300% sementara VIP atau kelas utama (atas) tidak mengalami kenaikan sama sekali. Sungguh nanar kejadian tersebut, semoga tidak terjadi di Kota Teluk Palu.
Menyoal sumber energi listrik dan air bersih yang setiap waktu mendapat sumpah serapah dari masyarakat biasa katakanlah menengah dan menengah ke bawah. Hal ini perlu cepat dialihtangankan atau dipindahtangankan atau dibantu oleh pemerintah agar sekelumit problematika byar-pet dapat tertuntaskan dengan cepat. Di samping itu, kebutuhan masyarakat akan air bersih juga menjadi catatan penting bagi calon kandidat ke depan. Sebab, biarpun PDAM tetaplah tidak bisa mendatangkan makna ‘bersih’ itu sendiri. Sebab, kala hujan mengguyur kota Palu sebagian penduduk yang tinggal di kawasan Palu Barat akan mendapati air yang kecoklatan bahkan hitam bercampur lumpur. Hal yang demikian perlu digarisbawahi dan menjadi catatan penting karena Palu (masih) akan berkembang, belum menuju (mau) maju. Sehingga yang paling penting adalah sekelumit persoalan hak-hak dasar kemanusiaan.
Ketika Wanita Menjadi Kandidat
Minor negatif selalu tertuai bila hal ini mencuat dipermukaan karena kontroversi akan hadir baik dari segi agama maupun kemampuan sendiri bagi seorang wanita. Padahal sejumlah negara pernah dipimpin oleh perempuan termasuk Indonesia.
Di Palu (Sulawesi Tengah) sejarah pemimpin wanita juga pernah terjadi pada masa kolonial Belanda ialah Itondoei yang sekarang daerahnya termaktub di Kabupaten Sigi atau cerita Raja Lingginayo juga seorang perempuan. Bahkan seorang Panglima Burung bagi suku Dayak adalah wanita.
Lewat kacamata agama khususnya Islam, diwajibkan pemimpin itu adalah golongan ulama dan umara yang berjenis kelamin laki-laki. Namun pada nadirnya ketika kaum adam belum bisa membawa perubahan yang substansi dalam beranah di kemimpinan daerah maka wanita dengan segenap pengalamannya disertai rasa, empati dan belas bisa hadir dalam memberi warna baru demi kemaslahatan seluruh umat. Apalagi di tengah pluralisme dalam dinamika kehidupan publik di era sekarang, sah-sah saja ketika wanita ikut andil dalam pembaruan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Harus ada yang berubah untuk lebih! Semoga![]
)* Pemerhati Masyarakat Kota Palu
Palu sebagai ibukota provinsi Sulawesi Tengah menyimpan polemik laten yang tidak saja membahayakan intern kandidatnya tetapi juga publik yang selama ini masih terombang-ambing dengan persoalan kekuatan financial yang dimiliki kandidat. Di tengah papakerma tersebut, hadirnya begawan yang mampu menampung segenap aspirasi positif publik menjadi urgen dalam rangka memanusiakan manusia seutuhnya khusunya publik Palu yang secara umum masih jauh dari makna kemajuan dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Sulawesi.
Betapa tidak, bisa dilihat dari infrastruktur pembangunan sarana dan prasarana dan kualitas sumber daya manusia yang jauh kalah dibandingkan dengan person publik di tempat lagi. Apalagi bila kita mengukur Jawa? Palu adalah iklim berkehidupan yang akan (mulai) membangun tatanannya agar bisa setaraf dengan wilayah lain minimal se-Sulawesi. Untuk itu, disadari (tidak) perlu perubahan secara substansi dan diejawantahkan sebagai agent of change untuk sebuah nagari (daerah) yang lebih purna.
Hingga apa yang didambakan oleh publik dapat direngkuh minimal semua hak-hak dasar kemanusiaan hakiki dapat diakomodir oleh pemimpin ke depan. Di masa sekarang, yang katanya semakin maju justru hak-hak manusia semakin terabaikan hal ini ditandai dengan beberapa hal antara lain di bidang: kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sumber energi serta kebutuhan air bersih. Eko Prasetyo, seorang penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah memaparkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh orang kecil tidak digubris oleh kalangan atas dalam hal ini pemerintah yang notabenenya melindungi dan memberikan pelayanan bagi kalangan menengah ke bawah, ternyata? Bantuan yang katanya 20% dari anggaran pemerintah sampai ke tangan rakyat kecil dengan sejumlah potongan yang disebut pajak-pajak. Hal ini juga membawa keterpurukan negara kita khususnya kader bangs hingga ancaman putus sekolah masih disinyalir kerap terjadi di masyarakat yang berekonomi lemah.
Selain itu orang miskin juga dilarang sakit! Sebab biaya pengobatan dan segala tetek-bengek persoalan administrasi masyarakat miskin justru di buat rumit oleh pemerintah sendiri. Malah pernah terjadi, ketika pasien tengah gawat darurat (koma) sedang persoalan administrasi belum tertuntaskan oleh pihak keluarga maka alhasil pasien tidak bisa mendapat pertolongan cepat hingga ajal menjemputnya. Sungguh disayangkan memang sebab proses administrasi oleh pemerintah Palu yang sekarang sangat berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Jangankan hal tersebut, mengurus KTP/ KK saja memerlukan alokasi waktu minimal satu minggu. Ditambah lagi para pelayan-pelayannya yang tidak profesional dan (maaf) kasar apalagi ketika tahu yang mengurusnya adalah orang kecil. Hal ini perlu diperbaiki segera karena memanfaatkan jasa para honorer atau PNS baru yang masuknya dengan kolusi dan nepotisme justru mendatangkan mudarat bagi masyarakat Palu sendiri. Pada akhir Desember 2008 lalu, hal ironis serupa terjadi di Jawa Tengah. Ketika anggota DPRD propinsi tersebut menaikkan tarif biaya rumah sakit bagi kelas ekonomi menengah ke bawah sebesar 300% sementara VIP atau kelas utama (atas) tidak mengalami kenaikan sama sekali. Sungguh nanar kejadian tersebut, semoga tidak terjadi di Kota Teluk Palu.
Menyoal sumber energi listrik dan air bersih yang setiap waktu mendapat sumpah serapah dari masyarakat biasa katakanlah menengah dan menengah ke bawah. Hal ini perlu cepat dialihtangankan atau dipindahtangankan atau dibantu oleh pemerintah agar sekelumit problematika byar-pet dapat tertuntaskan dengan cepat. Di samping itu, kebutuhan masyarakat akan air bersih juga menjadi catatan penting bagi calon kandidat ke depan. Sebab, biarpun PDAM tetaplah tidak bisa mendatangkan makna ‘bersih’ itu sendiri. Sebab, kala hujan mengguyur kota Palu sebagian penduduk yang tinggal di kawasan Palu Barat akan mendapati air yang kecoklatan bahkan hitam bercampur lumpur. Hal yang demikian perlu digarisbawahi dan menjadi catatan penting karena Palu (masih) akan berkembang, belum menuju (mau) maju. Sehingga yang paling penting adalah sekelumit persoalan hak-hak dasar kemanusiaan.
Ketika Wanita Menjadi Kandidat
Minor negatif selalu tertuai bila hal ini mencuat dipermukaan karena kontroversi akan hadir baik dari segi agama maupun kemampuan sendiri bagi seorang wanita. Padahal sejumlah negara pernah dipimpin oleh perempuan termasuk Indonesia.
Di Palu (Sulawesi Tengah) sejarah pemimpin wanita juga pernah terjadi pada masa kolonial Belanda ialah Itondoei yang sekarang daerahnya termaktub di Kabupaten Sigi atau cerita Raja Lingginayo juga seorang perempuan. Bahkan seorang Panglima Burung bagi suku Dayak adalah wanita.
Lewat kacamata agama khususnya Islam, diwajibkan pemimpin itu adalah golongan ulama dan umara yang berjenis kelamin laki-laki. Namun pada nadirnya ketika kaum adam belum bisa membawa perubahan yang substansi dalam beranah di kemimpinan daerah maka wanita dengan segenap pengalamannya disertai rasa, empati dan belas bisa hadir dalam memberi warna baru demi kemaslahatan seluruh umat. Apalagi di tengah pluralisme dalam dinamika kehidupan publik di era sekarang, sah-sah saja ketika wanita ikut andil dalam pembaruan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat khususnya mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Harus ada yang berubah untuk lebih! Semoga![]
)* Pemerhati Masyarakat Kota Palu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar