Senin, 15 September 2008

Godong Kelor



Gundul Jahat: Ketua Umum Godong Kelor Indonesia



Suasana Markas Besar Front Budaya Godong Kelor

FRONT BUDAYA GODONG KELOR


Menilik Kegiatan Front Budaya Godong Kelor Indonesia (Cabang Banjarbaru)

SEMANGAT!

Meski puasa, suasana seni tak pernah hilang dari wajah-wajah penuh harapan: gerombolan anak-anak bawah ketapang. Buktinya bulan puasa begini, mereka tetap intens berkesenian. Setelah tadarus al quran, mereka tetap tak bisa meninggalkan menu wajib harian untuk berkesenian. Ada-da saja yang mereka buat, mulai dari lomba lukis, puisi, dan pagelaran teater. Peminatnya pun luar biasa banyaknya. Kalau boleh saya kalkulasi sekitar lima ratus orang. Saya sebut mereka sebagai gerakan bawah tanah. Tak banyak yang tahu tentang mereka. Padahal Front Budaya Godong Kelor ini sudah mempunyi jaringan mulai dari Aceh, Padang, Medan, Jambi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Madiun, Banjarbaru, Martapura, Tanah Bumbu, Barabai, Kandangan, Amuntai, Samarinda, Tenggarong, Kuala Kapuas, Sulawesi dan masih masih banyak lagi. Nah betapa dahyatnya komunitas ini. Informasi yang saya dapat mereka sedang menggarap teater yag berjudul Dari Kosong Kembali Kosong yang akan ditampilkan pada malam tanggal 19 September 2008 di Taman Air Mancur Banjarbaru juga Festival Tanglong pada malam tanggal 20 September 2008[]

TADARUS PUISI


Tadarus Puisi dan Silaturrahmi Sastra 2008

Tahun ini kembali digeber kegiatan tadarus puisi yang kelima se-kalimantan selatan di Banjarbaru. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kegiatan berkutat sekitar pembacaan puisi islami, nasyid, musikalisasi ataupun dramatisasi puisi, teater dan tahun ini akan ada pelelangan baca puisi oleh jajaran muspida, polda kalsel, aktor, sastrawan, seniman Kalimantan selatan yang nama-namanya sudah dipersiapankan oleh panitia. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 19 September 2008. Acara dimulai pada jam 18.00 wita (dengan berbuka puasa bersama), sholat isya dan tarawih berjamaah di seputar taman air mancur Banjarbaru, launching antologi puisi Hamami Adaby, Di Jari Manismu Ada Rindu, Tadarusan Puisi dan sahur bersama. Tema yang diangkat adalah membaca jejak kepenyairan Hamami Adaby dan Eza Thabry Husano. Panitia menyediakan akomodasi (bagi yang mau menginap dari luar kota Banjarbaru) dan konsumsi. Acara ini didukung sepenuhnya oleh: Pemerintah Kota Banjarbaru, MGR, Radar Banjarmasin, Radar Banjar Peduli, Tulus Organizer.

Berminat? (Silakan hubungi panitia ke 08170781239)

TERAS PUITIKA: ON AIR

Teras Puitika: On Air Setiap Kamis Malam di Suara Idaman FM

Oooppss…

NAMA

Banyak sekali kami selaku badan intern di teras puitika menuai kecaman bahwa nama ini seperti mengambil nama komunitas yang ada di Indonesia. Kalau boleh bercerita, sejak tahun 1980an istilah ini dipakai oleh penulis muda; dibidang puisi. Kala itu dihandel oleh Micky Hidayat. Namun dengan berangsurnya waktu, komunitas itu hilang di Kalimantan Selatan. Pada tahun 2008, geliat sastra di Banjarbaru, Banjarmasin dan Kabupaten Banjar (Martapura) Nampak meningkat. Salah satu dari mereka yang sangat giat dalam menulis puisi dan haus kritik yang membangun adalah Andika Dias Baradanu. “Harusnya ada forum dialog yang membedah puisi-puisi kita yang muda-muda ini.” Paparan Andika diamini oleh Ceria Seyoshi yang pada waktu itu juga haus publikasi. Hal senadapun di akui oleh kawan-kawan yang lain antara lain: Kanatoshi Ariwa, Ilalang Musim Kemarau, Black Mania dan Lazuardi Wisnuardi. Maka sepakatlah dibentuknya komunitas teras puitika. Awalnya nama ini bukan teras pusitika, namun setelah Kanatoshi ariwa mengajukan nama, Ceria Seyoshi melalui sms mengusulkan Teras Puitika. Dan tentu saja dia, tak tahu menahu tentang ada tidaknya nama komunitas ini sebelumnya di Indonesia.

KEGIATAN

Tidak ada muluk-muluk. Teras puitika adalah forum dialog, mengupas sastra: puisi seiring perkembangan zaman. Membedah puisi-puisi secara berkala dan mengudara setiap kamis malam di suara Idaman FM. Untuk ke depan akan ada launching karya penulis muda sekaligus sepekan puisi yang akan di gelar pada akhir tahun 2008 ini[]

Minggu, 07 September 2008

FORKOTEB

hudan nur berkata:

FORUM KOMUNIKASI TEATER BANJARBARU (FORKOTEB)



Tak ada yang menduga sebelumnya bahwa pada 7 September 2008, minggu malam terbentuklah forum silaturahmi teater yang akan menaungi komunitas atau sanggar-sanggar teater, khususnya yang berdomisili di Banjarbaru. Mulai dari sanggar sekolah, komunitas independent sampai teater kampus. Hal ini dibuat untuk menjembatani kegelisahan atas mati surinya para aktor dan aktris terlebih lagi dunia teater. Bagi Andi Sahluddin, ada banyak cikal bakal yang masih perlu pengarahan ekstra agar bakat-bakat yang mereka miliki dapat survive dan bisa tersalurkan. Kalau boleh kita runut ke belakang, banyak sanggar yang hidupnya hanya di kandang sendiri atau ada bakat yang tidak tereksploitasi lalu mati. Nah, melalui wadah ini diharapkan para tetua yang prihatin akan kondisi tersebut dapat mengarahkan serta membantu kelestarian apa yang sudah ada. Sewindu yang lalu, bermunculan sanggar-sanggar di kota Banjarbaru, tapi sekarang? Namanya saja tak tedengar lagi. Kemana sanggar-sanggar tersebut? Apakah lenyap tak berjejak atau memang di telan bumi karena tak mampu bertahan? Sebut saja Sanggar Baimbai, Tetas, Tetas Sylva, Sanggar Naga (Bengkel Sastra 2001), Sanggar Amuk, dan sebagainya. Tak jelas kemana tapaknya? Mungkin tersaput angin! (haha)
Pada kesempatan ini, beberapa tokoh dari sanggar-sanggar teater Banjarbaru, menghadiri dan mengaklamasikan dirinya sebagai pemerhati teater yang trenyuh akan sikap nglayut atau menggantung. Tak tentu arah pertumbuhan sanggar di Banjarbaru ini. Forum ini dalam waktu dekat, akan mengundang semua sanggar teater untuk hadir dalam dialog akbar dalam rangka memperbincangkan visi forum untuk mengadakan pentas teater setiap bulan secara bergiliran dan pada akhir tahun, akan ada penganugerahan kepada aktris dan aktor terbaik selama rentan waktu pementasan yang disepakati. Dalam rentan waktu yang panjang (ke depan), forum ini akan menggaet kawan-kawan yang berbakat untuk pentas keliling Indonesia. Salam sukses[]

Jumat, 05 September 2008

KONTEMPLASI BERSAMA

Peace Education Sebagai Solusi Alternatif Dalam Menciptakan Budaya Damai


Pendidikan damai merupakan proses pendidikan yang memberdayakan masyarakat agar mampu memecahkan konflik dengan cara kreatif, dan bukan dengan cara kekerasan. Dalam konteks ini, pendidikan damai menjadi sangat terkait dengan tingkat kepuasan masyarakat. Kesulitannya adalah tatkala cara kreatif yang ditempuh tidak menjadikan masyarakat puas dalam penyelesaian konflik. Memang, cara kreatif kadang kala dipandang tidak menampakkan kejantanan, rasa jagoan dan semangat heroisme, yang kemudian mendorong penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan. Cara kreatif dalam menyelesaikan konflik biasanya memerlukan waktu lebih lama, membutuhkan kesabaran, kedewasaan emosional, untuk menghasilkan win-win solution serta kedamaian.

Salah satu cara mengatasi tantangan pendidikan damai adalah membangun jembatan untuk mendukung setiap pihak sebagai pelaku utama. Sama halnya belajar memerlukan tempat dalam konteks sosial yang lebih luas, terutama di sekolah dan ruang kelas, begitu pula halnya dengan pendidikan damai, ia bergantung pada keluarga, masyarakat, dan jaringan sosial, sehingga dapat menimbulkan efek perubahan yang positif dan berkelanjutan. Ungkapan think globally, act locally menjadi intisari bagi upaya mendidik budaya damai yang dapat menghubungkan antara teori mendidik budaya damai yang dapat menghubungkan antara teori dengan praktik, serta menerjemahkan isu internasional ke dalam perilaku individual. Seorang pendidik damai punt idak harus bekerja sendiri, sebab masyarakat internasional bergerak secara aktif dan tumbuh melalui berbagai jaringan, terbitan berkala, kampanye global, program nasional maupun internasional. Masyarakat yang peduli, para pendidik dan para aktivis dari berbagai usia diseluruh penjuru dunia saat ini sedang mempromosikan dan membangun perdamaian lewat jalur pendidikan sehingga terciptanya budaya damai.

Fakta perihal budaya damai dapat dilihat dari beberapa nilai, sikap, tradisi, perilaku dan gaya hidup yang didasarkan pada hal-hal berikut:

1. Penghormatan atas kehidupan, menyudahi kekerasan dan mempromosikan serta mengamalkan sikap tanpa kekerasan melalui dialog dan kerjasama.

2. Penghormatan yang penuh terhadap prinsip-prinsip kekuasaan, integritas wilayah dan kemerdekaan politik suatu Negara, serta tidak campur tangan terhadap masalah esensial yang termasuk ke dalam yuridiksi domestik suatu Negara.

3. Penghormatan yang penuh bagi dan peningkatan terhadap semua hak dan kebebasan asasi manusia.

4. Memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik secara damai.

5. Berupaya memenuhi kebutuhan pembangunan dan yang terkait bagi generasi masa kini dan mendatang.

6. Menghargai dan meningkatkan hak untuk pengembangan.

7. Menghargai dan meningkatkan persamaan hak dan peluang bagi pria maupun wanita.

8. Menghargai dan meningkatkan hak semua orang untuk bebas menyatakan pendapat dan memberikan informasi.

9. Mengikuti prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi, solidaritas, kerjasama, pluralisme, keragaman budaya, dialog, pemahaman pada semua tingkat masyarakat dan antar berbagai bangsa serta ditumbuhkan dengan memberdayakan lingkungan nasional maupun internasional yang kodusif bagi perdamaian.

Keinginan untuk hidup secara damai dan harmoni telah menjadi perhatian banyak pihak. Di sisi lain, upaya untuk menyelesaikan kekerasan pun menemui tantangan yang semakin kompleks. Di satu sudut, terdengar teriakan ”tolak pornoaksi”; di sudut yang lain orang memprotes peperangan, membentangkan spanduk bertuliskan ”No War!” dan menyerukan penyelesaian damai atas suatu konflik.

Jelaslah bahwa damai berlaku umum dan merupakan lawan dari violence atau kekerasan. Kekerasan bisa terjadi di seluruh aspek kehidupan. Dalam bidang politik, penjajahan dan perang adalah bentuk kekerasan; dibidang ekonomi, korupsi dan perampasan harta secara ilegal merupakan bentuk kekerasan; di bidang hukum, pelanggaran aturan adalah bentuk kekerasan; di bidang budaya, eksploitasi nilai–nilai negatif yang merusak peradaban merupakan bentuk kekerasan. Media massa juga dapat menampilkan tayangan kekerasan. Justru media massa ini yang sering kali mempercepat pembelajaran kekerasan. Bisa kita bayangkan, untuk menyajikan reklame sabun atau shampo yang berciri kelembutan dan kehalusan saja, justru disampaikan dalam bahasa kekerasan! Film kartun pun yang merupakan konsumsi kesukaan anak–anak, disajikan penuh dengan adegan baku hantam dan jotos.

Demikian pula halnya dalam kehidupan sehari-hari, bentuk–bentuk hukuman atau sanksi yang kelewat batas, penyalahgunaan wewenang, pemaksaan dan tekanan atau menyalahi kode etik dan norma kepatutan, juga disebut sebagai bentuk kekerasan, kekerasan dalam pendidikan. Keinginan untuk mencapai tujuan pendidikan yang damai dapat dilakukan antara lain dengan memahami penyebab kekerasan alam masyarakat, yakni mengenal lebih dalam kondisi sosial yang bisa menyebabkan perilaku kekerasan, dan mengkaji suasana kekerasan ynag mampu menimbulkan perilaku kekerasan.

Kondisi damai mengenal dua sifat, yakni negatif dan positif. Kondisi damai yang negatif muncul sebagai akibat dari ketiadaan kekerasan individu dan kekerasan institusional sebagaimana digambarkan dalam spiral kekerasan. Sementara kondisi damai yang positif adalah terwujudnya kehidupan makmur, keadilan sosial, kesetaraan gender, terjaminnya hak–hak asasi manusia dan lain sebagainya.

Peran pendidikan damai dalam mewujudkan budaya damai dapat dilakukan dengan beberapa jalan berikut ini:

1. Memperkuat kembali upaya kerjasama nasional dan internasional untuk meningkatkan tujuan dalam memperoleh pembangunan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan, serta untut meningkatkan budaya damai.

2. Memantapkan keyakinan bahwa anak-anak, sejak usia dini, memperoleh manfaat dari pendidikan nilai, sikap, perilaku, dan gaya hidup yang dapat memberdayakan mereka sehingga mereka dapat menyelesaikan konflik secara damai dan dalam suasana jiwa yang saling menghargai martabat manusia dan bersikap toleran tanpa diskriminasi.

3. Melibatkan anak-anak dalam berbagai kegiatan agar dapat tersosialisasikan nilai-nilai serta tujuan budaya damai.

4. Memantapkan persamaan akses bagi kaum perempuan, khususnya bagi para gadis.

5. Mendukung dan memperkuat berbagai upaya dari para pelaku budaya damai dengan sasaran mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan yang kondusif bagi terbentuknya budaya damai, termasuk pelatihan dalam rangka meningkatkan dialog konsensus.

6. Memperkuat upaya pelatihan dalam bidang pencegahan konflik/manajemen krisis, penyelesaian perselisihan secara damai serta pembentukan perdamaian pasca konflik.

7. Memperluas inisiatif peningkatan budaya damai yang ditangani institusi kepemerintahan

Secara teoritik ada banyak cara untuk memecahkan konflik seperti: menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan kekuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dsb. Cara-cara tersebut sering tidak efektif, dan selalu ada yang menjadi korban. Saat ini ada gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR merupakan sebuah cara untuk menyelesaikan perkara atau masalah. Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih populer disebut dengan conflict resolution (Resolusi Konflik). Bentuk-bentuk Resolusi Konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan integratif agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan. Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis. Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis dan dalam jangka panjang masyarakat yang demikian itu akan terisolir dari percaturan global.

Berbagai bentuk resolusi konflik yang dapat diintegrasikan dalam program pendidikan antara lain: (1) negosiasi; (2) mediasi; (3) arbitrasi; (4) mediasi-arbitrasi; (5) konferensi komunitas; dan (6) mediasi teman sebaya. Negosiasi merupakan salah satu bentuk resolusi konflik yang dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara dua atau lebih orang yang terlibat dalam konflik kekerasan dengan tujuan utama untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan.

Mediasi adalah sebuah proses yang bersifat sukarela dan rahasia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral untuk membantu orang-orang mendiskusikan dan menegosiasikan persoalan-persoalan yang amat pelik dan sulit agar tercapai kesepakatan sehingga konflik yang membawa berbagai bentuk kekerasan dapat dihindarkan. Langkah-langkah penting dalam mediasi sebagai salah satu bentuk dari resolusi konflik ialah: pengumpulan informasi, perumusan masalah secara jelas dan jernih, pengembangan berbagai opsi, negosiasi, dan formulasi kesepakatan. Bentuk Resolusi Konflik ketiga, arbitrasi, merupakan proses yang mana pihak ketiga yang netral mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan konflik setelah ia mengkaji berbagai bukti dan mendengarkan berbagai argumen dari kedua belah pihak yang sedang terlibat dalam konflik.

Selanjutnya, mediasi-arbitrasi merupakan sebuah hibrid yang mengkombinasikan antara bentuk mediasi dan arbitrasi. Artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam konflik mencoba untuk melakukan pemecahan melalui mediasi, tetapi jika tidak ditemukan pemecahannya kemudian mereka menempuh cara arbitrasi. Bentuk Resolusi Konflik yang kelima, konferensi komunitas, merupakan dialog yang terstruktur dengan melibatkan semua unsur dan atau anggota masyarakat (pelaku kekerasan, korban, keluarga, para sahabat, dsb.) yang mengalami dan menderita akibat dari dari adanya kekerasan kriminal. Semua unsur masyarakat saling memberi kesempatan untuk menyatakan posisinya, persaannya, persepsinya, terhadap kekerasan yang sudah terjadi, dan bagaimana usul mereka untuk menyelesaikan persoalan yang ada itu.

Atas dasar konsepsi yang telah terbangun di atas maka penyelesaian–penyelesaian untuk menggantikan peran kekerasan yang disebabkan beberapa faktor yang telah disebutkan diatas merupakan sebuah keniscayaan untuk diejawantahkan dalam upaya mewujudkan kehidupan sosial yang aman, tentram dan sejahtera.

Dalam deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang–kurangnya pada tingkat dasar. Dalam pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Sedangkan pada pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak–anak mereka.

PBB menindaklanjuti pasal–pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Saat ini pendidikan damai diarahkan untuk tujuan yang lebih luas, yakni membangun budaya damai (culture of peace). Ungkapan ”budaya damai” atau culture of peace untuk pertama kali dielaborasi UNESCO pada saat kongres Internasional tentang perdamaian yang diadakan di Yamoussoukro, Cote d’Ivore, pada 1989.

Semua kerja di bidang pendidikan damai ini tidak terlepas pula dari partisipasi para pendidik, peneliti, aktivis, dan anggota masyarakat sipil pada umumnya. Bersama dengan PBB beserta badan–badan, khususnya LSM, lembaga Pendidikan dan jaringan penduduk sipil, mereka memajukan pendidikan damai dan menghubungkan cita–cita mereka dengan jalan pengamalan sekaligus penelitian secara ekstensif. Kampanye global untuk perdamaian dimaksudkan untuk mendukung upaya PBB dalam pengembangan budaya damai dan tanpa kekerasan bagi anak–anak sedunia, serta untuk mengenalkan pendidikan damai dan HAM ke seluruh lembaga pendidikan, termasuk sekolah medis dan hukum.

Dalam pendidikan damai, kondisi damai dipahami tidak sekedar sebagai tiadanya bentuk–bentuk kekerasan langsung, melainkan juga terwujudnya kondisi damai yang positif. Pendidikan damai diarahkan untuk menumbuhkan tiga aspek utama—pengetahuan (knowledge) sebagai cognitive domain, keterampilan (skill) sebagai psychomotoric domain, dan sikap (attitude) sebagai affective domain—yang untuk mengembangkan budaya damai secara global.

Penjabaran tentang materi dan metode dalam pendidikan damai adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan damai memuat materi pengetahuan (knowledge) yang meliputi mawas diri, pengakuan tentang prasangka, berbagai isu lainnya seperti konflik dan perang, damai dan tanpa kekerasan, lingkungan dan ekologi, nuklir dan senjata lainnya, keadilan dan kekuasaan, teori resolusi, pencegahan dan analisa konflik, budaya, ras gender, agama, isu HAM, sikap tanggung jawab, pengaruh globalisasi, masalah buruh, kemiskinan dan ekonomi internasional, hukum internasional dan mahkamah keadilan, PBB, instrumen, standar dan sistem internasional, perawatan kesehatan, masalah AIDS dan jual beli obat terlarang. Kedua, muatan materi keterampilan (skill) dalam pendidikan damai meliputi komunikasi, kegiatan reflektif dan pendengaran aktif, kerjasama, empati dan rasa harus, berpikir kritis dan kemampuan problem solving, apresiasi nilai artistik dan estetika, kemampuan menengahi sengketa, negosiasi dan resolusi konflik, sikap sabar dan pengendalian diri, menjadi warga yang bertanggungjawab, penuh imajinasi, kepemimpinan ideal dan memiliki visi. Ketiga, muatan materi nilai atau sikap (attitude) dalam pendidikan damai meliputi kesadaran ekologi, penghormatan diri, sikap toleransi, menghargai martabat manusia beserta perbedaannya, saling memahami antar budaya, sensitif gender, sikap peduli dan empati, sikap rekonsiliasi tanpa kekerasan, tanggung jawab sosial, solidaritas, resolusi berwawasan global.

Adapun penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternatif pemecahan masalah ada beberapa cara yang harus ditempuh untuk mensosialisasikan budaya damai di dalam lingkungan informal yang antara lain sebagai berikut:

1. Penerbitan Media: salah satu bentuk pendidikan damai yang bertujuan untuk menyampaikan informasi, gagasan kepada masyarakat luas melalui publikasi media massa (media cetak maupun elektronik) baik itu dalam bentuk buku, majalah, tabloid, buletin, artikel ilmiah, poster, opini umum, iklan layanan masyarakat, dan sebagainya. Hasil akhir yang ingin dicapai umumnya berupa peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran akan pendidikan damai.

2. Penyuluhan: merupakan kegiatan pendidikan damai non formal yang bertujuan untuk menerangkan/menjelaskan tentang suatu isu, permasalahan, gagasan, atau metode yang bersifat spesifik agar peserta memahaminya secara lebih mendalam.

3. Seminar: merupakan kegiatan pendidikan damai dalam bentuk forum persidangan ilmiah yang dipimpin/diarahkan oleh seorang pakar. Pada forum tersebut, satu atau beberapa nara sumber diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan, pemikiran, atau pengalamannya tentang topik tertentu guna mendapat tanggapan dari para peserta melalui mekanisme tanya jawab. Dengan demikian, baik nara sumber maupun peserta akan mendapatkan umpan balik (feed back) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas pengetahuannya dalam mewujudkan budaya damai.

4. Lokakarya: merupakan kegiatan pendidikan damai yang bertujuan untuk membahas permasalahan praktis tentang suatu bidang tertentu melalui mekanisme diskusi interaktif antar peserta yang memiliki minat yang relatif sama dengan tingkat keahlian yang relatif setara, namum memiliki sudut pandang yang relatif berbeda. Suatu lokakarya umumnya akan menghasilkan suatu kesepakatan, rumusan, atau rekomendasi yang akan menjadi acuan/referensi bagi pihak-pihak yang terlibat.

Peace education tidak dapat terwujud dan tersosialisasi tanpa peran pemerintah yang mempunyai wewenang untuk membuat peraturan khusus dalam rangka mewujudkan budaya damai, sehingga Negara kita terbebas dari kasus-kasus terdahulu, di samping itu peran media cetak dan elektronik juga sangat mendukung[]

TERAS PUITIKA


Geliat sastra di Bumi Lambung Mangkurat semakin marak ditambah lagi adanya Lintas 3 Kota (Banjarmasin-Banjarbaru-Banjar). Lihat saja pertumbuhan sastra semakin menggila. Nah, melalui teras puitikalah kawan-kawan meramu karya-karya puisi yang dahyat untuk dimamah oleh khalayak atas. Forum keluarga kecil ini adalah komunitas, berupa wadah diskusi khusus membahas puisi. Karya-karya yang sudah diterbitkan media massa, cetak dan elektronik akan dikupas secara gamlang. Bahkan karya kawan-kawan komunitas yang bernaung di teras puitikapun tak luput dari kritikan yang membangun dari rekan sejawatnya[]

KOMUNITAS SASTRA INDONESIA

Kisah Komunitas Sastra Indonesia di Negeri Kairo


Pada Maret-Oktober setiap tahunnya di Kairo mengalami musim libur. Tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia yang diketuai Fatin Hamama berhasil mengadakan kegiatan jurnalistik dan kepenulisan yang dihadiri lima puluh peserta. Sepuluh diantaranya berhasil membuat antologi dan sungguh membanggakan seorang diantaranya yakni Habiburahman membuat dobrakan yang luar biasa lewat Ayat-Ayat Cinta mendongkrak pangsa pasar kepenulisan di Indonesia.

“Antum tidak bisa menulis percuma,” ujar Fatin Hamama kepada peserta jurnalistik dan kepenulisan di awal perjumpaan KSI. Kegiatan tersebut diisi dengan pelatihan kitab furish (kuning) dengan pembahasan panjang lebar menyoal lingkup kesusastraan yang berkembang di Indonesia karena dirasa Hamama aral kesusastraan di Kairo kembang kempis kadang timbul dan tiba-tiba pula tenggelam. Ditambahkannya lagi alasan perkembangan kesusastraan KSI di Kairo tidak terlepas dari ikatan batin dan persamaan paradigma untuk memajukan kesusastraan di sana.

Membahas mengenai komunitas yang juga menjamur di Kairo, bagi Hamama sendiri keberadaan komunitas tersebut tidaklah banyak membantu sebab maju atau berkembangnya seseorang tidak ditunjang dimana ia berpijak melainkan ketekunan serta kegigihan ia dalam beroientasi mengolah karya lewat kreatifitas kepenulisaan. Justru yang penting itu ada individualisme. Lanjutnya Hamama juga menjelaskan minat untuk menulis itu tidak lahir dengan sendirinya tetapi kebiasaan orang tua semasa yang empunya diri di masa kecil. Seperti masa kecil Hamama di Jeddah, orang tuanya mendidiknya untuk membaca buku apa saja hingga kecintaan pun timbul seiring pertumbuhan masa usianya yang meningkat naik. Lebih jauh, Hamama juga memaparkan bahwa Indonesia itu sangatlah kaya dengan penulis dan karnyanya. Ketika disinggung mengenai seni-seni yang ada di tanah air, Hamama menjelaskan bahwa sebuah karya seni itu tidak dapat dipatenkan karena karya seni itu milik universal kecuali karya pribadi. Lihat saja Habiburahman yang pada waktu awalnya selalu ditolak oleh setiap media hingga pada akhirnya iapun putus harapan hingga bertemu dengan Ahmadun Yossi Herfanda yang pada waktu itu pergi ke Mesir dan secara tidak langsung bertemu juga dengan Habiburahman disana. Lewat Hamama ia dikenalkan, kemudian lewat kerendahan hati Habiburahman yang mau dikritik untuk inovasi karya yang lebih baik. Maka karyanya berhasil di publikasiakn di republika. Hingga akhirnya jadilah sebuah novel yang mendongkrak penjualan yang sekarang jumlahnya melebihi lima juta eksemplar. Fatin Hamamapun lewat antologinya yang berjudul Papyrus berhasil merogok oplah yang lumayan besar hingga harus cetak terus sampai edisi sekarang yakni cetakan kelima. Teruslah berkarya menyalurkan apresiasi terhadap kehidupan lewat sastra. Salam!


Ideologinya Sastra (Merunut KSI)


Ketika dirunut ke belakang Komunitas Sastra Indonesia ini terbentuk sepuluh tahun yang lalu pasca presien kita Soeharto lengser dari jabatannya sebagai kepala Negara karena pada masa kekuasaanya karya sastra kurang berkembang disebabkan tekanan militer yang selalu waspada terhadap kegiatan sastra seperti pembacaan puisi yang dicurigai akan merusak integrasi bangsa. Namun sejak tahun 1998 resmilah KSI sebagai rumah komunitas yang mempunyai akta notaris sekaligus sebagai yayasan legal di Indonesia. Sastrapun mempunyai peranan mulia dalam mengusung jati diri bangsa yang sekarang bisa kita lihat faktanya bahwa Indonesia mulai kehilangan keaku-annya.

Komunitas satra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sasta yang khas di Indonesia. Sebenarnya, jika kita menganngap bahwa komunitas sastra sebagai sarana produksi atau mengonsumsi sastra secara kolekrtif, hal ini sudah terlihat umum di banyak Negara selain Indonesia pada zaman pertengahan Perancis, ataupun pada abad ke-19 di Jepang, membaca buku secara berkelompok adalah hal yang umum, sebab buku adalah benda yang masih sangat berharga dan langka di wilayah tersebut pada zaman tersebut. Namun keunikan di Indonesia adalah pada pola menikmati sastra secara kolektif yang tetap saja digemari hingga kini meskipun buku sudah dapat diperoleh di masyarakat tanpa dengan banyak kesulitan. Di Indonesia, komunitas sastra berupa sekelompok atan sejulah orang yang bertujuan untuk melakukan sastra. Sebetulnya, kelompok sejenis ini telah eksis di nusantara setidanya sejak zaman kolonial, supayab orang bisa mendapatkan akses untuk membaca dan membahas buku bersama-sama, ketika kebanyakan orang yang mengalami kesulitan mempunyai buku. Kelompok tersebut seringkali memiliki sebuah tempat untuk berkumpul, dimana para anggotanya bisa saling belajar dan berdiskusi untuk berkarya lebih baik. Istilah ‘komunitas’ untuk menggambarkan kelompok seperti ini mulai digunakan pada tahun akhir 1980an dan berbagai aktivitas komunitas mulai terlihat dalam masyarakat sejak awal tahun 1990an. Setelah orde baru runtuh, jumlah komunitas sastra mulai bertambah drastis lagi dengan jenis kegiatan yang lebih bervariatif. Pertumbuhan komunitas sastra ini sebagian didukung oleh perkembangan ekonomi dan perbaikan standar pendidikan warganegaranya selama satu dekade terakhir, serta sebagai akibat perkembangan social yang memungkinkan bertambahnya populasi yang mampu membeli buku atau sudah terbiasa menulis dan membaca. Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, ideology kesusastraan adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang terkandung di dalam teks-teks yang disebut karya sastra – baik prosa (esai, cerpen atau novel) maupun puisi. Definisi tersebut merujuk pada penjelasan dari ideology Perancis, Desstutt de Tracy (1976), yang menciptakan istilah ‘ideologi’ guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifatnya, seta hokum-hukumnya. Dalam kacamata politik ideology adalah paham, teori atau tujuan terpadu yang merupakan satu program social-politik. Namun, dalam arti umum ideology adalah ide-ide yang mendasari sebuah system filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu, yang menampak pada pola aktivitas, ekspresi dan tujuan kekaryaannya.

Di sisi lain, Budi Darma berkata kalau ingin tahu komunitas sastra tanpa label ‘komunitas’, cobalah berkunjung ke makam Sutan Takdir Alisyabana di Tugu, Bogor. Makamnya di san berdampingan dengan makam isterinya sendiri, tidak jauh dari sebuah lereng sungai. Makam ini terletak di pekarangan sebuah rumah besar milik Sutan Takdir Alisyahbana. Dalam sejarah sastra Indonesia, rumah ini mungkin tidak tercatat, namun sebetulnya rumah ini mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembagan sastra. Dulu, ketika Sutan Takdir alisyahbana masih muda, sekali-sekali dia mengundang sastrawan-sastrawan yang umurnya lebih mud daripada dia, antara lain Mochtar Lubis. Rumah itu dijadikan tempat ngobrol dan berdiskusi. Lalu lebih lanjut Budi darma memaparkan bahwa angkatan 45 pada hakikatnya bukan komunitas. Tengok sedikit perihal kehidupan mereka. Ada sepasang tokoh sentral yakni, HB Jassin sebagai penemu bakat dan Khairil Anwar sebagai pembeharu. Dua orang ini dan teman-temannya sering berkumpul –kumpul, berdiskusi dan langsung ataupun tida, diskusi mereka masuk ke dalam karya mereka. Tengoklah misalnya; surat Idrus kepada HB Jassin dan jawaban HB Jassin kepada Idrus.

Berbeda dengan Anis Sholeh Ba’asyin yang menganggap bahwa ada banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk membedah gejala komunitas sastra, mulai dari yang paling sederhana; terbentuk karena seorang sastrawan ingin membagi ilmunya pada orang-orang yang mencoba berguru padanya, atau karena sekelompok orang bersepakat menajamkan kemampuan sastranya dalam satu wadah; sampai dengan yang paling rumit: sinergi sastrawan-satrawan yang merasa butuh wadah untuk menegaskan posisinya dalam peta sastra Indonesia, atau sinergi dari sastrawan-sastrawan yang punya musuh bersama dengan kegiatan sastranya. Tapi, di luar niat awal semacam ini, posisi sastra Indonesia sendiri dala peta social budaya sebenarnya sudah cukup untuk menjadi alas an untuk memaklumi kehadiran komunitas sastra. Sebagai sebuah spesies baru, sastra Indonesia bukan cuma harus berjuang menemukan capaian-capaian estetikanya saja, tapi juga sekaligus harus berjuang merebut khalayak pembacanya.[]

Kamis, 04 September 2008

WAYANG ORANG SEMARANG

PERJALANAN PANJANG PAGUYUBAN WAYANG ORANG NGESTI PANDOWO
(Catatan Ketika Saya di Semarang Januari 2008)



Perkumpulan wayang orang (wayang wong) pada era tahun 30 (tiga puluhan) banyak bermunculan. Perkumplan-paerkumpulan itu masih bersifat amati namun ada yang sudah mengatur manajemen secara profesional. Pada era itu pertunjukan wayang orang merupakan suatu kebutuhan masyarakat. Semua itu dikarenakan pertunjukan wayang orang maupun wayang kulit mengandung pendidikan untuk membangun budi pekerti masyarakat. Tak jarang masyarakat yang mempunyai sifat hajat mereka akan menggelar pertunjukan wayang orang maupun wayang kulit. Bahkan ketika masa panen raya hasil tanam kampung-kampung akan menggelar seni tradisi sebagai wujud terimakasih mereka kepada dewi sri.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya wayang orang maupun pertunjukan lainya dikemas dengan perunjukan keliling. Kelompok-kelompok melakukan pentas dari satu desa ke desa yang lain bahkan sampai kota satu ke kota yang lain. Hingga muncullah istilah tobong (keliling). Pemberian nama itu beralasan jelas, karena penyajiannya bersifat keliling. Hingga terjadi istilah eksploiritasi oleh orang-orang cina yang memiliki uang banyak. Mereka memelihara tukang pukul atau tacut agar para seniman tidak beralih tempat ke perkumpulan yang lain. Para seniman dikondisikan untuk setia kepada perkumpulan yang mereka kuasai. Kita melihat pada masa itu perkumpulan-perkumpulan wayang orang ataupun ketoprak dikiasai orang cina. Sebagai bukti, sederet nama paguyuban yang dimiliki oleh orang cina. Wayang orang “Sedyo Wandowo” dipimpin Thei Yam Ping Surakarta, Wayang orang dan Ketoprak “Darmo Mudo” dipimpin Theik Bong dari Kediri dan sederet nama yang lain. Paguyuban-paguyuban itu telah menjamur di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Dari keprihatinan itu Ki Sastro Sabdho merasa tergugah untuk membebaskan paguyuban wayang orang dari etnis cina. Hingga pada akhirnya ketika perkumpulannya melakukan pentas tobong di Madiun pada acara pasar malam munculah gerakan untuk membentuk kelompok tanpa campur tangan orang cina. Ki Sastro Sabdho bersama seniman dan seniwati membentuk paguyuban wayang orang yang di beri nama “Ngesti Pandowo” pada tanggal 1 jili tahun 1937. Ki Sastro Sabdo menerapkan sistim kekeluaragaan dan juga senasib seperjuanan dalam membangun Ngesti Pandowo. Dari awal perjalanan Ngesti Pandowo Ki Sastro Sabdho selaku pimpian menekankan penanganan secara professional. Bahkan sampai memikirkan nasib pendidikan anak-anak pendukung paguyuban. Paguyuban menanggung biaya sekolah anak-anak pendukung paguyuban dari sekolah dasar sampai tamat perguruan tinggi. Serta membangunkan asrama bagi seniman dan seniwatinya.
Bahkan agar pertunjukan kelompoknya tidak membosankan, Ki Sastro Sabdho selalu melakukan perkembangan dan bentuk garapan untuk menarik penonton. Dari hasil kerja yang sangat telaten dan ulet akhirnya kelompok wayang orang Ngesti Pandowo disetiap pertunjukannya di banjiri penonton. Yang akhirnya berimbas pada pendapatan honor pemain dan pengrawit. Puncak kejayaan Ngesti Pandowo pada tahun 1937 sampai tahun 1940. Karena suasana peperagan, pada dekade tahun 1940 sampai tahun 1945 Ngesti Pandowo mengalami penurunan pendapatan. Hingga mengakibatkan tahun 1945 sampai tahun 1949 paguyuban ini berhenti total tidak melakukan pementasan.Hingga pada akhirnya paguyuban Ngesti Pandowo mulai menata kenbali di kota Semarang Jawa Tengah. Dengan gigih dan ulet semua pendukung Ngesti Pandowo berjuang mengenbalikan masa puncak. Sampai pada akhirnya diberikan kehormatan untuk pentas di Istana Negara pada masa kepemimpinan presiden Soekarno. Hingga pada puncaknya Ngesti Pandowo menerima piagam dari pemerintah berupa piagam “Wijaya Kusuma” pada tahun 1962. Pada akhirnya 4 tahun kemudian setelah penerimaan piagan sang maestro Ki Sastro Sabdho berpulang ke Sang Khalik. Namun paguyuban terus berlanjut untuk mengangkat citra wayang orang. Kepemimpinan selanjutnya Sastro Sudirjo. Hingga kini Hesti Pandowo ini masih eksis dan survive meski banyak sekali haling rintang yang menyinggahi perjalanannya. []

SASTRA KOTA---KSI BJB

DIANTARA DILEMA KSI (KOMUNITAS SASTRA INDONESIA) BANJARBARU



TAK dapat dipungkiri kehadiran sebuah lembaga yang menaungi elemen pendukung masing-masing ornamen termasuk silogisme minor. Seperti halnya orang yang bermimpi menjadi saudagar kaya atau presiden atau apalah namanya. Namun tak semua orang dapat merengkuh dan mewujudkan keinginan masing-masing tersebut, bukan?

Ada banyak daerah di Indonesia, berkepulauan namun tak semua dapat terjamah oleh lingkup komunitas yang saya tuliskan di atas. Apa sebabnya? Bahana dan keterasingan informasi masih sulit diakses oleh masyarakat luas, sebut saja masyarakat pelosok. Ada daerah-daerah tertentu yang sebenarnya haus akan tentamen tersebut tapi malah kebingungan harus menyalurkan kemana? Maka terkerangkenglah ia ke dalam biduk diam. Syukurlah kami dilahirkan di sebauah kota yang tidak semua orang mengenalnya_kota kecil yang bahkan di peta saja tak disebutkan. Banjarbaru namanya. Pergolakan hidup dan semaraknya kota-kota sekitarnya berawal dari tempat ini. Sebab, Banjarbarulah persinggahan orang-orang pendatang yang mencoba bersama menggaet rezeki di teras kota yang berslogan Kota Idaman. Entahlah?

Kota ini lama kelamaan menjadi pusat perhatian kawan-kawan khususnya pemerhati sastra tak terkecuali; teater, tari, lukis, dan lain-lain yang bernotaben di Kalimantan Selatan. Ada banyak pergolakan yang tumbuh dan berakar dari daerah ini, anehnya kota ini mampu mempengaruhi kota-kota lainnya yang ada di Kalimantan Selatan. Dulu pernah terjadi, ketika tour SBSB oleh majalah horizon 2004 Banjarbaru tak dicantumkan sebagai tuan rumah malah kota-kota lain yang dedikasinya kurang. Padahal di kota inilah berkumpulnya orang-orang aneh yang memanggul seni sebagai landasan hidup. Mereka berani mempertarungkan apa yang dipunya hanya untuk menghidupi seni.

Lalu, pada tahun-tahun terakhir ini. Pamor kota ini mulai terangkat seiring arus teknologi yang memancarkan Kota Empat Dimensi ke dalam mind set sastrawan yang ada di seluruh nusantara. Begitupun dengan terbentuknya KSI Cabang Banjarbaru. Hanya saja saya kurang tahu tersebut, ketika itu saya masih harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Banjarmasin. Saya hanya lihat melalui sebuah koran tentang pemberitaan terbentuknya KSI Banjarbaru.

Nampaknya ini akan jadi papakerma bagi kehidupan sastrawan khususnya di kota ini. Bagi saya, apa dan bagaimanapun tak perlu terlibat dalam urusan orang. Cukup urusi diri saya sendiri dan terus menulis untuk mengukir dunia[]

Rabu, 03 September 2008

MEDITATION CASE

Myth of Glory

1.
The orphan boy
has one arm,
he stares at me
from the side of the road;
a lifetime of hate
in eight short years.

2.
We storm the village,
it is invested by VC
wrapped in villager's cloth.
They fire AK-47's.
We return fire, kill them.
From a hootch we hear voices,
we yell, throw out your weapons,
come out, with your hands up!
(pigeon Vietnamese.)
They answer with curses and fire.
We fill the hootch with lead,
toss in a grenade.
Silence.
Warily, we look inside,
all dead.
A young woman
clutches an infant to her breast;
welded together
in a river of blood.

3.
She is young, yet old,
browned by the sun.
Barefooted
she toils in
the dark corridors of night,
the small dank rooms;
repeated heaving, drunken breath.

4.
The Saigon street
is filled with people,
the sounds of life energizing,
the business of living
intensely pursued.
A shell explodes, then another
and another.
The Saigon street
is filled with the sounds of death.

5.
The boy, no more than ten,
glares at me.
From beneath his garment,
he flashes his weapon.
Give me a noble cause,
telll me why,
I had to kill a ten-year old boy.

6.
We are on patrol,
dark night, steaming jungle.
The sawgrass cuts.
We step warily, listening for a sound;
trip-wires, booby traps abound,
meld with the earth,
waiting for one more step.

7.
The nurse came down
with the chopper,
its blades whirling, churning air.
They take our wounded.
The nurse is young, rumpled;
the lines of exhaustion, heavy
on her face.
She tends our wounded with the
sure hand of an angel of mercy.
I hunger for her.
I ache for her soft touch.

8.
We are on a two-man LP
fused to the undergrowth
of the jungle.
The moon peers between
the tall-bladed grass,
giving us vision,
then retreats behind night clouds.
Our ears become our antenna,
tuned to detect a suspicious sound.
It is difficult.
All sounds are suspicious.

9.
Today,
I see a monk burning;
self-immolation.
He sits on the damp ground as a budda,
his hands clasped in silent prayer.
The flames flare up;
as ash, he disappears.
Still, the war goes on.
Tomorrow, another monk will burn
in flaming protest,
and every day a monk will burn
and still, the war will go on.

10.
There is little thought
of rioting, flag-burning,
our own venomous vilification.
We fight because we are here,
there is no alternative.
We did not burn our draft cards
and run off to Canada.

11.
There is a place called home.
I don't know where that is.

Selasa, 02 September 2008

di perigi batu

Ya Tuhan…

Kenyataannya aku terlupakan oleh keberadaanku sekarang.

Aku selama ini tidak memahami apa arti sebuah kehidupan.

Selama ini, aku pikir apa yang kudapatkan dengan mudah, hilang dengan mudahnya juga.

Betapa tidak ternilainya sebuah harga dimataku.

Sekarang aku sadar.

Meski terlambat.

Sekadar Nujuman

PRESIDEN INDONESIA: 2009-2014

TAK ayal temanku mantan narapidana yang sampai hari ini masih diburu aparat tetap bersikeras kepadaku. Baru seminggu ia pulang ke ranah Banjar karena harus mendekam, mempertanggungjawabkan ke hadapan mahkamah agung. Untungnya ia banyak kenalan anggota dewan dan pengacara seperti, Bang Ruhut Sitompul, Ocha Kaligis, dan lain-lain. Akhirnya lolos dari tuntunan yakni masuk bui_jeruji besi. Kami selalu sepakat bahwa setia manusia berhak mendapatkan kebebasan, bebas atas apapun memilih dan mengambil tindakan dalam perikehidupan.

Tak ada yang menduga, kawanku yang satu ini adalah pengacara muda di Banjarmasin, meskipun demikian ia sangat aktif dalam kegiatan mahasiswa, salah satunya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Hari ini ia menelepon aku. Sudah lama sekali kami tidak berkomunikasi. Ternyata selama di Jakarta sana, telepon genggamnya sempat hilang. Mungkin juga dilang selama perjalanannya antara Bantul-Jogja-Solo-Surabaya-Bandung atau netahlah selama pengejaran aparat pasca aksi mahasiswa di depan kantor DPR RI tanggal 26 Juni_aksi prontal-anarkis-destruktive yang membuat berang aparat. Sekarang dia ada di rumah sakit, menjaga tantenya yang sekarang menderita komplikasi. Kau tahu kamar yang ditempati tantenya adalah kamar yang pernah aku tempati semasa sakit akibat kecelakaan dulu dan besok ia harus membawa tantennya ke RS Pertamina Jakarta dengan helikopter. Mudah-mudahan tantenya bisa tertolong. Meskipun demikian ia sempatkan untuk menelepon aku. Tak ada canda riuh seperti dahulu. So hangira jo pokekea!

Jejaknya yang dikenal oleh kalangan aktivis Kalimantan dan Orator Gerejawan membuat banyak kenalan yang mengajaknya untuk bergabung dalam kancah perpolitikan. Hingga saat ini, ia tercatat sebagai caleg dari salah satu partai politik. Padahal kalau kita melihat tampang dan penampilannya tidak mencerminkan sama sekali-sebagai caleg. Dia orang timur Indonesia yang menjunjung etika dan budaya timur meski jejaknya di ranah Ambon sana sangat menimbulkan prahara sebab sebagai marga manokute yang mengharapkan kemerdekaan RMS sempat meresahkan keamanan setelah tragedi beberapa tahun yang lalu.

Aku bercerita padanya bahwa ada partai yang menawari aku untuk menjadi caleg bahkan partai itu menjanjikan untuk aku duduk sebagai mentri jika oposisi menjadikan dirinya sebagai presiden Indonesia ke depan. Aku terperangah ketika ditawari hal tersebut, kebetulan partai itu belum ada di Banjarmasin. Suatu peluang besar bila aku membuka cabang partai itu di sini, kesempatan menjadi calegpun masih terbuka sebab KPU Kalimanyan Selatan masih bermasalah dan belum disahnkan secara de facto. Kita masih kalah dengan propinsi lain di Kalimantan seperti Kalimantan Tengah. Dia bercerita kalau persaingan ketat dari bilik politik yang diamatinya akan terjadi antara Prabowo dan Sutioso. Lihat saja, gerindra habis-habisan dalam upaya sosialisasi ke masyarakat tidak hanya di media cetak dan eletronik tetapi ke masyarakat pelosok. Melalui partai gurem yang mengusungnya dan bokingan beberapa tokoh di Indonesia, ia berhasil menarik simpati masyarakat. Tetapi kawanku ini pecaya, betapapun ketatnya persaingan SUTIOSO-lah yang bakal menjadi presiden Indonesia ke depan. Dia berani menjamin bahkan kalau terkaannya salah, ia berani memotong rambut gondrongnya. Aku hanya terkekeh-kekeh di telepon ketika dia mengutarakan hal tersebut. Tapi bagiku, siapapun presiden di negeri ini tak bisa membawa perubahan secara menyeluruh. Lihat saja kelak! Aku janji jika itu terjadi aku berani memotong rambutku seperti kawanku tadi!!!

TERIMA KASIH ANDA MENGUNJUNGI BLOG SAYA. HARAPAN JUMPA LAGI