Sunlie Thomas Alexander
TUBUH KAMPUNG
: olaf
1/
mereka, yang tak kasat mata
mengibarkan panji panji pelarian
di kepala kanak kanakku
ke rawa rawa, kami susun hikayat kampung
yang hangus oleh meriam lanun
hingga tubuh kami kejang
oleh mantra, oleh nujum
sebagai pewaris kubur keramat,
sumur harta karun, kampung tenung
riwayat kami lahir
dari gunjing lepau dan kebun,
tanah tandus yang dikencingi wedana dan padri
di tepi teluk, di tepi teluk
kami merawat mimpi bagai porselin cina.
bagai syair syair di kitab tua
ah, lihatlah tubuh kami menjadi lembab
bukan oleh birahi, bukan oleh gairah muda
tapi semata mata amanat
dan kilau dosa leluhur kami,
mambang yang berdiam di batu batu,
di gunung, sungai, dan belahan pohon
di tepi teluk, di tepi teluk
kami berjumpalitan bagai tongkol
ke sampanmu
di tepi teluk, di tepi teluk
kami dirikan rumah rumah panggung
dan gazebo, surau dan tapekong,
kapel dengan lonceng tembaga dan
tulip tiruan berwarna terong
sambil menyantap bakar kerang, udang satang:
ai, carilah silsilah kami
di reruntuhan benteng para siluman,
wahai tuan pelancong yang budiman!
2/
demikian, selalu aku kembali bertamasya
ke muasal mimpi, muasal luka
yang konon tumbuh dewasa
dalam serapah-gurau pasar yang anyir
mari tuan, kita susuri
ini kota remang yang bangunkan kami saban pagi
dengan cuaca nyinyir,
gelak ruko ruko bernama ganjil
sebelum angin buruk mengusikmu,
sebelum angin buruk memadamkan lampu lampu
ah, kenangan yang berpusing serupa gasing
merabuk tubuh kami, kanak kanak
yang bau air payau dan kapur barus
: dan andai kau temukan dunia tercipta begitu saja
dari teriak tukang sayur dan pengiklan film...
3/
di ladang, kami belajar membaca peta
sampai musim panen melimpah ruah
memenuhi kapal kapal berlambung lapar
ke bioskop tua, kami berburu masa depan
membayangkan musim salju dan taman taman
di negeri yang jauh di angan
di pasar malam, kami belajar tenung
melempar bola nasib yang kerdil
bagai kerlip bintang di malam dingin
hingga menjelma kami
jadi anak rantau
yang sesekali pulang, entah datang
pada mata waktu, kampung yang membatu,
menyerukan ibu...
atau mimpi kami bakal tetap tersesat di kebun
mencangkok pisang
hingga berbuah angan bertandan tandan
: bumi hanya sepetak halaman!
tapi dunia sejak awal bermula di sini:
di sungai sungai penuh ikan,
di tambang tambang legam bijih timah
di ladang ladang merdu kicauan burung
bawalah tuan,
sekadar tanda mata
dari hati kami yang rawan;
serpihan batu mambang,
akar pohon hutan bunian
sebelum kapal kapal kembali
mengangkat sauh,
mengangkut mimpi kami
ke negeri asing, ke negeri asing...
: di teluk yang biru, langit begitu kelabu!
4/
karena itu, lupakanlah tuan
jampi jampi gaib gunung pelawan,
hikayat kampung samar samar
atau borok borok lubang di sekujur tubuh
ini pulau angan angan!
ceritakan saja pada mereka, sebuah negeri
yang terbentang dalam mimpi kanak kanak kami
seperti asap dari hutan yang terbakar:
barangkali tak ada dalam peta
barangkali tak kasat mata
barangkali di sana, kanak kanak
tak pernah tumbuh dewasa
sebagaimana di bagan tak ada lagi udang,
di ladang tak ada lagi rumpun sahang,
di sumur batu, riwayat kami amat gamang
di saing, wahai tuan!
selain biduan, selain biduan dan keluh ibu
yang tertahan
mimpi kami pun perlahan karam
seusai pesta pernikahan...
: di rawa, di rawa!
Saing-Belinyu, Agustus 2007
5 komentar:
dalam matamu
kumimpikan anak-anak berlarian
mencari ketawa
suara mereka
bersambungan di tali layangan
antara doa dan lidah angin
"selamat dini hari, Hudan..."
sudah selesai bos
aku suka puisimu (isurisme)
Jemput ke blog saya ya. Terima kasih.
Posting Komentar