Melalui gumam terangkai pemberontakan, perlawanan, dan kegundahan terhadap orang-orang bebal yang menyebarkan kerusakan demi kerusakan dengan menggunakan kekuasaannya. Melalui gumam juga tersibak jalan kebebasan sebagai penghargaan terhadap kemanusiaan. Hal ini begitu menggoncang dan mengusik dalam buku Bungkam Mata Gergaji (Kumpulan Gumam Asa) karya Ali Syamsudin Arsi (ASA), Framepublishing; Yogyakarta, 2011. Kumpulan gumam dalam buku ini dapat dikatakan sebagai gumam perlawanan sekaligus keberpihakan kepada hakikat manusia yang terus tergilas oleh mata gergaji sehingga terpisah, tercerai berai dan penuh luka, yang menjadikannya tidak terlihat eksistensinya sebagai individu maupun dalam komunitas dan hubungan dengan alam.
Kumpulan gumam dalam Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, 2011) memperlihatkan kecenderungan keras kepalanya sang pengarang yang mengambil jalan kebebasannya dalam berkarya, menapaki secara konsisten kegelisahan sebagaimana orang sedang memperjuangkan kebebasan dalam hidupnya meski rasa takut juga terus membayangi. Tanpa kebebasan, maka kemampuan setiap individu untuk memilih berarti tidak ada, yang dalam gumam Asa terungkap dalam bungkam mata gergaji; memisahkan, memburai, dan melukai. Dalam pandangan Jean-Paul Sartre yang membatasi kebebasan manusia sebagai bagian dari “neraka adalah orang lain”.
Dalam Bungkam Mata Gergaji (BMG) juga memperlihatkan adanya kecenderungan pilihan, tanpa mengganggu kebebasan, beberapa gumam dalam format yang jauh lebih pendek dari ketiga buku terdahulu, yang dinyatakan sebagai “berdamai” dengan “orang lain” sehingga beberapa gumamnya pendek dan sebagian sangat pendek. Pilihan berdamai itu tidak berarti merubah gaya gumam yang banyak menghamburkan kata-kata, meskipun sebenarnya dapat lebih sedikit kata.
Bungkam mata gergaji telah menjadi frase pembimbing dalam menyusuri kumpulan gumam ini, yang menjadi penanda kepedihan dan kuatnya hegemoni terhadap situasi dan kondisi yang mengitari manusia, yang sebagiannya tergambar telah kehilangan kebebasannya. Eksistensi manusia terbungkam mata gergaji dalam pandangan ASA tergambar dengan “mengucur luka luka luka dari gelak keruhnya sungai beban dari lubang-lubang galian beban dari lumpur-lumpur luapan beban dari drama-drama tayangan beban dari meriahnya kelap-kelip kaca taburan sinar, akh beban yang ternyata sangat memilukan”, sebagai eksistensi yang terluka dalam lingkungan penuh ancaman dan pengendalian dari orang yang bermuka tebal tak tahu malu tak bermata juga tak bertelinga sebagai digambarkan ASA sebagai “orang-orang bebal pun tetap saja mendengkur di ...”, dengan akhir “di” menunjuk pada sesuatu yang bebas.
BMG merupakan keruntuhan kebebasan manusia, ia digambar ASA dengan “telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi”. Keruntuhan kebebasan ini tiada lain dari kelumpuhan sebagai manusia, manusia yang siap digusur demi kedamaian dengan rela atau tidak untuk tersingkir, dalam ungkapan ASA, “mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran”.
Dalam BMG, ASA menunjukkan perlawanannya, dapat dikatakan sastra perlawanan terhadap keadaan yang mengekang dan membungkam. Meski perlawanan melalui gumam ini berhadapan dengan “dengkur berkepanjangan”, namun ada tekad yang kuat untuk terus melawan terhadap orang-orang bebal yang mengarahkan keberadaan manusia dalam kubangan kekacauan eksistensinya. ASA menyatakan, “Kami telah kepalkan tangan, tapi suara kami dibalas dengkur berkepanjangan”, untuk menunjukkan masih adanya kesadaran sebagai individu yang tidak mau terus dikondisikan dalam “bungkam bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikamam, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalam melemahkan”. Ungkapan-ungkapan ASA penuh vitalitas kekiri-kirian, yang mengosong tema pembebasan dari “neraka adalah orang lain” dengan cara melawan manusia (orang lain) yang dikatakan ASA, “berasal dari racun yang menetes di awan-awan”, yang menjelma dalam berbagai bentuk hingga “jadilah ia sebagai pembungkam segala kehendak”.
Berbagai fenomena pembungkaman tertangkap melalui BMG, seperti perilaku orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk membungkam. ASA memandangnya, “Sementara ada yang saling berebut naik ke atas podium masjid untuk mendapatkan kabel-kabel mikropon serta alat memantulkan kebesaran diri mereka, saling berebut untuk mendapatkan corong-corong”. ASA memberontak, “Kami telah tergusur dari tempat tinggal kami sendiri, tanah kami telah ditumbuhi gedung-gedung, sawah kami telah bersemi menara-menara, ladang kami telah penuh dengan swalayan toserba kotak-kotak kaca pameran”, yang sebagiannya digiring melalui corong-corong yang diperebutkan tersebut.
Dalam BMG nampak ASA yang radikal, yang kiri, yang individualis, yang pemberontak, yang begitu bersemangat berupaya mendobrak pembungkaman atas keunikan individu dan situasi hidupnya. Dibandingkan dengan ketiga buku Gumam Asa terdahulu, BMG menunjukkan sosok ASA yang penuh semangat pembebasan dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk yang menghilangkan kebebasan seseorang. Ada semangat eksistensialis dalam BMG, dalam pemikiran tentang kebebasan manusia, sebagaimana secara gamblang terungkap di bawah ini.
“Kerja sebuah gergaji adalah sistem bergerak untuk menjadi terpisah, menjadi berseberangan, saling berhadap-hadapan. Sama-sama merasakan luka berkepanjangan, luka dari bungkam mata gergaji. Sakit yang dirasakan bersama-sama. Luka untuk bersama-sama. Bila ada satu mata gergaji maka ia akan diikuti oleh gerak mata gergaji yang lain. Sistem, sebagai tameng ampuh dalam mempertahankan, sistem sebagai tameng untuk menyerang. Sedangkan kerja sebuah gergaji adalah sebagai pemisah. Untuk apa persatuan, bila di dalam sistem persatuan itu sendiri ada pihak dominan karena sikap ketidak-adilan yang diberlakukan. Untuk apa persatuan bila cara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan, di semua bidang, karena bungkam mata gergaji menciptakan sesuatu yang sepotong-sepotong, terpisah-pisah, terpecah-pecah”
Selanjutnya baca disini
Kumpulan gumam dalam Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, 2011) memperlihatkan kecenderungan keras kepalanya sang pengarang yang mengambil jalan kebebasannya dalam berkarya, menapaki secara konsisten kegelisahan sebagaimana orang sedang memperjuangkan kebebasan dalam hidupnya meski rasa takut juga terus membayangi. Tanpa kebebasan, maka kemampuan setiap individu untuk memilih berarti tidak ada, yang dalam gumam Asa terungkap dalam bungkam mata gergaji; memisahkan, memburai, dan melukai. Dalam pandangan Jean-Paul Sartre yang membatasi kebebasan manusia sebagai bagian dari “neraka adalah orang lain”.
Dalam Bungkam Mata Gergaji (BMG) juga memperlihatkan adanya kecenderungan pilihan, tanpa mengganggu kebebasan, beberapa gumam dalam format yang jauh lebih pendek dari ketiga buku terdahulu, yang dinyatakan sebagai “berdamai” dengan “orang lain” sehingga beberapa gumamnya pendek dan sebagian sangat pendek. Pilihan berdamai itu tidak berarti merubah gaya gumam yang banyak menghamburkan kata-kata, meskipun sebenarnya dapat lebih sedikit kata.
Bungkam mata gergaji telah menjadi frase pembimbing dalam menyusuri kumpulan gumam ini, yang menjadi penanda kepedihan dan kuatnya hegemoni terhadap situasi dan kondisi yang mengitari manusia, yang sebagiannya tergambar telah kehilangan kebebasannya. Eksistensi manusia terbungkam mata gergaji dalam pandangan ASA tergambar dengan “mengucur luka luka luka dari gelak keruhnya sungai beban dari lubang-lubang galian beban dari lumpur-lumpur luapan beban dari drama-drama tayangan beban dari meriahnya kelap-kelip kaca taburan sinar, akh beban yang ternyata sangat memilukan”, sebagai eksistensi yang terluka dalam lingkungan penuh ancaman dan pengendalian dari orang yang bermuka tebal tak tahu malu tak bermata juga tak bertelinga sebagai digambarkan ASA sebagai “orang-orang bebal pun tetap saja mendengkur di ...”, dengan akhir “di” menunjuk pada sesuatu yang bebas.
BMG merupakan keruntuhan kebebasan manusia, ia digambar ASA dengan “telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi”. Keruntuhan kebebasan ini tiada lain dari kelumpuhan sebagai manusia, manusia yang siap digusur demi kedamaian dengan rela atau tidak untuk tersingkir, dalam ungkapan ASA, “mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran”.
Dalam BMG, ASA menunjukkan perlawanannya, dapat dikatakan sastra perlawanan terhadap keadaan yang mengekang dan membungkam. Meski perlawanan melalui gumam ini berhadapan dengan “dengkur berkepanjangan”, namun ada tekad yang kuat untuk terus melawan terhadap orang-orang bebal yang mengarahkan keberadaan manusia dalam kubangan kekacauan eksistensinya. ASA menyatakan, “Kami telah kepalkan tangan, tapi suara kami dibalas dengkur berkepanjangan”, untuk menunjukkan masih adanya kesadaran sebagai individu yang tidak mau terus dikondisikan dalam “bungkam bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikamam, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalam melemahkan”. Ungkapan-ungkapan ASA penuh vitalitas kekiri-kirian, yang mengosong tema pembebasan dari “neraka adalah orang lain” dengan cara melawan manusia (orang lain) yang dikatakan ASA, “berasal dari racun yang menetes di awan-awan”, yang menjelma dalam berbagai bentuk hingga “jadilah ia sebagai pembungkam segala kehendak”.
Berbagai fenomena pembungkaman tertangkap melalui BMG, seperti perilaku orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk membungkam. ASA memandangnya, “Sementara ada yang saling berebut naik ke atas podium masjid untuk mendapatkan kabel-kabel mikropon serta alat memantulkan kebesaran diri mereka, saling berebut untuk mendapatkan corong-corong”. ASA memberontak, “Kami telah tergusur dari tempat tinggal kami sendiri, tanah kami telah ditumbuhi gedung-gedung, sawah kami telah bersemi menara-menara, ladang kami telah penuh dengan swalayan toserba kotak-kotak kaca pameran”, yang sebagiannya digiring melalui corong-corong yang diperebutkan tersebut.
Dalam BMG nampak ASA yang radikal, yang kiri, yang individualis, yang pemberontak, yang begitu bersemangat berupaya mendobrak pembungkaman atas keunikan individu dan situasi hidupnya. Dibandingkan dengan ketiga buku Gumam Asa terdahulu, BMG menunjukkan sosok ASA yang penuh semangat pembebasan dan perlawanan terhadap bentuk-bentuk yang menghilangkan kebebasan seseorang. Ada semangat eksistensialis dalam BMG, dalam pemikiran tentang kebebasan manusia, sebagaimana secara gamblang terungkap di bawah ini.
“Kerja sebuah gergaji adalah sistem bergerak untuk menjadi terpisah, menjadi berseberangan, saling berhadap-hadapan. Sama-sama merasakan luka berkepanjangan, luka dari bungkam mata gergaji. Sakit yang dirasakan bersama-sama. Luka untuk bersama-sama. Bila ada satu mata gergaji maka ia akan diikuti oleh gerak mata gergaji yang lain. Sistem, sebagai tameng ampuh dalam mempertahankan, sistem sebagai tameng untuk menyerang. Sedangkan kerja sebuah gergaji adalah sebagai pemisah. Untuk apa persatuan, bila di dalam sistem persatuan itu sendiri ada pihak dominan karena sikap ketidak-adilan yang diberlakukan. Untuk apa persatuan bila cara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan, di semua bidang, karena bungkam mata gergaji menciptakan sesuatu yang sepotong-sepotong, terpisah-pisah, terpecah-pecah”
Selanjutnya baca disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar