Kamis, 26 Maret 2009

Apresiasi Puisi

Sunlie Thomas Alexander

TUBUH KAMPUNG

: olaf

1/

mereka, yang tak kasat mata

mengibarkan panji panji pelarian

di kepala kanak kanakku

ke rawa rawa, kami susun hikayat kampung

yang hangus oleh meriam lanun

hingga tubuh kami kejang

oleh mantra, oleh nujum

sebagai pewaris kubur keramat,

sumur harta karun, kampung tenung

riwayat kami lahir

dari gunjing lepau dan kebun,

tanah tandus yang dikencingi wedana dan padri

di tepi teluk, di tepi teluk

kami merawat mimpi bagai porselin cina.

bagai syair syair di kitab tua

ah, lihatlah tubuh kami menjadi lembab

bukan oleh birahi, bukan oleh gairah muda

tapi semata mata amanat

dan kilau dosa leluhur kami,

mambang yang berdiam di batu batu,

di gunung, sungai, dan belahan pohon

di tepi teluk, di tepi teluk

kami berjumpalitan bagai tongkol

ke sampanmu

di tepi teluk, di tepi teluk

kami dirikan rumah rumah panggung

dan gazebo, surau dan tapekong,

kapel dengan lonceng tembaga dan

tulip tiruan berwarna terong

sambil menyantap bakar kerang, udang satang:

ai, carilah silsilah kami

di reruntuhan benteng para siluman,

wahai tuan pelancong yang budiman!

2/

demikian, selalu aku kembali bertamasya

ke muasal mimpi, muasal luka

yang konon tumbuh dewasa

dalam serapah-gurau pasar yang anyir

mari tuan, kita susuri

ini kota remang yang bangunkan kami saban pagi

dengan cuaca nyinyir,

gelak ruko ruko bernama ganjil

sebelum angin buruk mengusikmu,

sebelum angin buruk memadamkan lampu lampu

ah, kenangan yang berpusing serupa gasing

merabuk tubuh kami, kanak kanak

yang bau air payau dan kapur barus

: dan andai kau temukan dunia tercipta begitu saja

dari teriak tukang sayur dan pengiklan film...

3/

di ladang, kami belajar membaca peta

sampai musim panen melimpah ruah

memenuhi kapal kapal berlambung lapar

ke bioskop tua, kami berburu masa depan

membayangkan musim salju dan taman taman

di negeri yang jauh di angan

di pasar malam, kami belajar tenung

melempar bola nasib yang kerdil

bagai kerlip bintang di malam dingin

hingga menjelma kami

jadi anak rantau

yang sesekali pulang, entah datang

pada mata waktu, kampung yang membatu,

menyerukan ibu...

atau mimpi kami bakal tetap tersesat di kebun

mencangkok pisang

hingga berbuah angan bertandan tandan

: bumi hanya sepetak halaman!

tapi dunia sejak awal bermula di sini:

di sungai sungai penuh ikan,

di tambang tambang legam bijih timah

di ladang ladang merdu kicauan burung

bawalah tuan,

sekadar tanda mata

dari hati kami yang rawan;

serpihan batu mambang,

akar pohon hutan bunian

sebelum kapal kapal kembali

mengangkat sauh,

mengangkut mimpi kami

ke negeri asing, ke negeri asing...

: di teluk yang biru, langit begitu kelabu!

4/

karena itu, lupakanlah tuan

jampi jampi gaib gunung pelawan,

hikayat kampung samar samar

atau borok borok lubang di sekujur tubuh

ini pulau angan angan!

ceritakan saja pada mereka, sebuah negeri

yang terbentang dalam mimpi kanak kanak kami

seperti asap dari hutan yang terbakar:

barangkali tak ada dalam peta

barangkali tak kasat mata

barangkali di sana, kanak kanak

tak pernah tumbuh dewasa

sebagaimana di bagan tak ada lagi udang,

di ladang tak ada lagi rumpun sahang,

di sumur batu, riwayat kami amat gamang

di saing, wahai tuan!

selain biduan, selain biduan dan keluh ibu

yang tertahan

mimpi kami pun perlahan karam

seusai pesta pernikahan...

: di rawa, di rawa!

Saing-Belinyu, Agustus 2007

5 komentar:

nanoq da kansas mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
nanoq da kansas mengatakan...

dalam matamu
kumimpikan anak-anak berlarian
mencari ketawa

suara mereka
bersambungan di tali layangan
antara doa dan lidah angin

"selamat dini hari, Hudan..."

AUK ORGANIZER mengatakan...

sudah selesai bos

Miftahuddin Munidi mengatakan...

aku suka puisimu (isurisme)

D'Rimba mengatakan...

Jemput ke blog saya ya. Terima kasih.

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI