Jumat, 05 September 2008

KOMUNITAS SASTRA INDONESIA

Kisah Komunitas Sastra Indonesia di Negeri Kairo


Pada Maret-Oktober setiap tahunnya di Kairo mengalami musim libur. Tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia yang diketuai Fatin Hamama berhasil mengadakan kegiatan jurnalistik dan kepenulisan yang dihadiri lima puluh peserta. Sepuluh diantaranya berhasil membuat antologi dan sungguh membanggakan seorang diantaranya yakni Habiburahman membuat dobrakan yang luar biasa lewat Ayat-Ayat Cinta mendongkrak pangsa pasar kepenulisan di Indonesia.

“Antum tidak bisa menulis percuma,” ujar Fatin Hamama kepada peserta jurnalistik dan kepenulisan di awal perjumpaan KSI. Kegiatan tersebut diisi dengan pelatihan kitab furish (kuning) dengan pembahasan panjang lebar menyoal lingkup kesusastraan yang berkembang di Indonesia karena dirasa Hamama aral kesusastraan di Kairo kembang kempis kadang timbul dan tiba-tiba pula tenggelam. Ditambahkannya lagi alasan perkembangan kesusastraan KSI di Kairo tidak terlepas dari ikatan batin dan persamaan paradigma untuk memajukan kesusastraan di sana.

Membahas mengenai komunitas yang juga menjamur di Kairo, bagi Hamama sendiri keberadaan komunitas tersebut tidaklah banyak membantu sebab maju atau berkembangnya seseorang tidak ditunjang dimana ia berpijak melainkan ketekunan serta kegigihan ia dalam beroientasi mengolah karya lewat kreatifitas kepenulisaan. Justru yang penting itu ada individualisme. Lanjutnya Hamama juga menjelaskan minat untuk menulis itu tidak lahir dengan sendirinya tetapi kebiasaan orang tua semasa yang empunya diri di masa kecil. Seperti masa kecil Hamama di Jeddah, orang tuanya mendidiknya untuk membaca buku apa saja hingga kecintaan pun timbul seiring pertumbuhan masa usianya yang meningkat naik. Lebih jauh, Hamama juga memaparkan bahwa Indonesia itu sangatlah kaya dengan penulis dan karnyanya. Ketika disinggung mengenai seni-seni yang ada di tanah air, Hamama menjelaskan bahwa sebuah karya seni itu tidak dapat dipatenkan karena karya seni itu milik universal kecuali karya pribadi. Lihat saja Habiburahman yang pada waktu awalnya selalu ditolak oleh setiap media hingga pada akhirnya iapun putus harapan hingga bertemu dengan Ahmadun Yossi Herfanda yang pada waktu itu pergi ke Mesir dan secara tidak langsung bertemu juga dengan Habiburahman disana. Lewat Hamama ia dikenalkan, kemudian lewat kerendahan hati Habiburahman yang mau dikritik untuk inovasi karya yang lebih baik. Maka karyanya berhasil di publikasiakn di republika. Hingga akhirnya jadilah sebuah novel yang mendongkrak penjualan yang sekarang jumlahnya melebihi lima juta eksemplar. Fatin Hamamapun lewat antologinya yang berjudul Papyrus berhasil merogok oplah yang lumayan besar hingga harus cetak terus sampai edisi sekarang yakni cetakan kelima. Teruslah berkarya menyalurkan apresiasi terhadap kehidupan lewat sastra. Salam!


Ideologinya Sastra (Merunut KSI)


Ketika dirunut ke belakang Komunitas Sastra Indonesia ini terbentuk sepuluh tahun yang lalu pasca presien kita Soeharto lengser dari jabatannya sebagai kepala Negara karena pada masa kekuasaanya karya sastra kurang berkembang disebabkan tekanan militer yang selalu waspada terhadap kegiatan sastra seperti pembacaan puisi yang dicurigai akan merusak integrasi bangsa. Namun sejak tahun 1998 resmilah KSI sebagai rumah komunitas yang mempunyai akta notaris sekaligus sebagai yayasan legal di Indonesia. Sastrapun mempunyai peranan mulia dalam mengusung jati diri bangsa yang sekarang bisa kita lihat faktanya bahwa Indonesia mulai kehilangan keaku-annya.

Komunitas satra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sasta yang khas di Indonesia. Sebenarnya, jika kita menganngap bahwa komunitas sastra sebagai sarana produksi atau mengonsumsi sastra secara kolekrtif, hal ini sudah terlihat umum di banyak Negara selain Indonesia pada zaman pertengahan Perancis, ataupun pada abad ke-19 di Jepang, membaca buku secara berkelompok adalah hal yang umum, sebab buku adalah benda yang masih sangat berharga dan langka di wilayah tersebut pada zaman tersebut. Namun keunikan di Indonesia adalah pada pola menikmati sastra secara kolektif yang tetap saja digemari hingga kini meskipun buku sudah dapat diperoleh di masyarakat tanpa dengan banyak kesulitan. Di Indonesia, komunitas sastra berupa sekelompok atan sejulah orang yang bertujuan untuk melakukan sastra. Sebetulnya, kelompok sejenis ini telah eksis di nusantara setidanya sejak zaman kolonial, supayab orang bisa mendapatkan akses untuk membaca dan membahas buku bersama-sama, ketika kebanyakan orang yang mengalami kesulitan mempunyai buku. Kelompok tersebut seringkali memiliki sebuah tempat untuk berkumpul, dimana para anggotanya bisa saling belajar dan berdiskusi untuk berkarya lebih baik. Istilah ‘komunitas’ untuk menggambarkan kelompok seperti ini mulai digunakan pada tahun akhir 1980an dan berbagai aktivitas komunitas mulai terlihat dalam masyarakat sejak awal tahun 1990an. Setelah orde baru runtuh, jumlah komunitas sastra mulai bertambah drastis lagi dengan jenis kegiatan yang lebih bervariatif. Pertumbuhan komunitas sastra ini sebagian didukung oleh perkembangan ekonomi dan perbaikan standar pendidikan warganegaranya selama satu dekade terakhir, serta sebagai akibat perkembangan social yang memungkinkan bertambahnya populasi yang mampu membeli buku atau sudah terbiasa menulis dan membaca. Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, ideology kesusastraan adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang terkandung di dalam teks-teks yang disebut karya sastra – baik prosa (esai, cerpen atau novel) maupun puisi. Definisi tersebut merujuk pada penjelasan dari ideology Perancis, Desstutt de Tracy (1976), yang menciptakan istilah ‘ideologi’ guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifatnya, seta hokum-hukumnya. Dalam kacamata politik ideology adalah paham, teori atau tujuan terpadu yang merupakan satu program social-politik. Namun, dalam arti umum ideology adalah ide-ide yang mendasari sebuah system filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu, yang menampak pada pola aktivitas, ekspresi dan tujuan kekaryaannya.

Di sisi lain, Budi Darma berkata kalau ingin tahu komunitas sastra tanpa label ‘komunitas’, cobalah berkunjung ke makam Sutan Takdir Alisyabana di Tugu, Bogor. Makamnya di san berdampingan dengan makam isterinya sendiri, tidak jauh dari sebuah lereng sungai. Makam ini terletak di pekarangan sebuah rumah besar milik Sutan Takdir Alisyahbana. Dalam sejarah sastra Indonesia, rumah ini mungkin tidak tercatat, namun sebetulnya rumah ini mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembagan sastra. Dulu, ketika Sutan Takdir alisyahbana masih muda, sekali-sekali dia mengundang sastrawan-sastrawan yang umurnya lebih mud daripada dia, antara lain Mochtar Lubis. Rumah itu dijadikan tempat ngobrol dan berdiskusi. Lalu lebih lanjut Budi darma memaparkan bahwa angkatan 45 pada hakikatnya bukan komunitas. Tengok sedikit perihal kehidupan mereka. Ada sepasang tokoh sentral yakni, HB Jassin sebagai penemu bakat dan Khairil Anwar sebagai pembeharu. Dua orang ini dan teman-temannya sering berkumpul –kumpul, berdiskusi dan langsung ataupun tida, diskusi mereka masuk ke dalam karya mereka. Tengoklah misalnya; surat Idrus kepada HB Jassin dan jawaban HB Jassin kepada Idrus.

Berbeda dengan Anis Sholeh Ba’asyin yang menganggap bahwa ada banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk membedah gejala komunitas sastra, mulai dari yang paling sederhana; terbentuk karena seorang sastrawan ingin membagi ilmunya pada orang-orang yang mencoba berguru padanya, atau karena sekelompok orang bersepakat menajamkan kemampuan sastranya dalam satu wadah; sampai dengan yang paling rumit: sinergi sastrawan-satrawan yang merasa butuh wadah untuk menegaskan posisinya dalam peta sastra Indonesia, atau sinergi dari sastrawan-sastrawan yang punya musuh bersama dengan kegiatan sastranya. Tapi, di luar niat awal semacam ini, posisi sastra Indonesia sendiri dala peta social budaya sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alas an untuk memaklumi kehadiran komunitas sastra. Sebagai sebuah spesies baru, sastra Indonesia bukan cuma harus berjuang menemukan capaian-capaian estetikanya saja, tapi juga sekaligus harus berjuang merebut khalayak pembacanya.[]

Tidak ada komentar:

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI