Senin, 20 Juli 2009

LAUNCHING BUKU


LAUNCHING WAJAH DEPORTAN
: Antologi Penulis Muda Lintas Propinsi 2009


PADA awalnya Antologi Wajah Deportan (WD) ini ditujukan untuk menjalin silaturrahmi penulis puisi pada lingkup yang lebih luas. Tetapi karena satu dan lain hal, akhirnya diputuskan untuk membukukan karya penulis muda yang berada di tanah air. Hadirnya antologi ini dalam klasifikasi penulis muda (penulis yang berusia di bawah 40 tahun) dikarenakan adanya persinggungan dalam takaran penulis senior dan junior, hal ini sangatlah beralasan sebab kecenderungan eksistensi penulis muda yang berbakat khususnya penulis-penulis muda di daerah dipandang sebelah mata. Ketika pertama kali diwacanakan mengenai pembukuan puisi-puisi ini kepada rekan-rekan seluruh tanah air, respon positif diterima oleh tim kerja dalam antologi ini.
Tak kurang dalam hitungan bulan, karya rekan-rekan penulis muda terkumpul di markas besar Komunitas Teras Puitika. Pengiriman tersebut diterima melalui e-mail, surat, dan ada juga yang langsung mendatangi markas tersebut. Uniknya puisi yang dikirimkan tersebut memuat kultur geografis, khazanah budaya, dan eksotika daerah yang sangat kental namun tetap nyaman untuk dibaca. Selain itu, unsur perlawanan juga mewarnai di antologi ini. Setiap penulis di antologi ini memekikkan kegelisahan dan pengenangan terhadap apa yang dialaminya pada situasi negara sekarang ini.
Antologi ini memuat 44 penulis muda Indonesia dengan kecakapan pengetahuan yang beragam sesuai dengan kondisi wilayah mereka masing-masing. Inilah yang menjadi kebhinekaan yang dimiliki Indonesia. Daya pikir yang mereka refleksikan ke dalam puisi tidak semata-mata torehan tinta di atas kertas. Melainkan sebuah upaya untuk menggugah para pembacanya untuk bersama-sama merenungi apa saja titik-titik komplekstitas hidup dan kulminasi moral yang diramu menjadi satu dalam rangka memanusiakan manusia untuk makna yang sesungguhnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa karya-karya puisi yang menjadi mahakarya dan sangggup merubah tatanan sosial ditulis oleh golongan muda, bisa kita lihat angkatan-angkatan penulis puisi sejak boomingnya karya Chairil Anwar. Sayangnya, dominasi golongan senior menyebabkan arus warna yang mempengaruhi karya penulis-penulis baru tersebut. Sehingga mereka tidak mempunyai ciri khas dalam pencitraan puisi-puisinya. Selalu saja ada bayang-bayang karya pendahulunya. Hampir seluruh puisi yang tergabung di WD adalah puisi-puisi yang lahir pada tahun 2000an, semoga kelak ada dobrakan baru untuk membawa perpuisian Indonesia khususnya puisi yang ditulis penulis muda ke arah perubahan dalam rangka pencarian jati dirinya.
Pada Acara Temu Sastrawan Indonesia di Bangka Belitung (30 Juli-2 Agustus) tepatnya di Pangkalpinang WD akan diluncurkan mengingat pada moment tersebut merupakan ajang dan tempat berkumpulnya sebagian besar dari sastrawan tanah air tak terkecuali. Mudah-mudahan dengan launchingnya WD dapat menggugah semangat menulis dan baca semua kalangan yang ada di nusantara.

Jumat, 03 Juli 2009

Artikel Ringan

MENYOAL KRISIS BUDAYA DAN SASTRA BERSAMA PUTU WIJAYA
: Hudan Nur)*



DALAM rangka peningkatan kualitas pemahaman secara konteks terhadap sastra secara universal kepada guru-guru sekolah menengah, Balai Bahasa Sulawesi Tengah mendatangkan I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang kita ketahui ia adalah seorang yang menguasai berbagai bidang antara lain: teater, penyutradaraan, film, sastra, sekaligus penulis novel dan naskah drama. Sulawesi Tengah, memang masih kurang bergolak dibidang sastra (teater, prosa, dan puisi) dibandingkan beberapa daerah di pulau ini. Untuk itu perlu penumbuhkembangan terhadap minat untuk kader muda (khususnya para pelajar sekolah) yang disampaikan dan diajarkan oleh guru di sekolah. Hal ini sangat beralasan karena banyak di luar sana, guru bahasa Indonesia tidak mengerti terhadap sastra sedangkan sastra adalah kesatuan dari bahasa yang relevansi sangat mempengaruhi terhadap sikap, pola dan budaya anak didiknya di sekolah. Belum lagi merebaknya beragam teknologi dan degradasi kultur yang sama sekali tidak ada filteralisasi (langsung di adopsi) karena labilitas dan tidak pernah tahu akan pemahaman budaya menyimpang dan hal ini tidak pernah terlintas bahwa awal penurunan kebudayaan itu berawal dari kurangnya perhatian dari lembaga pendidikan sebagai wadah formal bagi pelajar (setidaknya tempat mengenal dunia dan pergaulan lebih luas).
Kebudayaan dan sastra adalah hal yang sangat kompleks sehingga cukup sulit untuk bisa diejawantahkan dalam kehidupan. Padahal ini adalah fondasi untuk menjadikan manusia seutuhnya. Ada tiga hal yang bisa menjadikan manusia sebagai insan mulia yakni: agama, etika dan sastra. Apabila ketiga hal ini sudah dimiliki seorang manusia, maka mulialah ia dimata manusia yang lain maupun pencipta kita. Tetapi bila kita tengok ke kenyataan yang ada, justru berkebalikan. Budaya dan sastra menjadi ikon yang dipandang sebelah mata, apalagi bagi kalangan elite, pejabat dan instansi pemerintahan. Mari kita tengok juga, beberapa nsane di Eropa sana, atau Jepang dimana memandang seni sastra adalah kebudayaan yang wajib untuk diperhatikan dan lihat juga betapa negara-negara tersebut menghasilkan sumber daya manusia brilian yang sangat memperhatikan keberlangsungan sumber daya alam. Bertentangan dengan kita, begitu banyak orang yang cerdas tapi sayang tidak punya empati terhadap lingkungan.
Kemerosotan dunia sastra juga bisa kita rasakan sekarang, para kritikus sastra sudah jarang kita temukan bahkan karya yang juga dihasilkan sudah mengalami pengunduran bila dibandingkan pada era terdahulu. Mari bersama kita telaah ulang karya-karya A.A Navis, HAMKA, Umar Khayam, Pramoedya Ananta Toer, dan sebagainya yang mempunyai nilai eksotisitas yang mencerminkan budaya kita. Kita bandingkan dengan beberapa karya sastra yang ‘disastrakan’ di era ini seperti Ayat-Ayat Cinta yang dipoles sedemikian rupa agar kelihatan komplek dan eksotis, hal ini sangat bertolak belakang dengan cerita Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli karena eksotisitasnya natural tidak dipaksakan dan alur ceritanya runtut, klimaks tidak dibuat-buat, berjalan secara alami. Atau tetralogi Laskar Pelangi yang kalau kita kupas sangat bertentangan dengan logika. Padahal karya sastra (non-scince fiction) harus logis. Ditambah lagi karya-karya ‘pop’ yang pada akhirnya merusak pola pikir remaja lewat cerita yang digambarkannya.
Di sisi lain, ketika hal ini akan disikapi oleh simpatisan budaya dan sastra malah beberapa instansi terkait bersikap apatis. Barangkali, karena hal ini tidak membawa hasil positif bagi kantong pribadinya. Sangat disayangkan instansi kebudayaan dan pendidikan tidak mau melibatkan personnya ke masalah ini. Padahal notabenenya adalah instansi pelindung dan bertanggungjawab yang menaungi segenap apapun yang mengansung unsur budaya (sastra). Di dalam tubuh budaya terkandung nilai sastra untuk memanusiakan manusia. Di dalam sastra ada tanggungjawab moral untuk melindungi manusia dari kebobrokan, ada filteralisasi yang tidak sengaja menjadi tameng manusia dalam berkehidupan.
Ujung dari eksistensi budaya dan sastra adalah kepenulisan. Barangkali ini jualah yang menjadikan Putu Wijaya sebagai maestro seni karena selain aktor kawakan, terlibat langsung di lapangan, dia juga berhasil menuangkan apa yang ada di pikirannya ke dalam tulisan. Menyoal mengenai kepenulisan, penulis yang berhasil pasti insan pengaruh, baik kepada individu tertentu maupun massa, eksplisit maupun insan. Penulis bahkan bisa melampaui zamannya, artinya pengaruh mereka melebihi ruang dan waktu setempat. Tulisan, ide, pemikiran, bisa menelusup dan mempengaruhi orang secara diam-diam, sampai akhirnya pemikiran itu mengendap dan menguat, menjadi sikap. Dengan pemikirannya, penulis menawarkan kesadaran tertentu, bahkan lewat sikap dan perbuatannya, penulis menawarkan nilai kepada banyak orang, terutama sekali pembaca dan peminat seni dan sastra. Entah pemikiran, sikap, cara pandang, dan perbuatan tersebut diterima atau ditolak masyarakat, itulah yang akan menjadi warisan budaya generasi berikutnya. Di sinilah pentingnya mencatat dan mendokumentasi agar penelitian dan kesinambungan generasi berikutnya cukup mudah ditelusuri. Salah satu kelemahan umum dari gerakan seni yang terjadi di Indonesia buruknya dokumentasi, yang pada gilirannya akan menyulitkan generasi selanjutnya kesulitan menelaah signifikansi gerakan tersebut bila gerakan tersebut sudah mati atau inaktif. Inilah yang sudah dilakukan oleh Putu wijaya disepanjang kariernya dalam dunia seni.
Kehadiran Putu Wijaya di Palu pada 24-27 Juni 2009 ini dijadikan bom sastra untuk bisa menyastrakan bumi teluk ini secara perlahan. Selain itu, ada agenda yang sudah direncanakan pada malam-malam maestro ini di palu. Ada diskusi panel dan tawuran seni yang di gelar di sejumlah tempat, antara lain: Café Nyoman Kampung Nelayan , Taman Budaya, dan Taman Ria. Diharapkan, setelah terjadi sharing, silang dan tukar informasi dengan maestro ini, ada bola-bola api yang akan dikembangkan dan dilakukan oleh insan seni ataupun kaderisasi untuk harmonisasi seni sastra dan budaya dengan eksistensi lokalitas setempat. Selain itu, harapan rekomendasi konkret untuk pembentukan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) cabang Sulawesi Tengah, bahkan pengalihtempatan kegiatan Sastra Kepulauan tahun 2010 dan beberapa rekomendasi tak terduga lainnya. Semoga![]


)* diterbitkan di Media Alkhairat
TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI