Senin, 29 Desember 2008

Catatan Akhir Tahun

Ke Aras Nun Jauh
Kuhitung Bintang-Bintang....

Di bawah rinai gugus rasi, ketika suara-suara cangkerik seakan bersahutan dengan riuh gemeretak suara-suara katak dalam kebisuan, ketika desir angin dan gemerisik dedaunan seakan berpaduan dengan musik yang kudengarkan, ketika itu pulalah seorang lelaki menengadahkan wajahnya ke langit malam. Dikhayalkannya bintang-bintang serupa kerlap-kerlip lampu-lampu kota yang dibangun di atas awan. Dibayangkannya Aras nun jauh tempat para malaikat berada. Ketika ia sendiri ragu adakah surga tempat segala harapan dan keinginan terkabulkan seketika tanpa penantian. Ketika kita lupa segala yang pernah membuat kita kecewa dan putus-asa.
Andai kita sama-sama menghitung satu-satu bintang-bintang itu di bawah keteduhan malam sembari kau hamparkan urai rambutmu di dadaku yang bimbang dan ragu. Ketika itu kita hanya berharap pada yang biasa saja. Meski kita juga selalu bermimpi sekedar untuk menghibur hati. Ketika itu ingin kudengarkan setiap kata yang bergetar dan mendesah dari hatimu sembari kudekap mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang bergolak di dadamu. Ketika itu waktu bagi kita adalah saat-saat yang memberi detik demi detik yang riang untuk mengkhayalkan apa saja yang ingin kita angankan. Seakan apa yang telah berlalu tak sepenuhnya berlalu.
Ketika kita mempercayai bahwa kita semestinya selalu menjadi anak-anak untuk memenuhi hasrat kita pada kebebasan. Agar kita bisa selalu memaafkan kegagalan dan kekecewaan yang pernah kita alami ketika dewasa. Agar kita bisa tersenyum dan tertawa dalam kesedihan. Sebab apalah artinya sebuah kata jika karenanya kita menderita. Bukankah anak-anak merasa bahagia ketika mereka tak mempertanyakan arti sebuah permainan. Ketika mereka hanya tahu bermain dan tak pernah mempersoalkannya. Karena itu aku ingin usia tak mengalahkan jiwa kita.


****

Kuhitung satu-satu bintang-bintang di langit itu. Di antara bulan yang redup terhalang awan, kupandangi satu bintang yang bersinar lebih terang dari semua bintang-bintang yang kupandang. Ia telah menyita perhatianku seakan adalah harapan dan keinginan dalam kesunyian.
Konon bintang-bintang adalah perlambang masa-depan yang mendengar doa dan keluh-kesah kita. Dan bila kita tiada, kita pun akan menjelma bintang-bintang. Karena itu bintang-bintang adalah perlambang harapan sekaligus kehilangan. Kepada bintang-bintang kita pun menengadah dan berharap mereka mengabulkan apa yang kita inginkan. Dan di saat mereka tak tergapai, di saat itu pula harapan kita semakin kekal. Suatu hari yang entah kapan itu, kita pun akan bersatu dengan mereka di Aras nun jauh itu. Di sana kita kekal selamanya dan tak lagi takut pada kematian.
****
Malam itu kubacakan sajak-sajak romanku untukmu. Dan kau hanya terdiam di hadapanku. Lalu kau raih tanganku dengan keramahan yang tak kuduga sebelumnya. Saat itu aku percaya aku telah jatuh cinta dengan segera dan tiba-tiba.

****
Malam ini aku pun tiba-tiba teringat sebuah dongeng tentang sepasang kekasih yang mengalami kutukan. Ketika siang, yang perempuan berubah menjadi burung elang. Dan ketika malam, yang lelaki berubah menjelma anjing hutan. Yang lelaki menjadi pengembara siang dan sang elang kekasihnya itu selalu menyertai dan bertengger di pundaknya. Dan begitu pun sebaliknya, yang perempuan hidup di sebuah gubuk yang dibangun kekasihnya di hutan yang jauh dari perkampungan. Bila senja, sang elang lekas terbang menuju gubuk tersebut. Dan kekasihnya segera menyusulnya. Karena ketika malam-lah ia bisa melihat dan mengagumi kecantikan kekasihnya. Ia akan berbaring di pangkuan kekasihnya sembari mendengarkan keluh-kesah, doa, dan cerita-cerita kekasihnya tercinta. Di gubuk itu kekasihnya memandangi bintang-bintang dan si anjing hutan hanya mendekap di pangkuannya dengan lembut dan mesra.
Selama bertahun-tahun mereka seperti itu bergantian menjadi manusia dan binatang sembari terus berjuang untuk menemukan azimat yang dapat menghilangkan kutukan mereka. Agar tak lagi dipisahkan oleh siang dan malam. Yang tak lagi harus menunggu giliran untuk menjadi manusia ketika yang lainnya menjadi binatang.
Dan selama bertahun-tahun itu pula mereka menjalani hidup saling setia dan terus berharap doa mereka terkabulkan. Begitulah bila malam mereka sama-sama berdoa kepada bintang-bintang agar kutukan bisa hilang dan kembali sama-sama menjadi manusia.
****
Dan adakah nubuat bintang-gemintangmu itu? Apa yang kau nubuatkan? Nasibkah atau harapan masa depan seperti yang dijanjikan para mesiah itu? Aku juga tak mengerti arti sebuah rasi dan gugusan galaksi yang hanya mampu kukhayali.
Mungkin kau berbicara tentang sesuatu yang tak dapat kita pastikan. Yang hanya mampu kita duga-duga karena ketakpuasan hasrat kita pada yang ada. Tapi aku tak ingin kau ragu akan ketulusanku. Ketika kau bilang padaku: “jiwaku lelah!” Karena rasa lelah adalah ciri kenormalan. Karena keluh-kesah adalah ciri hidup yang mesti kita syukuri tanpa ragu. Meski harapan bagiku tak lebih kerinduan bawah-sadar kita pada ketiadaan yang tak teramalkan. Dan tak dapat kita pahami kenapa kita menginginkannya sekaligus takut padanya.
****
Hari demi hari mereka jalani bersama dengan doa dan harapan yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Bila sang elang menjelma perempuan cantik saat matahari tenggelam, kekasihnya yang berubah menjadi anjing hutan akan selalu merebah di pangkuannya sembari mendengarkan dongeng-dongeng kekasihnya. Layaknya Syahrazad bercerita kepada Syahrayar dalam buku Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Begitu juga ketika matahari terbit di pagi hari, sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah akan selalu ditemani kekasihnya, sang elang, yang menjadi pemandunya mencari tempat-tempat untuk mencari pekerjaan dan makanan sehari-hari mereka.
****
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dalam kutukan, di suatu malam ketika mereka tertidur lelap, mereka sama-sama bermimpi sebuah bintang jatuh di hadapan mereka dan menjelma seorang Peri Cantik. Peri itu berkata kepada mereka: “Carilah oleh kalian sebuah pulau yang bernama Negeri Phantasmagoria. Kalian akan menemukannya jika kalian menengadahkan wajah dan berdoa kepada rasi Orion di atas langit malam kalian. Dan jika kalian telah sampai di negeri itu, carilah sebuah goa tempat Sang Naga. Bunuhlah Sang Naga itu dan ambillah jantungnya untuk kalian persembahkan kepada si Putri Duyung di Danau Phantasmata yang tak jauh dari goa tersebut. Setelah itu kalian harus saling berciuman tepat ketika waktu menunjukkan titik yang mempertemukan sekaligus memisahkan batas antara siang dan malam. Di detik terakhir matahari akan tenggelam.
Dan ketika Sang Peri itu pergi ke langit dan kembali menjadi bintang, mereka pun terbangun karena terkejut dengan mimpi itu. Mereka pun segera melakukan apa yang dikatakan Sang Peri itu.
****
Keesokan harinya sang anjing hutan yang telah berubah menjadi lelaki gagah pergi dengan ditemani kekasihnya, sang elang, menuju sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari gubuk mereka. Sesampainya di pantai yang mereka tuju, si lelaki segera mengayunkan alat yang mirip kapak pada sepohon besar yang rindang.
Dengan tekun mereka membuat perahu. Dan ketika siang, mereka pun telah menyelesaikan perahu yang mereka buat. Mereka pun menaiki perahu tersebut dengan si lelaki yang mendayungnya.
Selama setengah hari dan satu malam mereka mendayung bergantian dan belum juga mendapatkan tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Negeri Phantasmagoria. Ketika matahari terbit, maka sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah yang akan mendayungnya. Dan bila malam, sang elang yang berubah menjadi kekasihnya yang akan mendayung. Mereka pun terus mengarungi lautan selama delapan hari sebelum akhirnya mereka tiba di Negeri Phantasmagoria yang membuat mereka terkagum-kagum karena keindahannya. Negeri itu tertutup kabut putih keperakan yang lebih mirip dinding es tebal.
****
Tapi aku tak ingin meneruskan dongeng itu. Karena aku ingin kau menduga-duga sendiri akhir cerita itu. Aku ingin kau yang meneruskannya. Mengarangnya kembali dan menceritakannya kembali sebagai dongeng kehidupan layaknya Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Aku hanya ingin berkata arti pentingnya sebuah dongeng untuk mengobati kesepian. Agar kita selalu memiliki harapan dan tak menyerah untuk meraih apa yang kita inginkan untuk menjadi manusia. Aku tak ingin kau berhenti untuk terus berangan-angan. Aku ingin kau terus menuliskan dongeng-dongengmu sebagai penghiburan. Aku ingin kau memandang kesederhanaan dan kesahajaan sebagai sesuatu yang berharga. Agar kita bisa menerima kenyataan. Agar kita tak mencari kebahagiaan di tempat yang tak ada. Aku ingin dongeng itu dapat mencegah kita menjadi manusia yang terkutuk dan putus-asa. Dan aku ingin kau menyanyikannya.
***
Di atas langit itulah kini mereka telah menjelma bintang-bintang. Dan yang kuceritakan padamu hanyalah sepenggal kisah mereka untuk berjuang melawan kutukan yang telah menimpa mereka. Kutukan yang telah menjadi ikatan paling kuat dan paling setia cinta mereka yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Kini mereka bahagia di sebuah tempat nun jauh itu. Di sebuah tempat nun entah di mana, aku juga tak tahu.

Desember, 2008.

Minggu, 28 Desember 2008

Topeng dan Kawan-Kawan Teater di Banjarbaru

Kegiatan Rekan Teater se-Banjarbaru
Workshop Keteateran dan Artistik (buat topeng karakter)
20-28 Desember 2008
Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru

Teater Ambang Wuruk-Tasikmalaya


Di Bawah Gunung Nun
(Tokoh Amus)
SAKWASANGKA
: ashmansyah timutiah


+ jangan larang aku menyanyangimu!

- biarkan mereka mengenal sisi lain teater?

semuanya kita selesaikan dengan jiwa lelatu yang terlanjur salah dalam memahami ruang dan waktu dari kota bumi tasikmalaya menuju banjarbaru ranah lambung mangkurat. memaknai adalah obade yang harus diupacarakan ke suasana penuh khuyuk. biarkan kugenggam tanganmu dari jauh, itu lebih berarti dalam imaji gerak.

+ jangan larang aku mengenal moyangmu!

- biarkan kami mendorongmu untuk melihat dunia yang serius?

alangkah lukanya melihat ragamu dirasuki ego dan terjadilah keterjebakan dalam diskusi artistik: membuat topeng-topeng karakter yang telah lama diperkenalkan kepada hidupmu sebelum jumat memanggilmu untuk sekadar menelan kepahitan. sekali lagi.

+ perkenalkanlah aku ke orang-tuamu!

- bukankah besok harus mempersiapkan manusia raksasa di refleksi tahun?

peduli dengan besok? untuk memperistirahkan anak-cucu kita yang ditakdirkan dari generasi Siliwagi menebus dosa neneknya. kejujuran tak bisa dipadukan dengan keseriusan karena berbeda haluan. seperti angkasa yang selalu menjadi hijab bumi-langit dalam membesarkan dan memperkenalkan kau rubayyat takdir.

+ jadi?

- tidak!

+ tidak!

- ya?

Banjarbaru, 26 Desember 2008

Sabtu, 13 Desember 2008

Esai

Katagrafi Sebuah Roman
Dan Monogram-Diaris Seorang Penyair





”Diamonds are forever....”

Selantun lagu yang dinyanyikan Shirley Bassey itu mengalun lembut di ruang kerjanya sebagai seorang penulis. Ia diam termenung dan mengarahkan pandangan matanya ke arah pintu yang terbuka. Sesekali ia jatuhkan abu rokoknya pada asbak kaca yang tergeletak di meja kerjanya. Di ruang kerjanya itu ia ingin menulis apa saja yang sesuai dengan suasana hatinya dan gerak-gerak jari tangannya yang tampak gemetaran karena dingin malam selepas hujan yang masih menyisakan ricik gerimis. Ia hanya ingin menulis tentang dirinya dan bukan tentang yang lainnya. Karena ia seorang egois murni yang merasa bahagia dengan angan-angan narsistiknya. Ia ingin mencairkan kebekuan sintagmatik ketika ia mengalami kebuntuan sintaksis sebagai seorang penyair untuk menemukan diksi dan nada. Ikhtiarnya itu adalah sebentuk penebusan intelektual dalam kesendirian dan kesepiannya. Dengan menulis ia ingin membuktikan eksistensi dirinya. Sebuah pekerjaan yang dipilihnya sebagai seorang yang tak memiliki legalitas akademik untuk mencari uang. Dengan demikian ia adalah seorang intelektual dalam pengertiannya yang longgar dan amatiran sejauh pergulatannya dengan khasanah pemikiran yang sifatnya pribadi dan subjektif. Ia bebas karena ia tak mendalam dan spesifik dalam disiplin tertentu. Karena apa yang ingin ditulisnya tak lebih sebuah fiksi otobiografis.
Ia percaya bahwa hidup tanpa imajinasi seperti penyakit yang tak menemukan obat. Karena itulah ia menganggap penting arti sebuah ingatan dan kenangan. Dan ia bertahan hidup karena keduanya. Ia akan selalu mempercayai keduanya untuk melawan waktu yang membuatnya kecewa di masa lalu. Dan dengan itu pula ia mengatasi kebosanan dan keputusasaannya.
Di malam yang kesekian kalinya itu ia merasa cukup dengan apa yang telah ditulisnya. Sebelum ia menambah daftar panjang dusta. Sebelum ia kehabisan bahan untuk menuliskan dusta-dusta yang lain dengan cara dan penuturan yang lain pula. Ia berhenti untuk sebuah awal yang lain.
Malam itu dikenangnya masa-masa ketika ia belum mengalami rasa kecewa karena hasrat seksual dan keinginan birahi yang tak tersalurkan pada seorang perempuan yang diinginkannya. Kini ia telah menjadi seorang pendusta ketika ia tak lagi menjadi seorang bocah. Ia berbicara tentang hal yang sama dengan beragam tuturan dan cara. Kepalanya telah menjadi sebuah perpustakaan kebohongan. Ia telah kehilangan masa-masa kanaknya yang riang dan tanpa beban. Dan pada saat yang sama ia pun terus mengkhayalkan raut-raut geometris yang menyusun tatapan mata dan senyuman seorang perempuan yang mengagumi daya-ingatnya. Ia masih merasakan keindahan dan persahabatannya dengan perempuan tersebut di saat ia mengalami rasa kehilangan karena kematian yang juga membuatnya tak berdaya sebagai seorang lelaki dewasa. Kini ia dikuasai keraguan yang tak bisa disembuhkan.
****
Di atas meja kerjanya itu berserakan buku-buku puisi, novel, dan filsafat. Juga buku-buku biografi yang telah menjadi menu malam-malam kesendirian dan kesepiannya. Dalam gerimis selepas magrib itu akhirnya ia menyulut dua pucuk lilin pengganti lampu listriknya yang padam. Meski ia tak merasa tenang menulis karena harus menghalau hembusan angin pada dua pucuk nyala api lilinnya dengan kedua telapak tangannya yang lembab itu. Sementara senandung jazz terus mengalun pada channel 99.90 FM radionya. Kemudian hujan pun turun kembali. Ia membiarkan helai demi helai pandangan matanya menerawang dan melangkah ketika kedua telinganya merenungi ricik dan gemuruh. Tetapi pikirannya pergi jauh ke masa-masa kanaknya yang telah tak ada itu.
Dalam duduk termenung itu ingatannya tertuju pada seorang bocah lelaki di masa lalu yang mengumpulkan batang-batang padi bersama ibunya di sawah berair. Seorang bocah lelaki yang juga berlarian melintasi pematang mengejar para belalang dengan setongkat batang songler yang ia genggam bersama teman-temannya dalam guyur hujan. Seorang bocah lelaki yang juga bersama teman-temannya bermain sepakbola dengan bola yang terbuat dari sejumlah plastik yang disatukan dan dibulatkan dengan sejumlah ikatan dari karet, selepas hujan. Tapi kini ia sadar bocah yang riang itu telah menjadi lelaki pengecut dan pecundang. Seorang lelaki yang selalu dihantui keraguan dan kegagalan yang pernah dialaminya. Seorang lelaki yang telah melupakan arti sebuah permainan dan ketakacuhan yang riang. Seorang lelaki yang tak lagi bebas dan menghargai arti sebuah ketelanjangan dan keluguan hidup.
Dalam duduk itu ia sebenarnya gelisah. Seperti seorang pemikir yang tengah menghadapi kebuntuan axiomatik. Ketika malam menenggelamkan angan-angannya.
****
Di ujung senja mendung awal November itu ia duduk sambil memandangi gugusan awan. Hasratnya pada keindahan telah menjadikannya seorang lelaki yang tak mudah dikalahkan kebosanan dan kejenuhan. Meski ia senantiasa terjebak di antara kehilangan masa-lalunya dan kehadiran masa kininya yang seringkali menyulut gejala melankolianya yang sentimentil dan kekanak-kanakkan. Waktu dan kesepian telah memberinya kebebasan yang paling tulus. Kesendirian yang juga telah menciptakan sebuah dunia bagi kesepian dan angan-angannya.
Dalam sapuan angin senja di bawah keteduhan serimbun bambu itu ia merasakan kedamaian dan ketenangan. Pandangan matanya tertuju pada sekelompok burung yang mematuki sisa-sisa biji padi pada setumpuk jerami. Dan tiba-tiba pandangan matanya beralih pada seekor burung berbulu biru yang terbang rendah di atas air. Tak lama kemudian di paruh burung yang panjang itu melintang seekor ikan kecil yang lekas ditelannya dengan tangkas. Ia menganggap apa yang dilihatnya itu adalah sebuah puisi yang belum ditulis. Sebentuk lukisan impresionis yang belum disalin pada kanvas. Bahasa yang belum dituturkan dengan aksara dan kata-kata.
Di ujung senja itu ia ingin mendekatkan diri dengan alam dan musim-musim demi merasakan suatu moment dan peristiwa. Ia ingin melebur dalam cuaca dengan mengaktifkan semua pancaindera dan pencerapan bathinnya untuk menyimak suara-suara alam dan nyanyian-nyanyian musim yang akan memberinya sejumlah bait-bait puisi.
****
Di sepanjang jalan setapak pematang itu ia terus melangkah dan mengagumi gugusan kepang putih kembang akasia. Lalu ia pun berhenti dan duduk bersandar pada sepohon akasia sambil memandangi hamparan hijau sawah yang memberinya impresi keindahan dan kedamaian bathinnya. Ia pun seakan merasakan sisa keriangan November masa kanaknya yang kini telah silam dalam kenisbian yang lelap. Seolah tak ada yang tersisa dengan tatapnya yang basah dan telungkup pada daun-daun akasia itu. Ketika dalam angannya pendar cuaca seakan pudar dan tercerai di sela-sela awan dan jejak-jejak petang yang mulai merambat pelan-pelan terseret waktu.
Dalam keteduhan senja itu ia asik mendengarkan cericit-cericit burung pada ranting-ranting dan rimbun dedaunan. Ketika dalam fantasinya daun-daun pun seakan menggigil dan tertunduk seperti seorang lelaki yang terserang gejala melankolia. Ketika sepi terus bergetar dalam senyap rembang yang terbentang di depan matanya yang seolah menjauh dari tubuhnya. Ketika ia berada di antara kegelisahan dan kepasrahan. Ketika gumpalan-gumpalan awan hitam terus bergugusan menyusun kegelapan. Ketika ia sadar selalu saja ada yang luput untuk dipahaminya.
****
Di sana ia dapat mengagumi karya-karya seni yang paling nyata. Lukisan-lukisan alam dan moment keheningan. Warna-warna yang berbaur dan berpadu dengan langit dan awan. Pohon-pohon yang berjajar sepanjang sungai. Ia pandangi apa saja yang membuatnya dapat merasakan kedamaian. Ia percaya di sanalah rahim puisi. Di sana pula ia percaya imajinasi bersembunyi, mencair, dan kembali menguap ke udara. Kemudian seperti nyanyi hatinya yang sunyi, gerimis November merintik dalam ricik yang menghitung bait-bait puisi yang ingin ia tulis.
****
Kini ia kembali tertegun dan merenung selepas isya di gubuk itu. Malam itu ia ingin menulis lirik senandung seindah Claire De Lune yang mengalun di atas meja kerjanya itu. Sebuah roman dalam puisi. Sebentuk sonata dan Rubayyat. Sebuah nyanyian delapan nada. Sementara udara lembab terus menghembus rambut dan wajahnya yang lembab. Apa yang diperjuangkannya adalah sebentuk idealisme egoistik. Ia tengah memperjuangkan sebuah mahkota bagi nama diri dengan upaya estetiknya. Di meja kerjanya itu ia terus menggerakkan pena-nya pada lembar-lembar diarinya yang mulai lengket dan lembab karena buih-buih rintik gerimis. Sesekali ia pun sibuk merapikan kertas-kertas yang terlempar dari meja kerjanya karena hembusan angin.
****
Pagi itu matahari belum muncul setelah hujan malam kesenduannya. Cuaca pun masih mendung dan redup. Ketika dingin dan lembab angin terus menjalar. Ia memandangi orang-orang yang sibuk memotong batang-batang padi di sawah yang tak jauh dari gubuk tempatnya duduk dan merenung itu. Ia pun teringat masa-masa ketika ia dan ibunya memanen padi. Ketika ia memandangi sekelompok angsa dan para unggas berkecipakan mengibaskan lengan-lengan mereka di sungai. Ketika ia bersandar dalam keadaan lelah pada sedahan akasia yang tumbuh di bukit kecil ujung pematang sawah.
Dalam ingatannya itu ia masih terbayang para belalang yang berlesatan di antara semak dan ilalang dalam keheningan yang tak terhindarkan untuk seorang bocah lelaki belia. Ketika ia memandangi langit senja dalam kesunyian. Dan kini ia yang bocah itu sudah tak ada. Dan mungkin tak pernah ada. Tanpa terasa ia telah menghabiskan segelas kopi hitam dan empat batang rokok dalam cuaca mendung dan redup itu. Meski dalam cuaca lembab itu ia tiba-tiba berkhayal erotik yang membuat anu-nya menegang dan menghangat di saat tubuhnya merasakan dingin yang masih menusuk.
****
Dalam duduk itu ia terus bertanay apa yang diinginkannya ketika menulis? Apakah hanya untuk memenuhi dorongan narsistiknya? Egoisme dan ilusinya? Apa yang dibacanya dari sebuku psikoanalisa itu seakan telah menyadarkannya bahwa menulis merupakan proyeksi dan pengalihan hasrat seksual dan upaya untuk mendapatkan kembali kekuasaan yang hilang dengan diagungkannya sebuah nama diri seperti yang dicurigai Michel Foucault dan Roland Barthes itu. Kini ia sadar bahwa menulis adalah kehendak politis dan libidinal setelah ia membaca tulisan-tulisannya Nietzsche dan Luce Irigaray. Kini ia memahami menulis sebagai upaya pengalihan pemuasan diri karena apa yang gagal dipenuhinya dalam dunia nyata setelah membaca tulisan-tulisannya Jacques Derrida dan Jacques Lacan. Sebuah upaya untuk mengatasi rasa sia-sia dan tak berdaya seperti Sisiphus yang terhukum ketika ia membaca esai-esainya Albert Camus dan Jean Paul-Sartre. Kenangannya dan keretakan identitas dirinya di masa lalu yang telah tak ada itu.
Karena buku-buku yang dibacanya itu ia pun memahami menulis sebagai tindakan bunuh diri egoistik demi pengalihan dorongan libidinal, kehendak politis, sekaligus penghiburan diri. Meski ia tak pernah bisa melampauinya. Dan ketika itu pula ia tak tahu apa yang ingin ia tulis dan ingin diungkapkannya pada lembar-lembar diarinya dengan sebatang pena di antara jari-jari tangan kanannya yang gemetar karena dingin gerimis selepas hujan itu. Baginya menulis adalah sebuah aktivitas yang ia lakukan karena tak ada hal lain yang bisa ia lakukan. Terlebih dengan tak adanya kesibukan yang cukup menyita waktu di hari-hari dan malam-malamnya yang monoton dan membosankan. Kini ia mempercayai pendapatnya sendiri bahwa tujuan menulis adalah untuk menulis itu sendiri. Sebuah apologi karena kemalasannya sambil mendengarkan alunan-alunan jazz dan komposisi-komposisi musik klasik instrument, tenor, dan sopran.
****
Dari kursi gubuknya itu ia hanya mampu memandangi langit malam dan mendengarkan desau angin pada dedaunan. Angan dan pikirannya terus mencari kata dan nada untuk stanza-stanza yang ingin ditulisnya. Ia ingin menyatukan diri dengan alam dan musim-musim yang telah memberinya fantasi dan imajinasi. Ia tengah meminta sebuah puisi dari keabadian dan mengharapkan kias dari ketiadaan.
Singkatnya ia adalah seorang romantik yang tak tahu diri bila dilihat dari kegandrungannya pada puisi dan musik. Tetapi ia juga ingin dipahami bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah keadaan yang mau tak mau ia melakukannya sebagai sebuah upaya pengalihan dan proyeksi dari kenangan dan ingatannya tentang sebuah kegagalan. Kepengecutan dan kepecundangannya sebagai seorang lelaki yang telah kehilangan dan kebebasan kanak-kanaknya yang tanpa beban. Dan hanya ingatan dan kenangan yang dapat memuaskan hasratnya pada keabadian dan ketiadaan. Juga kerinduannya pada kematian yang lembut.
Malam itu ia seakan hanyut bersama kesenduan suaranya Lara Fabian yang menyanyikan Adagio-nya Albinoni.
2007-2008. Sulaiman Djaya, penyair dan esais.

Launching Malaikat Hutan Bakau 10 Desember 2008

Launching Malaikat Hutan Bakau
di Book Cafe Banjarbaru
10 Desember 2008

ODE KAMPUNG#3 5-7 Desember 2008, Serang Banten



TEMU KOMUNITAS LITERASI SE-NUSANTARA DI BANJARBARU
Hasil Ode Kampung#3 5 – 7 Desember 2008 di Rumah Dunia, Serang Banten
:Hudan Nur*


KEGIATAN Ode Kampung#3 (OK3)di Rumah Dunia, Komplek Hegar Alam Ciloang Serang Banten baru saja usai. Kegiatan se-kaliber kampung nusantara ini melibatkan 70 lebih komunitas seni, sastra, teater, dan literasi yang tersebar di wilayah Indonesia, delegasi Kalimantan Selatan di wakili oleh Zurriyati Rosyidah, Dias Baradanu, Panglima Restu Giffarie dan Hudan Nur yang bernaung di Komunitas Teras Puitika.
Tahun ini kali ketiga, Gola Gong selaku mantan Presiden Rumah Dunia mengadakan kegiatan yang serupa mengenai diskusi ‘Indonesia Membaca’. Acara tersebut dihadiri oleh Tantowi Yahya, Angelina Sondakh, Dik Doang, Asma Nadia, Myra Junor, Firman Venayaksa, Wien Muldian, Kiswanti, Toto ST Radik, Halim HD, Bambang Trim, Wawan Husein, Moh. Wan Anwar, Fahmi Faqih, Fakhruddin, Faisal Komandobat, Thopmson HS, dan sejumlah penyair dari Jogjakarta, Bandung, Surabaya, Tasikmalaya, Jakarta, 1001 Buku, beberapa Birokrator dari DEPDIKNAS, beberapa penerbit seperti MIZAN, Salamadina, dan Gramedia. Serta delegasi koran Nasional dan Lokal khususnya yang bernotaben di Jawa dan Sumatera.
Hari pertama OK3 disuguhi parade dan tawuran seni (musikalisasi puisi, teater, monolog, deklamasi puisi, dan pembacaan cerpen) mulai dari anak TK, tukang Becak, peserta, dan orang-orang kampung di Komplek Hegar Alam, Ciloang. Kemudian Anwar Holid memulai diskusi tentang gerakan eksistensialisme dan gerakan FLP yang dipikir masih massif berpengaruh besar dalam industri penerbitan di Indonesia. Lalu dikaitkan dengan “the lone wolf” alias Saut Situmorang selaku sarjana sastra yang menyatakan bahwa keberadaan gerakan seni menyiratkan kesamaan ideologi berkesenian atau estetika, walau ungkapan dan pelampiasan (ekspresi) maupun gaya mansing-masing penggeraknya ‘anggota’ belum tentu sama. Dalam sejarahnya, pembentukan gerakan seni lazimnya bertujuan melakukan “pembaruan estetika” melawan dominasi status quo. Dia juga meyakinkan bahwa penulis yang tidak ikut dalam komunitas sastra tertentu (artinya bergerak sendirian), juga bukan kelemahan.
Berbicara mengenai kepenulisan, penulis yang berhasil pasti memberi pengaruh, baik kepada individu tertentu maupun massa, eksplisit maupun implisit. Penulis bahkan bisa melampaui zamannya, artinya pengaruh mereka melebihi ruang dan waktu setempat. Tulisan, ide, pemikiran, bisa menelusup dan mempengaruhi orang secara diam-diam, sampai akhirnya pemikiran itu mengendap dan menguat, menjadi sikap. Dengan pemikirannya, penulis menawarkan kesadaran tertentu, bahkan lewat sikap dan perbuatannya, penulis menawarkan nilai kepada banyak orang, terutama sekali pembaca dan peminat seni dan sastra. Entah pemikiran, sikap, cara pandang, dan perbuatan tersebut diterima atau ditolak masyarakat, itulah yang akan menjadi warisan budaya generasi berikutnya. Di sinilah pentingnya mencatat dan mendokumentasi agar penelitian dan kesinambungan generasi berikutnya cukup mudah ditelusuri. Salah satu kelemahan umum dari gerakan seni yang terjadi di Indonesia buruknya dokumentasi, yang pada gilirannya akan menyulitkan generasi selanjutnya kesulitan menelaah signifikansi gerakan tersebut bila gerakan tersebut sudah mati atau inaktif.
Hari kedua kembali suguhan diskusi yang menarik tentang Is there a book inside you? Yang menjadi pertanyaan ‘sakti’ kepada orang-orang yang menyatakan diri ingin masuk dalam dunia buku. Sebab menulis adalah kehidupan yang tenang, sedangkan menerbitkan adalah kehidupan yang aktif. Keduanya menjadi dua aktivitas yang menopang kemajuan Bangsa dengan ujungnya adalah masyarakat membaca (reading society). Di sini yang menjadi permasalahan Bambang Trim (Direktur Salamadani Publishing) adalah bagaimana membuat penerbit melek literasi? Bagaimana membuat penerbit sadar bahwa komunitas literasi berikut umat yang menghimpun di dalamnya adalah sebuah potensi untuk meledakkan aktivitas membaca dan menulis? Dengan kemajuan teknologi informasi kini, komunitas-komunitas literasi harus mengeluarkan bunyi nyaring dan menunjukkan eksistensi. Sejuta takzim untuk upaya keras Mas Gola Gong beserta relawan Rumah Dunia yang tiada henti ‘berteriak’ dan berkarya sehingga banyak penerbit akhirnya melek komunitas literasi.
Menjelang hari ketiga Mw Fauzi mengupas kontenks dunia pers yang dikaitkan dengan gerakan literasi, koran menjadi media paling dikedepankan mengingat karakternya yang punya kontinyuitas dan berdaya tarik tinggi. Dalam bahasa sederhana, dengan posisinya yang menawarkan berita-berita aktual terkini dan terbit setiap hari, keberadaan koran telah sejak lama menjadi asupan bacaan sehari-hari masyarakat luas.
Saat ini, menyusul kian ketatnya sektor persaingan dalam bisnis pers, para pengelola koran dituntut selalu mampu menarik minat masyarakat untuk membaca korannya. Pada sisi inilah salah satu faktor krusial pers melakukan dosanya terhadap gerakan literasi baik secara disengaja maupun tidak.
Dosa pers paling utama adalah menyuguhkan bahan bacaan yang sama sekali berlawanan dengan gerakan literasi, atau menyimpang dari kaidah penulisan bahasa yang baik dan benar. Tak hanya dalam penulisan judul, kadang dalam badan beritapun amat sering ditemukan istilah ‘buatan orang koran’ yang tidak ditemukan dalam kamus besar bahasa Indonesia. Repotnya, pelaku dosa ini tak hanya koran lokal yang notabene menghadapi kendala minimnya budaya minat baca di daerah, sehingga kerap menuntut “aksi kreativitas tersendiri” dalam menyuguhkan sebuah berita agar dibaca, namun juga koran di level nasional. Hingga muncullah istilah “di sweeping”, “dipolisikan”, “disoal”, dan banyak lagi contoh kesalahan penulisan yang tidak disengaja lantaran keterbatasan pengetahuan terhadap kaidah bahasa dan arti sebuah kata yang sesungguhnya.
***
Banyak sekali diskusi fenomenal yang dilaksanakan OK3 sampai sidang pleno dan perampungan rekomendasi-rekomendasi dari hasil OK3 yang akan disampaikan kepada DPR-MPR RI antara lain tentang sikap pemerintah tentang perpustakaan-perpustakaan yang peranannya masih kurang dirasakan oleh masyarakat umum, mewajibkan setiap desa memiliki perpustakaan dan mendesak dewan terhomat tersebut untuk merealisasikan gerakan literasi (bukan berarti memberantas buta aksara seperti yang pernah digaungkan pada orde-baru tetapi budaya membaca) dengan membuka Taman Baca Masyarakat (TBM) di se-antero nusantara. Selain itu, akan ada temu komunitas literasi lokal yang rencananya dilaksanakan di Banjarbaru 2010 dan didukung penuh oleh XL.

Suporting Local Literacy Movement!


*Anggota Komunitas Teras Puitika


SEMBILAN REKOMENDASI ”ODE KAMPUNG #3: TEMU KOMUNITAS LITERASI SE-INDONESIA

Rumah Dunia, 5-7 Desember 2008milis: www.yahoogroups. com/group/ komunitas_ literasi Kami para peserta Ode Kampung III: Temu Komunitas Literasise-Indonesia 2008 bersepakat bahwa literasi adalah hak kunci untukmendapatkan hak berekonomi, bersosialisasi, partisipasi politik danpembangunan, khususnya dalam masyarakat berbasis pengetahuan. Literasimerupakan kunci peningkatan kapasitas seseorang, dengan memberikanbanyak manfaat sosial, di antaranya cara berpikir kritis, meningkatkankesehatan dan perencanaan keluarga, program pengurangan angkakemiskinan, dan partisipasi warga negara. Literasi bukan hanyapersoalan individu, tapi juga menyangkut persoalan komunitas danmasyarakat luas. Literasi bukan sekadar melek huruf, tapi merupakandasar penopang bagi pembelajaran di masa datang. Literasi memberikanpiranti, pengetahuan dan kepercayaan diri untuk meningkatkan kualitashidup, untuk lebih dapat memberikan kemungkinan berpartispasi dalamaktivitas bermasyarakat dan membuat pilihan-pilihan informasi yangakan dikonsumsi. Untuk mewujudkan hal tersebut, kami mengajukan sembilan rekomendasi: 1. Mendesak pemerintah pusat untuk segera menyusun regulasi yanglebih teknis terkait dengan UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan.2. Mewajibkan Pemerintah daerah untuk membangun perpustakaan yangrepresentatif, meningkatkan pelayanan yang optimal dan menyediakantenaga pengelola perpustakaan yang profesional.3. Menjalin kemitraan antara perpustakaan daerah dan perpustakaankomunitas. Serta membangun kerjasama antara perpustakaan komunitaslokal dan daerah lainnya4. Mewajibkan lembaga pendidikan dan lembaga pemerintahan yangmemiliki perpustakaan agar memberikan pelayanan bagi masyarakat luas.5. Mewajibkan pengembang komplek perumahan/ pengelola pusatperbelanjaan untuk membangun perpustakaan sebagai bagian darifasilitas umum 6. Mewajibkan penerbit menyumbangkan buku-buku kepada perpustakaankomunitas dan mengadakan peluncuran buku terbaru serta pelatihanmenulis bersama para penulis buku.7. Mendorong warga masyarakat untuk mendirikan perpustakaankomunitas di setiap desa/ kelurahan.8. Mewajibkan perusahaan mengalokasikan tanggungjawab sosialperusahaan (Corporate Social Responsibility) untuk perpustakaan komunitas.9. Menumbuhkan kebiasaan membaca dengan menyediakan bahan bacaan dilingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dunia kerja, instansipemerintah, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya. Demikian sembilan rekomendasi ini diajukan kepada khalayak. Semogamendapat dukungan dari semua elemen terkait demi mewujudkan kejayaanIndonesia di masa mendatang. Tim Perumus,Gola Gong, Wien Muldian, Firman Venayaksa, Kiswanti, Halim HD,Subhan, Amel, Mahmudin, Ariful Amir.

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI