: Hudan Nur
AKAN ada masanya kita saling mengerti. Kita saling berpraduga. Ada waktunya kita memang harus bersama dan suatu saat kita juga berpisah. Semuanya memang begitu adanya. Ada masanya malam menjelang dan tiba-tiba saja mentari menerjab. Lalu dirundung usia menuju senja. Lalu, lalu dan berlalu…
Selalu begitu. Selalu saja masa berlalu dengan adanya. Tahun ini, aku berdiri di barisan usia hampir seperempat abad. Waktu berjalan dengan lagunya, penuh suka-cita. Dan berlalu. Tanpa bayang-bayang. Cukup tegak berdiam, sesekali menengok ke belakang, sekadar mengingat kelaluan waktu yang telah lewat. Sesekali juga menelah air liur: pahit.
Semuaya mempunyai garisan yang keteraturannya sudah dikadarkan. Sekarang, adalah masa lalu untuk esok hari. Bukankah kerinduan yang paling syahdu, ketika batang bambu yang sudah terpisah dari rumpunnya dan menjadi suling, akan terdengar betapa suaranyanya melengking-menyayat hati pendengarnya. Betapa ia merindukan rumpunnya tersebut. Betapa ngilu tembangnya. Kita tak pernah mengerti!
Lalu, jalan kita lampaui dengan segala liku-likunya. Bukankah selama perjalanan ini belum pernah kita lalui jalan yang mulus? Selalu saja ada gundukan tanah di tiap-tiap kilometer jalan atau perbatasan wilayah suka-duka bahkan lobang-lobang kecil di pesisir jalan? Atau jalan-jalan yang tak sempurna, tak layak yang tetap kita sebut jalan.
Selalu saja kita lalui itu semua dengan kelapangan, dengan segala keterbatasan sebagai seorang manusia. Hingga waktu bergulir seiring pembaruan yang dipenuhi intrik dan teror-teror kehidupan dalam katalika rampang perjuangan.
Sejenak, kita ramu semua benalu kepedihan yang kita anggap cenaku di setiap interval usia sebagai squad yang patut kita banggakan (karena usai kita khatamkan) tetapi perlu kita hayati bahwa setiap benalu tidak hanya menghinggapi di rumbai cenakumu tetapi, aku-kamu-dia-mereka-kami-kita, tak terkecuali. Setiap insan merasakan dicenaku, ini bagian dari dinamika dan tak perlu kita sebut fenomena. Begitupun dengan bencana, ia datang dengan belenggu masa lalu sebab apa yang dilandainya adalah sebuah persejarahan. Dalam artian, semua yang menimpa hanyalah refleksi yang pernah terjadi sebelumnya. Awal-akhir-awal-akhir (mengenang awal-mempertanyakan akhir), ada-tiada-ada-tiada… selalu begitu-begitu saja.
Pada akhirnya kita akan tersadar dari dagelan nyata kehidupan ini. Hah! Hidup itu statis!
Tak perlu didesaukan ke palung hati-hingga patah hati!
Sebentar, mari bersama kita lihat di sekeliling kita. Adakah ini semua sebuah teater jiwa yang mengiris raga? Keterasingan, kemanusiaan, belenggu dan senandung hati kian menghiasi makna kesendirian saja? Ya! Ini adalah kata akhir bagi kita! Dari pilihan yang memilihkan kita, sebab ada waktunya kita memang tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab ada kalanya seorang aktor menonton pemeranan tokoh-tokoh lainnya, agar dia bisa merenungi diri dari bilik yang dipentaskan rekanan yang lain. Pun sebaliknya. Selalu begitu…
Maka, bila kita disentuh angin, diraba mentari, dibuai malam, dan sebagainya… rasailah sebagai sangsai kehidupan yang berjalan dengan kodratnya. Memang seharusnya! Akhirnya kita berada di titik nadir! Percayalah, segalanya akan berakhir… kita hanyalah mini micky yang dikendalikan sesuatu. Dan sesuatu itu memiliki kedahsyatan yang maha. Sesiapapun takkan menandinginya. Kita kembali ke awal. Berjalan. Dan berlalu ke akhir!
6 komentar:
Yaaa lama kita tidak kontak ya Hudan. semoga 2009 kita sambung kasih lewat belahan laut cina selatan ya. buku tak sempat juga dikirim. Melor sibuk saja, minta dia kirim. tapi bonda cuba usahakan, cuma adress dulu sudah hilang. eh , blog bonda yang aktif ialah > wwww.senirupasiti.biologspot.com. sampai jumpa. salam ke kawan2 MASTERA !
sori dear ejaan blogspot. salah diatas tu
Salam kenal dari urang Banjar
Legenda Sangsai ... seruling yang kehilangan nada hidup karena terpana akhir yang belum dilaluinya.
Masih ada waktu ... akhir adalah batas yang memang tidak pernah dilalui.
hmmmm... legenda.
Salam buat teman Hudan. Saya datang membaca dan membuat link dari Malaysia.
Posting Komentar