Jumat, 11 Maret 2011

SEJUMLAH KONTROVERSI HADIAH SENI (SASTRA)


: Hudan Nur)*

“Budi Palopo dapat hadiah seni dari gubernur. Tahun depan aku njagoin Lan Fang. Tahun depannya lagi Tjahjono Widianto terus A. Muttaqin, S. Yoga ==> lha kok klik DKJT semua ya? Politiknya kayak TUK ya… atau sama juga DKL. Wah politicking jadi virus juga di seni. Bencana nih!” (sms seorang teman)

NAMPAKNYA keberlangsungan sejarah sastra memang harus bertengkar dan berludah-ludah. Tidak hanya menyuarakan ketertindasan sosial tetapi juga bertengkar dengan koleganya. Sehingga penyasastra yang idealnya soliter cenderung berklik. Seperti Pramoedya Ananta Toer yang layak mendapatkan Ramon Magsasay bahkan Nobel dijegal karena dendam lama Taufik Ismail kala Pram berkuasa. Pun halnya Pablo Neruda di tahun 1964 saat ia menjadi petinggi Chile, ia tidak mendapat Nobel. Saat itu, Sartre sendiri mengakui Neruda-lah yang layak mendapatkan Nobel tetapi karena ada campur tangan CIA, Nobel diberikan kepada Sartre dan ia menolaknya.

Sejarah sastra memang identik dengan pertengkaran dalam arti sempit. Gabriel Garcia Marquez pernah ditonjok Mario Vargas Llosa, begitupun Chairil Anwar juga pernah ditonjok HB. Jassin. Kini pertengkaran diwarisi dengan sistem perkubuan atau istilah berklik. Sebut saja, klik Salihara atau klik TUK atau klik KSI dan lain-lain. Bahkan penghadiahan bidang seni, budaya, atau sastra berdasarkan sistem kolega dan berklik.

Ironisnya karya tidak lagi dinilai dari segi kualitas tetapi faktor-faktor lain yang bersifat kepentingan tertentu dan acapkali berhubungan dengan kekerabatan. Tentu hal ini tidak fear! Ada banyak sesi penghadiahan yang diberikan oleh petinggi daerah, SKPD tertentu yang menjadi kontroversi karena dinilai tertutup dalam menentukan si penerima anugrah atau hadiah. Sebut saja Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan dengan Anugrah Budayanya yang dinilai bagi sebagian kalangan hal ini ganjil. Idealnya sebuah hadiah diberikan dengan kriteria tertentu dan sistem penjurian oleh pihak yang kompeten. Sejauh ini, pihak panitia tidak pernah mengekspose dan terkesan tertutup. Selanjutnya baca disini

Kamis, 03 Maret 2011

ANTOLOGI HASIL TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG, KEPRI

Kota Tanjungpinang merupakan salah satu pusat penting Kerajaan Melayu. Ia pernah menjadi menjadi gerbang Kerajaan Bintan sejak tahun 1673 Kerajaan Johor muncul gemilang di Hulu Sungai Carang – atau dikenal sebagai Sungai Riau. Pada masa itu dunia kalam, tulis-menulis berbagai ilmu pegetahuan, khususnya agama Islam dan sastra tumbuh subur. Maka dikenallaah nama pengarang Raja Ahmad dan Engku Putri Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Kepengarangan terus berlanjut sampai kepada Raja Ali Haji (anak Raja Ahmad dan merupakan cucu Raja Haji), Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dan sampai kepada Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu, muncul Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin dan lain-lain sampai Suryatati A. Manan.

Rabu, 02 Maret 2011

BAB KETIGA NOVEL ENIGMA



Sesudah Pembakaran

Rumah demi rumah, sepasang Sussex Inlet Road

di selamatkan oleh pasukan,

oleh sebab keahlian, keberanian, keterampilan

tapi pada saat api mencapai pinggiran kota kecil itu,

berkelarian liar besar, terlalu banyak hidangannya,

dan pilihannya – ada yang dihancurkan,

dan pipa rumah berbelit-belit,

seperti gula gula terbakar.

(Ian Campbell)

1

Asap-asap berhamburan di sekeliling.

Pukul 06.20

“Hidup terus saja menderu , mengikuti aliran zaman yang tak tahu dimana ujungnya, hari ini aku mau istirahat tanpa gangguan dari seluruh kepenatan pekerjaan di kantor!” Namun ….

“Ayah…!!! Ayah…!!! Aku menemukan sesuatu!” Khudhan yang mendengar teriakan anaknya langsung keluar kamar dan mencari sumber suara itu. Ia tahu kalau Adetra tidak akan begitu histeris jika ….

“Ayah, coba lihat benda itu! Apa itu ayah? Aku tak pernah melihat sebelumnya. Benda itu kulihat ketika aku selesai merapikan meja makan !” Adetra menunjuk ke sebuah benda yang sangat aneh yang letaknya hanya 100 meter dari ruang dapur tempat mereka tinggal. Benda itu berbentuk oval dengan warna silver, ia seperti igmobilef yang mempunyai bentuk setengah lingkaran, namun benda itu lebih mirip seperti cakram.

“Adetra, ayah mau keluar memeriksa benda itu!” Tegas Khudhan sambil mengenakan jaket hitam dan celana abu-abu yang dibuat dari bahan alumunium.

“Baik ayah, tapi sebentar lagi aku mau latihan teater buat kolaborasi persahabatan di Yupiter minggu depan. Dan igmobilef ayah aku pinjam ya…?” Pinta Adetra, tapi Khudhan tidak lagi mendengar ucapan anaknya, seluruh indranya kini tertuju ke benda aneh tersebut. Dan dulu, sebelum Khudhan dikirim ke Enigma, ia adalah seorang seniman dibidang teater. Bakatnya itu, ternyata diwarisi oleh putranya. Meski generasi terus berganti, aura seni yang penuh abstraksi selalu mengalir mengikuti zaman. Seni akan tetap tumbuh pada jiwa yang mengerti betapa berharganya arti sebuah kehidupan. Seni tidak akan pernah mati. Ia selalu abadi dalam fitrahnya.

“Hati-hati ayah!” Pesan Adetra ketika Khudhan membuka pintu belakang dan iapun hanya membalas dengan acungan jempol.

Dengan perasaan was-was Khudhan mendekati benda aneh itu namun, sebelum ia sampai di tempat tujuan, ia dikejutkan oleh dua lelaki yang keluar dari samping kanan benda tersebut. Keduanya memakai seragam ketat berwarna perak, baik baju, celana maupun sepatu. Yang satu berbadan gemuk dan satunya lagi agak kurus. Namun tinggi keduanya tetap setara. Tinggi mereka kira-kira 1,6 meter. Tapi Khudhan tidak pernah bertemu dengan orang-orang seperti ini sebelumnya, mungkin mereka berasal dari planet lain.

“Siapa kalian?” Khudhan mencoba memecahkan keheningan.

Lalu yang berbadan gemuk menjawab, ”Maaf, jika kedatangan kami mengejutkan anda. Tapi kami di sini tidak bermaksud jahat, kami hanya tersesat!” Selanjutnya baca disini


SECERCAH CERITA

SRI,SASINGGAM...

Oleh: Hudan Nur

PAHIN pahinakan kada kawa baungkara. Manjanaki madah pahumaan wadah kita maniti rasa. Sasinggam tatak pambanihan masih haja takaluar mun maitihi kalakuan inya. Liwar. Kada kawa tehapus dalam buluh paingatan ulun nang saban hari mamintal ija dami ijaan puisi bariannya. Mun malam bahinggap di lindau urat, kacilangan buhul kiyauan mata kada lagi taturuti. Ulun baca pulang puisi-puisi pian nang meanduh. Hibak buhauan. Sri Nur Nengsih.

Selanjutnya baca disini

MORA'ATANA MORA'ABINANGGA


: Hudan Nur

Sulawesi Tengah khususnya Palu memiliki ragam tersendiri untuk menjaga keseimbangan alam seiring perjalanan bumi yang semakin menua. Diakui atau tidak, Palu (masih) beranjak remaja ke arah Megapolitan. Terlepas dari adat dan keseharian orang kaili, Kota Teluk Palu memiliki eksotitas yang khas dibandingkan daerah lain di Indonesia (umumnya) sebab Palu terlahir dari alam yang membentangkan pantai, lembah, dan gunung. Kecantikan Palu yang adanya mau (tidak mau) lambat laun tercemar oleh peradaban manusia yang semakin berkembang, kini Palu mulai mengenal lipstik dan beberapa jenis kosmetik luar. Kota ini terhunus kemajuan, ditambah lagi manusia yang makin egois dalam memanfaatkan alam. Selanjutnya baca disini

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI