Kamis, 04 September 2008

WAYANG ORANG SEMARANG

PERJALANAN PANJANG PAGUYUBAN WAYANG ORANG NGESTI PANDOWO
(Catatan Ketika Saya di Semarang Januari 2008)



Perkumpulan wayang orang (wayang wong) pada era tahun 30 (tiga puluhan) banyak bermunculan. Perkumplan-paerkumpulan itu masih bersifat amati namun ada yang sudah mengatur manajemen secara profesional. Pada era itu pertunjukan wayang orang merupakan suatu kebutuhan masyarakat. Semua itu dikarenakan pertunjukan wayang orang maupun wayang kulit mengandung pendidikan untuk membangun budi pekerti masyarakat. Tak jarang masyarakat yang mempunyai sifat hajat mereka akan menggelar pertunjukan wayang orang maupun wayang kulit. Bahkan ketika masa panen raya hasil tanam kampung-kampung akan menggelar seni tradisi sebagai wujud terimakasih mereka kepada dewi sri.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya wayang orang maupun pertunjukan lainya dikemas dengan perunjukan keliling. Kelompok-kelompok melakukan pentas dari satu desa ke desa yang lain bahkan sampai kota satu ke kota yang lain. Hingga muncullah istilah tobong (keliling). Pemberian nama itu beralasan jelas, karena penyajiannya bersifat keliling. Hingga terjadi istilah eksploiritasi oleh orang-orang cina yang memiliki uang banyak. Mereka memelihara tukang pukul atau tacut agar para seniman tidak beralih tempat ke perkumpulan yang lain. Para seniman dikondisikan untuk setia kepada perkumpulan yang mereka kuasai. Kita melihat pada masa itu perkumpulan-perkumpulan wayang orang ataupun ketoprak dikiasai orang cina. Sebagai bukti, sederet nama paguyuban yang dimiliki oleh orang cina. Wayang orang “Sedyo Wandowo” dipimpin Thei Yam Ping Surakarta, Wayang orang dan Ketoprak “Darmo Mudo” dipimpin Theik Bong dari Kediri dan sederet nama yang lain. Paguyuban-paguyuban itu telah menjamur di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Dari keprihatinan itu Ki Sastro Sabdho merasa tergugah untuk membebaskan paguyuban wayang orang dari etnis cina. Hingga pada akhirnya ketika perkumpulannya melakukan pentas tobong di Madiun pada acara pasar malam munculah gerakan untuk membentuk kelompok tanpa campur tangan orang cina. Ki Sastro Sabdho bersama seniman dan seniwati membentuk paguyuban wayang orang yang di beri nama “Ngesti Pandowo” pada tanggal 1 jili tahun 1937. Ki Sastro Sabdo menerapkan sistim kekeluaragaan dan juga senasib seperjuanan dalam membangun Ngesti Pandowo. Dari awal perjalanan Ngesti Pandowo Ki Sastro Sabdho selaku pimpian menekankan penanganan secara professional. Bahkan sampai memikirkan nasib pendidikan anak-anak pendukung paguyuban. Paguyuban menanggung biaya sekolah anak-anak pendukung paguyuban dari sekolah dasar sampai tamat perguruan tinggi. Serta membangunkan asrama bagi seniman dan seniwatinya.
Bahkan agar pertunjukan kelompoknya tidak membosankan, Ki Sastro Sabdho selalu melakukan perkembangan dan bentuk garapan untuk menarik penonton. Dari hasil kerja yang sangat telaten dan ulet akhirnya kelompok wayang orang Ngesti Pandowo disetiap pertunjukannya di banjiri penonton. Yang akhirnya berimbas pada pendapatan honor pemain dan pengrawit. Puncak kejayaan Ngesti Pandowo pada tahun 1937 sampai tahun 1940. Karena suasana peperagan, pada dekade tahun 1940 sampai tahun 1945 Ngesti Pandowo mengalami penurunan pendapatan. Hingga mengakibatkan tahun 1945 sampai tahun 1949 paguyuban ini berhenti total tidak melakukan pementasan.Hingga pada akhirnya paguyuban Ngesti Pandowo mulai menata kenbali di kota Semarang Jawa Tengah. Dengan gigih dan ulet semua pendukung Ngesti Pandowo berjuang mengenbalikan masa puncak. Sampai pada akhirnya diberikan kehormatan untuk pentas di Istana Negara pada masa kepemimpinan presiden Soekarno. Hingga pada puncaknya Ngesti Pandowo menerima piagam dari pemerintah berupa piagam “Wijaya Kusuma” pada tahun 1962. Pada akhirnya 4 tahun kemudian setelah penerimaan piagan sang maestro Ki Sastro Sabdho berpulang ke Sang Khalik. Namun paguyuban terus berlanjut untuk mengangkat citra wayang orang. Kepemimpinan selanjutnya Sastro Sudirjo. Hingga kini Hesti Pandowo ini masih eksis dan survive meski banyak sekali haling rintang yang menyinggahi perjalanannya. []

1 komentar:

suwadi mengatakan...

sampai saat ini setiap pementasan juga masih sepi, apalagi untuk wayang orang hanya ada beberapa orang saja yang nonton, padahal pementasan itu seminggu sekali...ada apa gerangan dengan wayang orang disemarang???

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI