Sabtu, 18 Oktober 2008

Tak Pernah Tuntas

“MALALAR”: DARI ENSIKLOPEDI, LABIRIN KAMPUS UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT SAMPAI ARUH SASTRA KALIMANTAN SELATAN

Prolog

Tulisan ini ditulis oleh seorang icebreaker dan belum banyak pengalaman. Maaf bila ada kecaman kurang etis, maklum masih muda…

Musabbab Representative

Ada analogi yang akan saya explore mengenai ‘kasus’ representatifnya sebuah hal. Beberapa minggu ini tengah terjadi pengadilan terhadap satu karya yang dinilai tidak layak oleh element yang bernotaben di dunia sastra. Sah-sah saja. Sekarang yang menjadi persoalan ketika pengadilan digeber adalah ‘dalih terdakwa’ mengapa dalam buku ensiklopedi tersebut hanya mencantumkan beberapa sastrawan saja? Barangkali ada alasan tertentu. Sebab sebuah pengadilan akan dikatakan legal ketika menghadirkan terdakwa, pengacara, jaksa dan hakim! Bukan begitu?

Betapapun, sebagai insan sastra yang mengusung keberagaman sebagai tolok ukur apresiasi terhadap karya yang pernah hadir dalam memenuhi cakrawala pikir, analitis dan berdaya nalar kritis maka buku tersebut perlu dikaji ulang atau istilah populer yang sering saya dengar dalam persidangan; PK alias penianjauan kembali sehingga edisi revisi bisa berterima.

Lanjut, mengenai representatifnya sebuah karya dan komunitas baik yang berskala lokal, nasional ataupun internasional masih bersifat nonsense. Mengapa demikian? Semua komunitas yang ada dimana pun berada kerap menanggalkan keberagaman dan memakai ‘jaket kesepemahaman’ saja. (mungkin) Bekerjasama dengan insan yang tidak cooperative malah menimbulkan konflik internal organisasi saja. Kalau tidak bisa dibina maka dibinasakan atau kalau tidak beres, kudu dibereskan saja! Demikianlah, aliran yang difusi oleh komunitas atau instansi seni seantero negeri. Apa buktinya? Lihat pergerakan insan sastra yang berdiri dua blok di pulau seberang atau lahirnya insan komunitas-komunitas yang mengaku berdedikasi tinggi. Mengaku menaungi element bidang tertentu, tapi nyatanya omong kosong belaka. Atau kita lihat juga karya-karya antotologi yang bersliweran tak jelas niatnya. Ada banyak antologi yang ditemui berkaliber se-Indonesia tapi isinya? (Haha)

Nilai apresiasi karya sastra dan maknanya sudah bergeser! Loyalitas diri sebagai insan yang beretika sastra berubah menjadi popularitas-dan haus sanjungan. Apakah ini yang bernama manusia bermartabat?

Sebagai mahasiswi yang mengusung tri dharma perguruan tinggi, hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi tempat saya belajar, kasus mafia pendidikan merajela berdalih mensejahterakan kader penerus bangsa—ee.. ternyata sekarang niatan itu sudah digerogoti tikus. Begitu juga senat, kaum cendikia dan jajaran elite kampus seperti BEM, UKM, UKMF yang sedang asyik-asyiknya membangun benteng kehormatan untuk tujuan kelompok. Mereka akan membinasakan kelompok atau individu yang tidak sejalan dengan niatannya. Sebut saja, INTRO (yang mengaku menaungi dunia tulis menulis mahasiswa) kemana dikau berada sekarang? Di makan kutu busuk atau bagaimana? Sebab kaum rektorat yang terhormat dan segenap element, para dekan dan praktisi pendidikan yang pandai menjilat sudah beralih kiblat! (Mudah-mudahan para cecunguk itu dan segenap musuh-musuh saya membaca tulisan ini!

Pada akhirnya tidak ada yang riil menyokong keberagaman dengan tajuk yang bagaimanapun. Mari kita lihat, aparatur kesenian: Dewan Kesenian Propinsi Kalimantan Selatan, tak ada guna berarti yang bisa kita dukung selain keluhan. Bukan demikian?

Akhiri Saja Kegiatan Aruh Sastra!

Begitulah. Jika ada oknum yang menampik senarai himbauan ini ialah dia, kelompok dan individu yang menyimpan muslihat kepentingan saja!

Hal ini beralasan, kegiatan aruh sastra yang secara berkala diadakan setiap tahun tak memberikan hasil yang berarti. Kalaupun ada komunitas yang baru bercokol, itu bukan karena status quo Aruh Sastra tapi inisiatif dan sumbangsih moral untuk membuka diri dalam menunjukkan eksistensinya sebagai kaum intelektual di bidang sastra. Tidak lebih. Kita pahami juga, aruh sastra hanyalah anjangsana pelepas kangen-kangenan yang isinya (lebih) mengenang ke masa lalu. Sebagai contoh: Aruh Sastra di Amuntai tahun lalu, ajang diskusi yang diangkat tidak terlalu booming bahkan temanya biasa-biasa saja. Tidak ada hal baru yang greget. Kalau memang aruh sastra bertujuan mencerdaskan atau mensosialisasikan hal baru tidak demikian. Bahkan berkali-kali tidak hanya diskusi yang didaulat oleh panitia Aruh Sastra, tetapi praktisi pendidikan sastra, dan Balai Bahasa selalu memberikan suguhan yang sudah dikonsumsi terlebih dahulu oleh insan sastra (dibaca: hampir basi).

Secara pribadi, saya mencium ketidakberesan akan pelaksanaan aruh sastra terlebih beberapa tahun terakhir ini. Masalah klasik! (dibaca: financial) perlu digaris bawahi bahwa Aruh Sastra ini bukanlah kegiatan Event organizer atau Production. Kegiatan ini bermula dari kesucian niat dalam rangka membumikan ranah lambung mangkurat dengan kesusastraan bukan kepentingan pribadi!

Kalau nawaitunya sudah menyimpang, buat apa dipertahankan? Dalam forum pleno, saya sering menyarankan kepada presidium sidang:”Buat apa mempertahankan badan yang kerangkanya sudah dipenuhi kemunkaran, Bubarkan saja!”[]

Tidak ada komentar:

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI